Pendanaan Berdaya untuk Ekosistem yang Terjaga: Mungkinkah?

— Berita
FFD 2024

Setelah tujuh hari yang penuh eksplorasi, rangkaian DOC Talk FFD 2024 mencapai puncaknya pada tanggal 9 November 2024. Sesi terakhir kali ini mengusung judul “Does It Matter Who Funds?”, sebuah perbincangan tentang program pendanaan yang kian bergerak masif di Indonesia selama 15 tahun terakhir, khususnya dalam ranah pemberdayaan, sosial, dan kebudayaan. Dalam alurnya, pendanaan dapat menjadi katalisator yang memperkuat langkah menuju tujuan besar dan berkelanjutan. Namun, seberapa kuat skema ini mampu membangun siklus dukungan yang berkelanjutan dalam ekosistem yang saling terhubung? DOC Talk ini hadir untuk menjawab kegelisahan tersebut, mengajak peserta dari berbagai latar dan demografi untuk menyelami tantangan dan peluang yang ada. Dipandu oleh Tunggal Pawestri, Direktur Eksekutif Yayasan Humanis, bersama Kurnia Yudha F., Direktur Program IDOCLAB 2024, dan dimoderatori oleh Suluh Pamuji, diskusi mengalir melalui beragam pemikiran, memperluas wawasan, dan merangkai harapan bersama untuk masa depan seni dan budaya yang berkelanjutan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa di tengah berkembangnya berbagai inisiatif budaya dan pemberdayaan sosial, kenyataan yang ada adalah semakin berkurangnya dana untuk sektor seni dan budaya. Penurunan sumber pendanaan ini menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana kita bisa memastikan keberlanjutan jika terlalu bergantung pada aliran dana yang terbatas? Menurut Tunggal, yang kerap mendukung pembuat film dan penggerak sosial lainnya, sebagai lembaga pemberi dana, mereka pun menghadapi tantangan finansial. “Sebagai lembaga, kami juga butuh uang,” katanya. Tapi, apakah sebenarnya hanya uang yang kita perlukan? Adakah kebutuhan lain yang acap kali terlupakan?

Jawabannya, tentu saja, bukan sekadar soal uang. Dana penting, tetapi yang tak kalah penting adalah mentor yang bisa memberi arahan, fasilitas yang mendukung, alat yang memadai, dan bahkan kesempatan untuk membangun reputasi. Inilah faktor-faktor pendukung lain yang sering kali dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan sebuah proyek. Lalu, dari mana sebetulnya pendanaan ini bisa didapatkan? Apakah sumbernya harus seragam, atau bisa bersifat fleksibel? Dalam dunia pendanaan, opsi yang tersedia lebih beragam daripada yang sering disadari. Beberapa sumber potensial yang bisa dijadikan pilihan antara lain mitra bilateral dan multilateral, organisasi filantropi–baik nasional maupun internasional, lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal dan internasional, CSR dari perusahaan-perusahaan, lembaga keagamaan, individu berpenghasilan tinggi, hingga crowdfunding yang melibatkan banyak partisipan.

Tunggal kemudian berbagi cara-cara untuk meraih dukungan dari berbagai sumber tersebut, dimulai dengan strategi yang solid. Langkah pertama adalah memeriksa ulang strategi penggalangan dana secara menyeluruh: tetapkan tujuan penggalangan dana atau rancang strategi bisnis yang jelas, identifikasi calon donatur (dengan melakukan riset atau donor intelligence), dan bangun database yang rapi. Selanjutnya, evaluasi kembali ide atau kegiatan yang memerlukan pendanaan, dan jangan ragu untuk melakukan penyesuaian jika diperlukan.

Terdapat beberapa model untuk mengajukan pendanaan, baik melalui call for proposals, permohonan resmi untuk pitching, atau pengajuan individual. Namun, ingat bahwa para funder tak ingin hanya dipandang sebagai “mesin ATM”. Jalinlah hubungan yang baik, bangun rasa saling percaya, dan peliharalah hubungan yang hangat. Hubungan yang kuat antara pemberi dan penerima dana bukan hanya soal uang, tapi juga kolaborasi, kepercayaan, dan keberlanjutan yang memberi manfaat jangka panjang. Dengan pendekatan ini, pendanaan bukan hanya menjadi dana, tetapi menjadi daya yang bisa menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan inisiatif yang kita bangun bersama.

Setelah itu, sesi tanya jawab dimulai, di mana beberapa peserta menyampaikan opini mereka, yang kemudian ditanggapi berdasarkan pengalaman Tunggal dan Kurnia. Beberapa peserta menanyakan mengenai keberlanjutan setelah karya selesai dan dana diterima, serta apakah funder turut campur tangan dalam estetika karya atau film yang akan dibuat oleh penerima dana. Tunggul dan Kurnia mengatakan bahwa hal itu sangat bergantung pada masing-masing funder. Namun, sejauh ini para funder lebih menginginkan karya yang tetap berada dalam garis besar nilai-nilai yang mereka anut sebagai lembaga.

Dengan berbagi pengalaman dan membuka ruang diskusi yang konstruktif, DOC Talk telah memberikan wawasan penting tentang pendanaan dan keberlanjutan di dunia seni dan budaya. Harapan kami, melalui percakapan ini, semakin banyak pihak yang terinspirasi untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan karya seni yang berkelanjutan.

 

Diliput oleh Tirza Kanya pada 9 November 2024. (Ed. Vanis)