Sebagai media visual, foto merupakan medium yang kuat dan selalu bisa menangkap momen melalui perspektif unik fotografer. Fotografi memiliki makna yang signifikan, tidak hanya sebagai cara untuk mendokumentasikan berbagai peristiwa, tetapi juga sebagai jembatan menuju bentuk artistik lainnya. Sebagai contoh, penggambaran hitam-putih pasar malam yang ramai mewujudkan esensi dari Festival Film Dokumenter (FFD) 2024 yang berusaha menyoroti interaksi sentral yang dieksplorasi melalui medium foto dan film. Dengan demikian, fotografi menjadi praktik yang mengaburkan batas antara yang nyata dan yang tidak nyata, fakta dan fiksi, serta realitas dan prosa naratif. Ia juga menciptakan ruang yang penuh teka-teki dalam temporalitas yang saling terkait.
FFD 2024 berkesempatan untuk menghadirkan fotografer sebagai seniman kolaborator festival, Kurniadi Widodo. Karya fotografinya digunakan sebagai dasar aset desain festival dan dipamerkan dalam program Ekshibisi. Untuk membedah makna di balik foto-foto tersebut, proses kreatif, dan alasan pemilihannya sebagai karya resmi (official artwork) festival, FFD menghadirkan pembahasannya dalam DOC Talk: Hiruk Pikuk (7/11/2024). Diskusi ini dipandu oleh Farida Novieti selaku Koordinator DOC Talk FFD 2024 dengan menghadirkan Kurniadi Widodo juga Dito Yuwono sebagai seniman penanggap.
Kurniadi Widodo merupakan bagian dari kolektif Arkademy Project, sebuah kolektif yang dibuat pada 2019 dan bergerak pada kerja-kerja fotografi kritis dengan melihat fotografi di ruang masyarakat. Dalam kerja fotografisnya, ia tak pernah merasa menjadi seniman dan lebih nyaman dengan identitas sebagai fotografer. Widodo juga menjelaskan bahwa dalam lanskap kekaryaan, ia tak pernah memotret secara konseptual berdasarkan riset fenomena. Bahkan ketika mendapat tawaran untuk menjadi seniman kolaborator dalam FFD 2024, ia tidak menghadirkan dan membuat karya baru sebagai karya resmi festival. Ia menghadirkan remnants (peninggalan, ed.) peristiwa-peristiwa yang sempat tertangkap mata kameranya. Foto-foto tersebut merupakan foto yang dikerjakannya secara intens sejak tahun 2009 untuk menangkap keramaian ruang publik, khususnya pasar malam. “Aku suka datang ke pasar malam karena tempat itu menghadirkan keramaian,” jelasnya.
Widodo kemudian menjelaskan alasan pemilihan pasar malam sebagai obyek fotografinya. Menurutnya, pasar malam selalu menarik dengan kehadiran lampu sorot–atau lebih dikenal dengan sokle––yang menyala terang di udara, layaknya lampu Batman di Gotham City. Pasar malam tidak hanya menghadirkan visual yang beraneka rupa, melainkan menyajikan pula berbagai aroma sajian makanan, sentuhan fisik dalam keramaian, suara ragam wahana, dan menciptakan keriangan bagi siapa saja yang datang. Foto-foto keramaian yang ditangkap oleh Widodo bukanlah karya yang dibuat untuk intensi tertentu. Ia memang menyukai keramaian yang kaotis, penuh gerakan, tetapi penuh dengan keriangan. Foto-foto tersebut sebelumnya tidak pernah dipakai untuk karya atau pameran apa pun, tetapi sempat dikumpulkannya dalam buku foto dummy. Korpus memori mengenai Pasar Malam Sekaten lekat sekali dalam foto-foto itu. Begitu pula dengan memori masyarakat Jogja yang kangen dengan euforia pasar malam yang telah dipugar dalam fasad pagar. Padahal pasar malam–seperti Sekaten–merupakan ruang penting masyarakat untuk bertemu tanpa harus berbelanja di pusat perbelanjaan (baca: mall). Di sana mereka bisa menemukan apa saja dan kesenangan-kesenangan tanpa pagar kelas yang menciptakan jarak.
Dito Yuwono selaku seniman penanggap menceritakan bahwa foto-foto “pasar malam” Widodo tersebut sudah berada di perpustakaannya selama belasan tahun. Ia mengapresiasi dengan pilihan-pilihan foto yang dipilih sebagai karya resmi tersebut dan pemilihan Widodo sebagai seniman kolaborator FFD 2024. Padahal dalam beberapa penyelenggaraan FFD, seniman kolaborator merupakan desainer ataupun perupa yang karyanya dapat dipecah-pecah sebagai aset desain. Berbeda dengan foto yang mesti utuh ditampilkan dan kurang cair untuk digunakan sebagai aset desain. Kehadiran Widodo dalam peristiwa FFD juga menyambungkan rentangan nalar yang terpotong antara film dokumenter dan fotografi. Dito lantas berbagi cerita bahwa ingatan bakal menjadi sepi ketika dibekukan (defrost), begitu pula dengan foto. Alhasil, foto-foto hitam putih Widodo yang sudah ngendon (dibiarkan) untuk beberapa lama tersebut menciptakan pembacaan visual yang penuh dengan kesepian ketimbang keriuhan yang mula-mula ditangkap kamera. Kehadiran fotografi dalam FFD 2024 merentangkan ruang diskursif lintas disiplin seni. Jika pada festival foto dokumenter (documentary photography) dan foto jalanan (street view) foto dihadirkan narasinya lewat slide show, maka dalam FFD 2024 foto dihadirkan narasinya lewat berbagai medium lintas matra. Sebaliknya, peristiwa seni ini juga membuka ruang dokumenter dalam wilayah seni rupa.
