Butterfly on a River (2024): Apa Kabar, Sa’diang?

— Ulasan Film
FFD 2024

Pagi di Tinambung, Sulawesi Barat, dimulai lebih cepat. Matahari masih nyaman berselimut di balik gelap ketika Sa’diang sudah harus bangkit dan berangkat. Jeriken-jeriken kosong itu sudah menanti untuk diisi air segar dari sumur-sumur kecil di tepi Sungai Mandar. Sa’diang siap menjemput pagi dan penghidupannya di bawah sinar bulan yang masih berpendar.

“…Bagaimana kabarmu, Nurul?/ Kemarau kali ini/ Apakah kamu masih sering membuat sumur kecil di tepi sungai?/ Sambil menyanyikan lagu/ ‘Polaio potaq, Poleo randang’/ Atau sedang mengaduk segelas kopi untuk ayahmu yang baru saja pulang setelah menggarap sawah kepunyaan orang?/ Atau sedang membantu ibumu mengikat sayuran untuk dijual di pasar dini hari esok?/ Bagaimana kabarmu, Nurul?/ Masihkah kamu percaya sebagaimana ku percaya/ hanya air sumur di tepi sungai/ jernih sebagai penjernih/ tawar sebagai penawar…”

Sejauh yang dapat diingat oleh warga Tinambung, kejernihan Sungai Mandar selalu menjadi kampiun. Lidah masyarakat setempat lebih akrab dengan air tawar lokal ketimbang air mineral dari galon. Jernih sebagai penjernih/ tawar sebagai penawar. Persis seperti yang ditulis oleh Suaib S. Syamsul, penyair asal Mandar, dalam puisinya yang berjudul “Apa Kabar, Nurul?” tersebut.

Di tengah deru arus Sungai Mandar, Sa’diang dan kawan-kawan perempuannya, para passauq wai (pengumpul air), mengapung bersama puluhan jeriken di punggung mereka. Bidikan kamera drone membuat mereka tampak seperti kupu-kupu dengan sayap-sayap yang lebar. Pemandangan yang apik sekaligus mengusik.

Sosok perempuan yang diharapkan, juga selalu dituntut, untuk menunjukkan sisi femininitasnya, digulung oleh realitas dan narasi yang dibangun dalam Butterfly on a River (2024) arahan Ulfa Evitasari ini. Sa’diang dan para passauq wai lainnya berjuang mengisi dan mengangkati jeriken-jeriken airnya sendiri. Mencari pundi-pundi rezeki tanpa, atau kalau tidak bisa; minim, ketergantungan pada lelaki. Di sisi lain, mereka juga tetap memasak dan melakukan beragam peran domestik sebagai perempuan. Peran ganda ini ditampilkan secara halus, tanpa tumpang tindih dan interupsi atas satu sama lain. Meski begitu, perempuan-perempuan dalam lensa Butterfly on a River (2024) memiliki kekuatan, otoritas, dan peran yang dominan. Posisinya tidak direduksi.

Nilai kasih sayang dan persaudaraan antarperempuan yang kental pun terbingkai di antara para passauq wai dalam dokumenter berdurasi 30 menit ini. Menjelang subuh, mereka saling membangunkan, kemudian bertukar sunyi selama perjalanan menuju tepian Sungai Mandar, dan bercakap mengenai stok beras ketika mengapung pulang bersama puluhan jeriken di punggungnya. Setelah itu, mereka melingkar untuk makan dan melempar gurauan. Begitu terus hingga seterusnya.

Sa’diang tak banyak bersuara, tapi ketangguhan sekaligus kelembutannya terpantulkan melalui cara-caranya menjalani hari di tepi dan dalam arus Sungai Mandar. Satu adegan yang memperlihatkan Sa’diang tengah mengapung di atas sungai tanpa ikatan jeriken-jeriken di punggungnya, sambil tersenyum menengadah pada hujan deras yang mengguyur tubuhnya, seolah mengisyaratkan ketenangan dan penerimaan Sa’diang terhadap arus hidup yang telah ditetapkan dan dipilihnya. Sa’diang mengalir bersama Sungai Mandar. Jernih sebagai penjernih/tawar sebagai penawar. Dan kini, kisahnya yang mengalir dapat Anda simak dalam rangkaian program Lanskap FFD 2024. (Hesty N. Tyas) (Ed. Vanis)

 

Detail Film
Butterfly on a River (Sa’diang Harus Pulang)
Ulfa Evitasari | 30 Min | 2024 | West Sulawesi
Official Selection for Lanskap
Festival Film Dokumenter 2024

Jadwal Tayang
Nov. 7 | 19:00 WIB | Militaire Societeit, TBY
Nov. 9 | 13:00 WIB | Ruang Seminar, TBY