Review Film: Wine Calling (2018)

— Ulasan Film
FFD 2018
Review Film: Wine Calling (2018)

‘Makan’ –sebagai sebuah kata kerja– sejatinya memang bukan semata soal apa yang tersaji di atas piring. Ia adalah ritual perayaan yang menjadi titik temu, awal dari rangkaian proses panjang. Satu rangkaian yang melibatkan sejarah, budaya, hingga identitas kolektif atau individu. Melibatkan pertanyaan-pertanyaan soal siapa, mengapa, bagaimana, kapan, di mana, dan apa. Maka, segala upaya untuk membuat ritual tersebut menjadi semata-mata soal kenikmatan inderawi belaka bisa dikatakan sebagai sebuah tindakan reduksionis. Setidaknya itu yang diamini Jean-François Nicq, sang tokoh utama.

Barangkali sikap ini pula yang berada di balik pemilihan judul film. Wine Calling (2018) tidak bisa tidak mengingatkan pada judul album dan nomor klasik dari unit punk, The Clash, London Calling (1979). Pilihan judul yang sebenarnya sangat bisa dimengerti, mengingat Bruno Sauvard, sang sutradara, tengah merekam keseharian Jean-François dan mereka yang disebut sebagai generasi neo-winemakers. Sauvard seperti hendak menangkap resonansi pada realitas yang Joe Strummer dan kawan-kawan The Clash hidupi, dengan yang ia angkat sendiri dalam filmnya.

Pasalnya, apa yang Jean-François lakukan tidak lain adalah penolakan terhadap elitisme yang mengalienasi wine itu sendiri. Segala yang Jean-François lakukan, baik di perkebunan anggur, tempat pengolahannya, hingga saat ketika wine disajikan di meja makan, merupakan pilihan untuk tidak mencabut wine dari sifat komunalnya. Sebagai winemaker, Jean-François seolah tidak ingin wine-nya terasing di wine cellar seorang kolektor benda seni adiluhung, yang barangkali belum tentu diminum sekali dalam setahun. Ia tidak ingin hasil kerjanya terpenjara oleh label-label konstruksi industri yang telah begitu terperangkap elitisme dan menjadikan wine hanya sebagai simbol. Hingga penilaian atasnya, ditentukan oleh ukuran-ukuran fisik belaka. Dari mana ia berasal, tahun berapa ia diproduksi, dan entah istilah atau angka lain yang hanya dimonopoli oleh lingkaran wine snob.

Lewat montase-montase lanskap perkebunan anggur, ruang makan, halaman belakang rumah hingga dapur restoran, Sauvard merekam bagaimana wine dalam hidup Jean­-François tidak hadir dalam ruang hampa. Ia melibatkan aspek relasi dan emosi; menghubungkan manusia dan lingkungan sosial-budayanya. Relasi antar pekerja, manusia dengan hewan –lewat seekor kuda penarik bajak, warga sekitar perkebunan, hingga relasi manusia dengan tanah sebagai entitas materiil dan ideologis.

Dengan pendekatan produksi yang tidak ingin menihilkan kehadiran manusia dan lingkungannya, Jean-François menawarkan kebaruan dalam industri wine. Sikap ideologis ini juga yang pada akhirnya ia terjemahkan di ranah teknis dengan menolak penggunaan pestisida, ragi, dan senyawa artifisial lain yang ‘umum’ digunakan dalam pembuatan wine konvensional.

Layaknya London Calling yang menyoal pengalaman Joe Strummer di tengah ketakutan akhir zaman akan ancaman nuklir, Jean-François menyuarakan kegelisahan serupa. Ketakutan akan bencana ekologis yang tidak hanya menyisiri jalanan kota London, namun juga lahan perkebunan anggur miliknya. Ia bisa berbentuk nuklir, atau penggunaan pestisida yang telah sampai pada tahap mengkhawatirkan karena semua pihak terus melakukan pembiaran. Juga industrialisasi yang mereduksi satu pengalaman komunal di meja makan menjadi semata ritual pemenuh hasrat konstruksi peradaban yang digerakkan oleh konsumerisme.

Wine Calling pada akhirnya menjadi ajakan bahwa tidak ada kata terlambat untuk menjadi sadar dan peduli. Tentang bagaimana caranya untuk dapat mewariskan dunia yang lebih baik dari dunia yang kita hidupi. Dengan membawa wine ke tengah manusia, menolaknya hanya diperlakukan sebagai simbol satu kelas sosial tertentu. Lalu memulai revolusi dengan kehangatan di ruang makan, pabrik dan pasar, serta mempertahankan ruang hidup dengan tidak lupa untuk tetap bersenang-senang.

Film Wine Calling sudah diputar dalam program Le Mois du Documentaire pada tanggal 26 November 2018 kemarin di IFI-LIP Yogyakarta. Agenda lengkap terkait penyelenggaraan FFD 2018 bisa diperiksa di jadwal.

 

Penulis: Fahmi Khoirussani