Suara dentuman senjata ditembakkan, bising dari derap kaki bersepatu lars disusul dengan teriakan dari berbagai penjuru hadir mengisi nuansa pembukaan title card. Kemudian, ia disambung dengan rekaman hitam-putih yang menampilkan pembacaan eulogi di sebuah pemakaman seorang pastor. Dari eulogi yang dibacakan, disebutkanlah nama pastor tersebut, Pastor Bert.
Lambertus Hagendoorn, kerap disapa Pater Bert alias Soebertono Mote, adalah seorang pastor dari Belanda yang mengabdikan hidupnya di Papua selama lebih dari 48 tahun. Sejak tahun 70-an, beliau memilih untuk menjalankan tugas Gereja di Papua, berawal di wilayah Puncak, kemudian berlanjut Nabire, Oksibil, dan membangun organisasi pemuda di Timika. Dari organisasi kepemudaan inilah beliau berkenalan dengan Sutradara Yonri Revolt yang kemudian mengabadikan segala upaya babad alas Pater Bert di Papua. Melalui catatan pribadi, Pater Bert menyingkap asam garam peristiwa di tanah Papua, mulai dari cerita pertemuannya dengan tentara dari zaman Operasi Trikora, ‘Operasi Koteka’ a la Orde Baru, permasalahan kolonialisasi industri dan teritorial dari isu Freeport dan Referendum, sampai polemik HIV/AIDS di Timika pada tahun 2000-an.
Dari setiap catatan harian Pater, dapat ditemukan suatu kondisi sosial di Papua melalui tarikan kata-kata beliau yang menggunakan gaya bahasa seakan-akan sedang menulis sebuah anekdot. Nampak misalnya dari catatan yang diterjemahkan Sutradara Yonri mengenai Operasi Koteka pada catatan harian pater pada kisaran tahun 1971-1973. Catatan berbunyi, “…Baju yang dibagi terbuat dari satu jenis bahan, tipis, seragam dengan warna kuning, karena bergambar pohon beringin di tengah persis di dada, maka dianggap sebagai jimat…” atau “Sayangnya pemerintah tidak membagikan deterjen, sehingga pakaian yang dipakai selama berbulan-bulan menyebabkan banyak penduduk menderita sakit kulit.” Penggunaan bahasa yang kaya kesan mengandung sindiran dengan cerdik diutarakan secara halus tanpa perlu menyinggung secara lancang tetapi tetap menyorot pada karakter empati yang memproyeksikan karakter Pater Bert.
Dari catatan harian, rekaman sehari-hari kegiatan Pater, sampai hari kematiannya, kita diajak untuk mengenal lebih dalam tentang Papua dari masa ke masa di mata Pater Bert dan Pater Bert di mata anak-anak asuhnya sendiri, setidaknya dari perspektif Sutradara Yonri. Ada banyak duka, tetapi juga perasaan suka yang melimpahi setiap keseharian Pater Bert melalui orang-orang yang ia temui, keluarga yang menyayanginya, dan setiap sumbangan aksinya untuk merawat dan mencintai Papua melalui gayanya.
The Silent Path (2024) sejatinya adalah sebuah obituari dan rekam jejak kesaksian dari orang-orang yang sudah digerakkan hatinya oleh Pater Bert. Rekaman Sutradara Yonri yang berusaha merawat catatan-catatan penting Pater Bert merupakan bentuk balas budi terhadap ketulusan hati dan keberanian diri Pater Bert yang mengabadikan hampir seumur hidupnya untuk tanah Papua.
Requiescat in pace, Pater. Kisahmu abadi. (Gantar Sinaga) (Ed. Vanis)
Detail Film
The Silent Path (Soebertono Mote)
Yonri Revolt | 77 Min | 2024 | Papua, Indonesia
Berkompetisi dalam kategori Kompetisi Panjang Indonesia
Festival Film Dokumenter 2024
Jadwal Tayang
Nov. 3 | 19:00 WIB | IFI-LIP
Nov. 8 | 19:00 WIB | Militaire Societeit, TBY