Menyoal Identitas Bangsa Papua bersama Festival Film Papua

— Newsletter
FFD 2018
Diskusi program DOCTALK

Berangkat dari pemutaran empat film di program “Doc-Talk” yang bertajuk Programming on Table: Festival Film Papua, Festival Film Dokumenter (FFD) 2018 turut menggelar sesi diskusi bersama Ottow Wanma, koordinator Papuan Voices Wilayah Tambrauw Papua Barat dan Imanuel Hindom, anggota Papuan Voices Wilayah Keerom, sebagai penyelenggara Festival Film Papua (FFP). Bertempat di Auditorium IFI-LIP pada Rabu (12/12), empat film yang ditayangkan merupakan hasil kurasi dari FFP, yakni: RPP (Resep Pendidikan Papua) (2018), Dipenjara (2018), Generasi Kayu Lapuk (2018), Tete Manam (2018).

FFP adalah agenda tahunan Papuan Voices, yang telah berlangsung selama dua kali. Sedang Papuan Voices sendiri merupakan komunitas film yang dibentuk oleh anak muda Papua pada 2011 dengan gagasan dasar untuk memperkenalkan film-film karya mereka dan mengampanyekan isu-isu tentang alam dan manusia Papua. Agenda lainnya dari Papuan Voices adalah pelatihan produksi film dokumenter serta distribusi ke pemutaran independen lain.

“Selama ini banyak berita tentang Papua, tapi kami merasakan tidak ada perubahan bagi warga Papua sendiri. Tidak ada perdamaian dan keadilan di tanah Papua. Menurut kami, hal ini terjadi karena banyak narasi yang ada di media, tidak ditulis oleh kami sendiri; warga Papua,” ujar Ottow.

Keempat film menghadapkan penonton pada problematika dalam relasi yang terjadi antara Indonesia dengan Papua. Dipenjara, film garapan Strakky Yalli yang mengangkat kisah Yanto Arwekeon, satu dari sekian banyak aktivis Papua yang sempat ditangkap tanpa proses pengadilan di tanahnya sendiri misal, menjadi penting untuk dibicarakan. Di film berdurasi 9 menit ini, negara hanya hadir lewat monolog Yanto. Monolog yang menangkap bagaimana selama ini Indonesia hanya hadir lewat instrumen pemerintah, dalam hal ini polisi dan militer, menyebarkan teror dan ketakutan. Memaksakan narasi identitas, siapa dan apa itu Orang Asli Papua (OAP).

Pemaksaan yang pada ujungnya dapat kita lihat sebagai upaya untuk melanggengkan ketimpangan ekonomi, direkam oleh Rizal Lani di film Generasi Kayu Lapuk. Bagaimana pembangunan tidak hanya merampas ruang hidup, tapi juga memaksakan cara hidup tertentu kepada OAP. Termasuk mencuri di tanahnya sendiri, lewat kisah mereka yang dipaksa menjadi penebang kayu ilegal pasca pembangunan jalan Trans-Papua. Generasi Kayu Lapuk sedikit banyak dapat menunjukkan kecacatan dalam memaknai konsep pembangunan yang sering kali justru abai untuk melihat manusia di sekitarnya.

Lalu bagaimana seharusnya kita melihat OAP? Yosep Levi di RPP (Resep Pendidikan Papua) menawarkan gagasannya lewat kisah Tri Ari Santi, seorang guru yang menerapkan pendidikan kontekstual di sekolahnya, SDI Saminage. RPP (Resep Pendidikan Papua) menjadi antitesis terhadap logika kolonialistik warisan Orde Baru dalam bagaimana kita seharusnya memandang tanah dan manusia Papua. Figur Tri Ari Santi di sini hadir, dan menanggalkan segala identitas bentukan satu kekuatan ekonomi-politik. Menolak untuk melihat manusia Papua dengan segala stereotip yang hanya mendistorsi fakta bahwa mereka juga manusia.

Film Tete Manam mencoba menghadirkan gambaran bagaimana OAP adalah seorang manusia biasa, lewat kisah Frans Manam, seorang kakek di Biak Barat dengan keinginannya untuk kembali ke Jayapura, tempat ia dulu bekerja. Konflik batin yang ia alami tidak bisa dilepaskan dari konteks politik nasional di balik keputusannya untuk pergi dari Jayapura. Siska Manam, sebagai sutradara, menyajikan kisah yang dekat, namun menjadi begitu asing dari kita yang justru akrab dengan stereotip rasis dan diskriminatif kepada OAP.

Pada akhirnya kehadiran Papuan Voices menjadi penting sebagai upaya untuk menghadirkan narasi tandingan, merebut kembali ruang publik dari logika kolonialistik. Lewat kegiatan-kegiatan yang mereka adakan; penyelenggaraan FFP, pelatihan produksi film, hingga distribusi film. Semuanya dilakukan dalam satu gagasan besar untuk mengenali diri mereka sendiri sebagai OAP. Membaca apa yang terjadi di sekitar mereka, lalu menulis dan merekamnya, alih-alih tunduk pada narasi kebenaran dengan dalih pembangunan dan ancaman penjara.

“Kami di sini berperan untuk memberikan dukungan kepada generasi muda seluruh Papua, untuk menunjukkan apa itu Papua kepada OAP sendiri, juga kepada publik umum. Bagaimana agar film tentang Papua dibuat oleh orang Papua, dan orang lain yang menonton,” ungkap Imanuel.