Penceritaan dalam film dokumenter sering kali dapat menjadi kesempatan untuk menciptakan dialog antargenerasi. Tidak hanya dapat menjembatani masa lalu dengan masa kini, hal tersebut juga bisa menjadi sebuah pandangan mendalam pada konteks yang melatarbelakangi baik secara global atau pun lokal, nasional atau transnasional, dan termasuk pula cara mereka berinteraksi. DOC Talk: A Form of Intergenerational Dialogues, yang diadakan di Ruang Rapat TBY pada hari Selasa tanggal 5 November, mengeksplorasi berbagai lapisan yang dapat diekspresikan oleh film dokumenter dan proses di balik produksi gambar yang dapat memantik diskusi transgenerasi.
Di DOC Talk, sutradara peraih penghargaan, Kek-Huat Lau, membahas proses di balik film terbarunya, From Island to Island (2024). Sutradara Lau membahas mengenai pengembangan estetika dan kreativitas yang ia lakukan pada pemilihan adegan dan suasana untuk membangun ketegangan dan narasi pada proyek ini, sebuah proyek pribadi milik sutradara kelahiran Malaysia yang berbasis di Taiwan. DOC Talk kali ini dipandu oleh Sandeep Ray, seorang penulis, pembuat film, sejarawan, dan Kepala Fakultas Humaniora di University of Nottingham, yang menjadi moderator pada kesempatan ini. Wawasannya yang luas sangat cocok untuk diskusi multidimensi yang tidak hanya membahas tentang pembuatan film dokumenter tetapi juga film sebagai medium untuk membahas sejarah, ingatan, dan peran kita sebagai manusia yang sering, secara kolektif, bergulat dengan identitas kita yang berbeda serta masa lalu kita bersama.
Film panjang Kek-Huat Lau adalah contoh presentasi berlapis-lapis yang diperlukan untuk secara efektif mendorong dialog antargenerasi, yang terkadang secara langsung ditampilkan di layar. From Island to Island (2024) menggabungkan wawancara dan materi arsip dari rekaman hingga surat-surat pribadi keluarga dan segala hal lainnya, yang dengan serius mengeksplorasi berbagai pengalaman tentara, dokter, dan diaspora Taiwan di Asia Tenggara selama Perang Dunia II. Film ini membahas kompleksitas memori sejarah Taiwan untuk membentuk memori kolektif Taiwan ketika masih menjadi bagian dari Kekaisaran Jepang
Sutradara Lau mengungkapkan kemarahannya selama hampir lima tahun pembuatan film, yang dapat dirasakan oleh banyak orang yang menonton film tersebut. Kemarahan yang diarahkan pada generasi dan skala masyarakat yang berbeda tercermin pada film From Island to Island (2024). Film ini merupakan sebuah perhitungan berlapis-lapis dari hal-hal tersebut. “Sepanjang perjalanan ketika saya menemukan lebih banyak, saya menjadi marah… Mengapa masyarakat Taiwan diam selama lebih dari 70 tahun? Saya bukan sejarawan terlatih, saya pergi dan melakukan penelitian dan langsung menemukan buktinya, mengapa mereka tidak melawannya?” Sutradara Lau mendiskusikan tentang kurangnya upaya untuk mengatasi kekejaman di Asia Tenggara yang dihasut oleh orang Taiwan yang tergabung dengan tentara Jepang dan didukung oleh masyarakat Taiwan di negara-negara tersebut pada saat itu.
Namun, dia tidak segan-segan mengecam kesulitan yang mengakar dalam menangani masalah antargenerasi ini, dan cara mereka secara terbuka berbagi mengenai pembentukan proses kreatifnya dan pengambilan keputusan sebelum, selama, dan pascapembuatan pembuatan From Island to Island (2024). Dia berbagi cerita tentang kebimbangan yang sulit saat mewawancarai keluarga, atau mantan pelaku kengerian perang tersebut. Dia melihat secara langsung berbagai cara penghindaran, memberikan sebuah pandangan yang intim pada kerumitan memori, baik pada level individu maupun kolektif, dan yang lebih penting, melalui wawancara, dia membiarkan hal tersebut terpampang di layar.
