Festival Film Dokumenter 2014

Tiga belas tahun lalu, tahun 2002, Festival Film Dokumenter (FFD) diadakan untuk pertama kalinya. Kala itu, para penggagas festival ini adalah penonton yang gelisah karena sulitnya menonton film-film dokumenter. Dalam rangka menjawab kegelisahan ini, festival ini dibuat, untuk membuka akses film dokumenter kepada khalayak yang lebih luas di negeri ini.

FFD sendiri merupakan satu program yang dikelola secara berkesinambungan oleh Forum Film Dokumenter. Festival yang selalu hadir di Yogyakarta pada minggu kedua bulan Desember ini adalah program penutup bagi dua program lainnya, yaitu program pemutaran bulanan dan program arsip.

September 2014, Festival Film Dokumenter menerima penghargaan dari Apresiasi Film Indonesia untuk kategori festival film. Bentuk apresiasi ini tentu menjadi pemacu bagi pengelola festival untuk bisa bekerja lebih optimal. Apalagi mengingat FFD merupakan festival film pertama di Asia Tenggara yang fokus menangani film dokumenter. Semua ini tentu menjadi bekal yang baik untuk bisa mengenalkan dokumenter sebagai salah satu medium edukasi alternatif ke kalangan yang lebih luas.

Penyelenggaraan festival tahun ini pun berusaha mengakomodir kebutuhan tersebut. FFD 2014 dihelat di empat lokasi yang asosiatif dengan ruang belajar namun tetap representatif dengan kebutuhan festival. Pilihan ini menjadi satu upaya dari festival untuk bisa lebih dekat dengan penonton yang menjadi target festival. Selain itu, di tahun ini FFD juga menggelar pameran hasil workshop apresiasi film dokumenter melalui medium seni yang telah diadakan September-Oktober lalu. Di samping sebagai bentuk pertanggungjawaban program Forum, pameran ini juga bertujuan mengajak penonton untuk lebih bisa mengekspresikan responnya atas film-film yang disajikan melalui lintas medium.

Saya ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam

penyelenggaraan festival ini. Kepada para pembuat film yang penuh energi dan kreatifitas, kepada Tembi Rumah Budaya dan mitra keseluruhan atas dukungannya, serta kepada para volunteer yang penuh semangat dan tidak kenal lelah, saya ucapkan terimakash banyak. Pada akhirnya, Festival yang luar biasa ini dapat kembali kepada para penonton yang terhormat.

Michael A. Winanditya

Q : What is documentary for?

A : To record actuality.

Q : Why would one want to do that?

A : To inform people about it.

Q : Inform to what ends?

A : Either to affect our understanding – to change, increase, reinforce it – which may (but not necessarily design to) lead an action, may make a better persons of us, and which may in turn make the world a better place to live (Flaherty); or to make better citizens of us and to move us to collective action in order to make a better society (Grierson)

(Jack C. Ellis in The Documentary Idea1)

That short colloquy tries to elaborate the potentials of documentary film on the audience in which at least rooting from the two grand traditions of documentary, Flaherty or Grierson style. Both of them are founding fathers of documentary film basis that nowadays evolve into various styles as we can see in these several programs of 2014 FFD.

JOURNEY! : Direction for Knowing and Understanding

If we reopen history records of colonialism in Indonesia, amongst them are journals inserted by the explorers2. They came from Europe in an effort seeking new possibilities in ‘new’ lands. These explorers wrote many journals of their journey, collected many things to bring them home, exhibited in museums, and then studied them thoroughly. Their journals could be about flora and fauna until how people here live. However, their purpose of the journey is pretty similar to each other, which is to describe the condition of a place, and “interpret” it into their own thoughts. Methods for knowing and understanding about “other” began to develop in the end of the 19th century in institutions. It is exactly like what the modern anthropologists have done, that they leave the desk filled with piles of books to go to the place where this community lives. An experience of journey and living with people is becoming one of the methods to acknowledge and understand others. But now it arises a question: how is the partiality of this knowledge?

Journey could be freely translated as a journey from one place to another, usually, in a long time. “Journey” could also be used to define a process of a movement from one condition to another, from time to time. Therefore, in Indonesian we often hear the term, perjalanan waktu (time travel), perjalanan hidup (life journey), or perjalanan sejarah peradaban (journey of history of civilization).

This year, FFD offers Journey as a practice to understand the world. It is like a person going on a journey; he is in a space between his home and destination place, between imagined hope and past memory, or between reality on the screen and reality in the world where the dearest audience lives. We hope this festival could be a journey that opens up opportunities of new discovery in identifying the other and ourselves.

Alia Damaihati, Franciscus Apriwan, Kurnia Yudha F.