Membangun Ruang Inklusi Melalui The Feelings of Reality

— Newsletter
FFD 2019

Bertepatan dengan hari Disabilitas Internasional, 3 Desember 2019, FFD 2019 melangsungkan program Doctalk: The Feelings of Reality. The Feelings of Reality merupakan program yang dikerjakan oleh FFD bekerja sama dengan Voice Global dengan rentang waktu kerja dari tahun 2018-2020. Diskusi program tersebut dilaksanakan di IFI-LIP Yogyakarta bersama dua mentor dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Yogyakarta, yaitu Ajiwan Arief dan M. Ismail.

Terdapat delapan film yang masuk ke dalam program The Feelings of Reality, yaitu: Alun (Riani Singgih, 2019); Menjadi Agung (Yovista Ahthajida, 2019); Aisyah (Ahmad Syafi’I Nur Illahi, 2019); Saling (Ridho Fisabilillah, 2019); Menjadi Teman (Aji Kusuma, 2019); Bulu Mata Kaki (Firman Fajar Wiguna, 2019); Apa di Kata Nadakanlah, Apa di Nada Katakanlah (Gracia Tobing, 2019); serta Indera Kaki (Ihsan Achdiat, 2019).

The Feelings of Reality menyajikan film dengan konsep yang berbeda dari film-film yang sudah ada. Virtual reality (VR) merupakan sebuah teknologi yang membuat pengguna dapat berinteraksi dengan lingkungan yang ada di dunia maya, sehingga penonton akan merasa berada di lingkungan tersebut. Melalui media VR, The Feelings of Reality mengajak para penonton untuk merasakan pengalaman yang berbeda. 

Diskusi ini diawali dengan pemutaran film-film dari program The Feelings of Reality. Keempat film tersebut antara lain: Alun (2019), Indera Kaki (2019), Menjadi Teman (2019), dan Aisyah (2019). 

“Ini merupakan pengalaman pertama Saya menonton VR. Saya berada di sana, hanya berdiri namun tidak bisa berjalan. Saya ikut menari, karena saya dapat merasakan musik dari alat yang bergetar di tangan Saya,” ungkap Zaka.

Setelah selesai menonton film VR dan mendengarkan pengalaman dari keempat penonton, acara dilanjutkan dengan diskusi bersama para pembicara. Kedua pembicara bercerita mengenai proses mentoring hingga pembuatan film selesai. Medium ini secara umum dapat menjadi alat advokasi, tetapi belum maksimal. Diungkapkan oleh Ismail, bahwa film dapat membuat isu disabilitas dapat dilihat, serta melalui VR penonton akan merasa lebih dekat.

Terdapat beberapa saran untuk membuat film dokumenter tentang disabilitas, yaitu: menghadirkan sosok penyandang disabilitas secara wajar (tidak berlebihan), masa lalu penyandang disabilitas tidak perlu diceritakan, serta ditekankan pula bahwa penyandang disabilitas  bukan objek tapi subyek.

Aji Kusuma salah satu filmmaker yang hadir berkata bahwa perlu belajar untuk menjadi inklusi, serta hal yang ditampilkan dari difabel dalam frame adalah kegiatan sehari-hari. 

Harapannya melalui The Feelings of Reality, FFD mampu menjadi organisasi yang inklusif, untuk siapapun dan tidak menghambat siapapun.

Penulis: Dinda Agita Dewi