Penyensoran dan penolakan terhadapnya begitu keras bertumbukan dalam budaya sinema Iran hari ini. Pemerintah bersikeras melakukan penertiban norma kesopanan melalui berbagai penyensoran terhadap setiap film yang akan dirilis. Namun, perlawanan terhadap penyensoran itu tidak pernah berhenti. Sejumlah aktivis dan pembaharu sinema Iran melakukan berbagai aksi melalui karya mereka yang digarap di balik bayang-bayang kuasa totaliter. Tak hanya hanya dalam film, di kehidupan di luar kamera masyarakat pun dipaksa untuk melakukan penyensoran mandiri terhadap setiap tindak tanduknya. Tak terkecuali dalam cara berpakaian dan batas-batas gerak perempuan dalam kuasa patriarki. Sutradara Sreemoyee Singh melalui And, Towards Happy Alleys (2023) mencoba membedah seluk beluk sinema dan kondisi sosial politik Iran hari ini melalui rekaman-rekaman yang ia tangkap dalam proyek film riset PhD-nya.
Tegangan Sutradara Singh terhadap sinema Iran berlangsung simultan bersamaan dengan kecintaannya terhadap karya-karya Forough Farrokhzad, seorang penyair perempuan dan pembuat film yang melahirkan karyanya dalam napas feminin yang penuh cinta. Filmnya, The House is Black (1962), yang secara metaforis menggambarkan kondisi Iran di kala itu, menjadi salah satu karya yang penting dalam gerakan new wave (gelombang baru, ed.) Iran. Pengaruhnya terus berlanjut hingga era kekaryaan pembuat film Abbas Kiarostami dan Jafar Panahi.
Dalam setiap bingkai rekamannya, Sutradara Singh menciptakan ruang imersif yang membuat setiap rekaman yang hadir dalam film ini adalah sudut pandang penonton. Namun, tak jarang ia mengembalikan batasan itu melalui sorotan kameranya ke cermin yang menampakkannya dengan segenggam kamera. Itu pula yang ia lakukan ketika menyanyikan “Soltane Ghalbha” atas permintaan Jafar Panahi di dalam sebuah toko kacamata. Tak berbeda seperti ketika ia hadir sebagai subyek yang berada di depan kamera ketika berinteraksi dengan beberapa narasumber maupun bernyanyi bersama narasumber lainnya dalam sebuah mobil.
“Soltane Ghalbha” yang dinyanyikan dengan merdu oleh Sutradara Singh terus menghantui kita semenjak kita mendengarnya hingga sedikit lebih lama setelah film ini usai. Lagu ini menceritakan tarikan yang kontradiktif dari sepasang kekasih yang ironis. Lagu yang berasal dari film berjudul sama, Soltane Ghalbha (1968), tersebut menjadi jembatan yang menarik kita dari narasi sastra dan sinema menuju realitas sosial yang menekan kebebasan perempuan. Ketika tak boleh ada suara dari perempuan untuk mendengarkan sebuah lagu hingga urusan berpakaian yang diatur ketat dalam setiap aturan negara.
Rangkaian montase rekaman yang terus bergulir secara simultan merentangkan narasi yang semakin lebar dalam bingkai sinema. Berbagai rekaman demonstrasi di Jalan Enghelab dimunculkan silih berganti dengan teriakan seorang ibu yang menangisi putranya yang menjadi martir revolusi. Rangkaian percakapan dengan narasumber dijahit dengan saksama untuk leluasa menarasikan setiap detail cerita yang tak tertangkap mata dan hadir di balik kamera sinema Iran. Perkenalan dengan narasumber baru seperti Jafar Panahi, Aida Mohammadkhani, dan Mina Mohammadkhani, dihadirkan melalui detail yang spesial lewat reka adegan masing-masing dalam film Taxi (2015), The White Balloon/Badkonake Sefid (1995), dan The Mirror/Ayneh (1997).
Secara etis, Sutradara Singh juga meminta izin terhadap subyek yang ditangkap kameranya untuk direkam. Namun, ketika ia tidak berkenan, layar akan menjadi gelap–rekaman dihentikan seketika. Seperti itu pulalah bentuk penyensoran pribadi yang dilakukan para sineas Iran dan masyarakat terhadap aturan yang mengikat. Itu juga yang disindir Mohammad Shirvani melalui humor gelapnya dalam perbincangannya dengan Sutradara Singh di sebuah jendela. Setiap kali ia ingin berbicara tentang seksualitas atau erotisme dalam seni, bor yang digunakan untuk renovasi di sebelah rumahnya menjadi lebih berisik. Namun, akan hening ketika membicarakan agama. Seolah-olah bor tersebut merupakan tangan panjang penyensoran Kementerian Bimbingan Islam. “Kami terus menyensor diri kami sendiri sepanjang waktu,” katanya.
Penyensoran tubuh perempuan tidak hanya terjadi dalam sinema, melainkan menjadi tata aturan dalam realitas sosial. Perempuan Iran wajib mengenakan pakaian tertutup dan mengenakan hijab (selendang) serta cadar. Itu menjadi aturan yang mutlak dan melahirkan berbagai gerakan perlawanan. Namun, demonstrasi dan agitasi yang dilakukan hanya meninggalkan ingatan dan ketakutan untuk menjadi tahanan. Itu pulalah yang membuat Nasrin Sotoudeh mesti mendekam di penjara atas perlawanannya untuk membela kebebasan berekspresi perempuan.
Kamera Sutradara Singh nyatanya tidak bisa mempertemukan dan membuatnya lebih lama dengan semua narasumber yang ia butuhkan. Meskipun ia dapat merasa selangkah lebih dekat dengan Forough Farrokhzad dengan tinggal di penginapan yang pernah disewa oleh beliau. Sayangnya, ia hanya bisa menyelipkan surat di bawah pintu rumah Abbas Kiarostami sepekan sebelum beliau wafat. Pertemuannya dengan Nasrin Sotoudeh barangkali menjadi pertemuan terakhirnya, sebab beberapa hari setelahnya beliau ditahan oleh pihak berwenang.
Banyak yang berubah dari Iran hari ini. Kelembutan cinta yang terabadikan dalam sastra dan sinema, hadir beriringan bahkan beririsan dengan sastra dan sinema perlawanan. Politik dan gerakan sosial sekiranya tak bisa terhindarkan dalam setiap karya yang lahir dari akar rumput. Mereka hadir dan tumbuh bergerak seiring perubahan zaman dan alam yang tak pernah tertebak di selisik mata maupun di balik kamera. Simak perjalanan Sutradara Singh menjelajahi khazanah sinema Iran dalam And, Towards Happy Alleys (2023) yang tayang dalam program Utopia/Dystopia FFD 2024. (Ahmad Radhitya Alam) (Ed. Vanis)
Detail Film
And, Towards Happy Alleys (به كوچه خوشبخت)
Sreemoyee Singh | 75 Min | 2023 | India
Official Selection for Utopia/Dystopia
Festival Film Dokumenter 2024
Jadwal Tayang
Nov. 5 | 19:00 WIB | IFI-LIP
Nov. 8 | 13:00 WIB | Militaire Societeit, TBY