Sifat karya foto yang kaku dan sulit diurai sebagai aset visual, membuat proses merangkai foto-foto Widodo ke dalam bentuk grafis cenderung sulit. Perasaan itu pula yang dirasakan oleh Tehato, desainer dan Koordinator Program Ekshibisi FFD 2024. Dalam proses kerjanya, Tehato mencoba untuk mengubah elemen grafis dan menambahkan grafis visual untuk menghadirkan foto-foto tersebut ke ruang publik, tetapi ia mengaku takut merusak karya fotografi tersebut. Akhirnya, ia pun mengakalinya dengan menambah gaya huruf (font) dan mengambil visual peristiwa dalam foto tersebut sebagai elemen grafis FFD 2024. Meskipun begitu, Widodo berpendapat bahwa fotografi itu cair dan tidak terikat pemaknaan. Itulah yang membuat fotografi konteksnya tidak pernah terkunci, yang sering kali membuatnya melihat narasi-narasi dalam karya fotonya dalam tahap penyuntingan.
Koordinator Foto FFD 2024, Herlangga yang dalam kesehariannya bergelut dengan dunia fotografi mempertanyakan mengenai fenomena gempuran audiovisual terhadap fotografi. Fenomena tersebut juga diamini oleh Widodo yang merasa bahwa reels–fitur audiovisual Instagram–dapat menghadirkan emosi secara instan, tetapi tidak memberikan memori yang membekas. Berbeda dengan foto yang bisa menjadi karya visual yang diolah dan dihadirkan dalam medium ini selain hanya sebagai konten. Lantas ia juga tidak pernah merasa khawatir foto bakal kalah dengan konten audiovisual media sosial. Menurutnya, fluiditas foto membuatnya bisa berumur panjang. Seperti halnya salah satu foto Widodo yang terkurasi sebagai karya resmi FFD 2024 salah satunya–sekaligus paling tua–tercatat dipotret pada 15 Januari 2015. Diskursus ini membuat Dito menanggapi dan mendedah bahwa kekhawatiran terkait foto dan karya audiovisual di media sosial muncul dari medan medium yang menjadi vernakular–lazim dan umum bagi semua kalangan. Terlebih semua pengguna media sosial dapat mengunggah ragam karya fotografinya, bahkan yang ditangkap melalui kamera gawainya. Ia lantas menjelaskan alasan seni rupa hari ini bermain di taraf wacana, tidak peduli lagi pada medium penciptaannya.
DOC Talk sore itu semakin menarik dan subtil tatkala Alia Damaihati selaku Direktur Festival FFD 2024 turut menjelaskan seluk beluk kurasi foto-foto Widodo yang dihadirkan dalam program Ekshibisi bertajuk “Ketaksaan”. Mulanya, semua karya foto hitam putih “pasar malam” Widodo berusaha dipakai, tetapi pembacaan visualnya menjadi sepi di tengah keramaian. Ia juga menggugat film dokumenter dan pembuatnya yang terlalu setia pada medium. Alhasil, FFD berusaha mengujinya terhadap ragam perubahan medium, seperti halnya fotografi yang menjadi bagian dari dokumenter. Kehadiran fotografi dalam festival tahun ini membuktikan FFD hadir sebagai ruang untuk menguji dokumenter dengan ragam perubahannya. Kolaborasi lintas disiplin mesti menjadi kerja-kerja kolektif untuk menciptakan brand identity. Bukan hanya sebatas klaim sepihak. Hal yang juga diamini oleh Widodo yang merasa fotografi juga kolot sebagai medium. Ia juga berharap ragam karya seni lintas disiplin–juga lintas matra–dapat hadir dalam festival lain melebihi mediumnya.
Setiap fotografer memiliki metode masing-masing dalam menciptakan karya dan menangkap suatu peristiwa. Bagi sebagian orang ini bisa jadi merupakan sebuah batasan, tetapi ada pula yang menganggapnya sebagai bantuan. Dalam memotret pasar malam misalnya, Widodo menangkapnya secara instan. Ia merasa makna dan cerita dari sebuah foto timbul dalam proses pengeditan. Itu pulalah yang membuat foto memiliki relasi yang menarik dengan waktu, sebab pemaknaan visual terhadap foto selalu berkembang seiring pergantian konteks waktu. Perkembangan konteks pemaknaan ini sayangnya menciptakan cacat pikir terhadap karya visual, utamanya foto. Widodo lantas menceritakan pengalamannya dalam kerja-kerja fotografis. Ia berpendapat bahwa kita tidak bisa 100% tanpa bias ketika memotret. Alhasil, sebelum memotret kita mesti menyiapkan dan mempertimbangkan pola pikir ketimbang sekadar teknik foto semata. Dito menambahkan bahwa seorang fotografer harus adil dan melatih pola pikir tersebut terus menerus. Ia lantas mengutip kalimat legendaris Pramoedya Ananta Toer dalam roman Bumi Manusia (1975). “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Hari ini, foto telah menjadi media visual vernakular yang bisa digunakan oleh siapa pun dan untuk alasan apa pun. Namun, sebagai medium, foto selalu menyimpan ruang untuk menangkap peristiwa dan mendokumentasikannya ke dalam arsip visual yang menyimpan berbagai narasi. Kerja-kerja semacam ini juga merupakan ruang yang dihadirkan oleh medium film dokumenter. Oleh karenanya, FFD dengan semangat terus berkembang dan melampaui batas menghadirkan kesempatan kolaborasi ini sebagai sebuah peristiwa kebudayaan yang inklusif dan eksploratif.
Diliput oleh Ahmad Radhitya Alam pada 7 November 2024. (Ed. Vanis)