“Saya tidak melihat film dokumenter saya lebih sebagai film dokumenter sejarah, saya akan mengatakan bahwa film ini adalah film dokumenter kenangan. Film ini menunjukkan cara memori bekerja. Jika Anda dengan mudah menilai orang tersebut salah atau benar, mereka akan menolak untuk berbicara dengan Anda. Namun, jika Anda berempati dengan mereka, maka mereka akan mulai berbicara,” kata sutradara Lau dalam upayanya untuk mengundang dialog antargenerasi dengan pelaku, korban, dan keluarga mereka yang tercermin pada proses penelitian dan wawancara yang ditunjukkan pada film.
Sutradara Lau berbicara tentang betapa dia akan mencoba yang terbaik untuk menempatkan dirinya pada posisi mereka yang sedang diajak bicara, dan pendekatan tersebut penting dalam dialog antargenerasi. Ketika berbicara dengan mantan tentara Taiwan, dia akan mencoba untuk bersikap adil dan memahami kondisi pribadi dan kontekstual juga sesuatu yang telah diajarkan pada mereka yang membentuk sudut pandang mereka pada saat itu. Memahami bahwa mereka melihatnya sebagai orang luar, dan berpotensi adanya perseteruan karena latar belakangnya, Sutradara Lau akan tetap diam di belakang kamera. Contohnya, dia memberikan kesempatan pada mantan tentara Jepang untuk membuka diri kepada penerjemahnya, seorang mahasiswa Jepang, atau bahkan kadang-kadang dengan anggota keluarga mereka.
Sutradara Lau menambahkan bahwa di balik keadilan dan kepercayaan, yang paling penting dalam dialog antargenerasi adalah berbicara tentang fakta yang sebenarnya. Seperti yang terlihat di layar dan seperti yang dikatakan sutradara Lau sebelumnya, pendekatan tersebut yang dia gunakan ketika berhadapan dengan keturunan orang Taiwan yang menjadi tentara Jepang. Sutradara Lau mendiskusikan tentang hal-hal ini pada Simon Yeoh, yang ditampilkan dalam From Island to Island (2024), setelah sebelumnya disajikan dokumen sejarah yang membuktikan kerjasama kakeknya dengan penjajah Jepang di Malaysia. “Dia masih ingin mengingat sisi baik kakeknya. Tapi ketika saya menunjukkan bukti dan dokumen yang bertentangan, dia mulai mengubah pendiriannya. Saya mencoba menunjukkan proses itu. Dia tahu tujuanku… Dia menyadari bahwa hal ini sebagai kesempatan baginya untuk mengungkapkan ingatannya, untuk mengungkapkan dirinya sendiri.”
Kesempatan lain (ternyata) tidak berjalan seperti itu. Ketika dihadapkan dengan fakta keterlibatan ayahnya dengan senjata kimia tentara Jepang, seorang dokter Taiwan menyatakan bahwa ia menolak untuk menceritakan kisah itu kepada anak-anak atau cucu-cucunya. Hal ini menunjukkan bahwa dia tidak ingin mereka menanggung beban ini. Berkaca pada hal ini, sutradara Lau menambahkan, “Masyarakat Taiwan membutuhkan waktu untuk mulai melihat kembali sejarah ini. Saya harap ada kemungkinan penghapusan penolakan ini suatu hari nanti. Saya berharap (From Island to Island) dapat menciptakan pemikiran baru untuk anak muda Taiwan. Cara kita memandang hal tersebut dapat membebaskan kita dari masa lalu… Ini adalah harapan saya untuk kaum muda Taiwan saat ini. Mereka dapat memulai untuk menerima sejarah masa lalu,” Sutradara Lau juga menambahkan mengenai cara menyajikan proses dialog antargenerasi, dengan segala kesulitan, agar dapat menginspirasi.
Covered by Aradi Ghalizha on November 5, 2024. (Ed. Vanis/Trans. Shafira Rahmasari)