Wawancara dengan Makiko Wakai

— Interview
FFD 2018
makiko

Tim Festival Film Dokumenter (FFD) 2018 berkesempatan untuk mewawancarai Makiko Wakai, koordinator dari “New Asian Currents”, program kompetisi Yamagata Internasional Documentary Film Festival (YIDFF) yang menjaring filmmaker-filmmaker kenamaan di penjuru Asia.

Tahun ini, Makiko menjadi salah satu dari tiga juri kompetisi Dokumenter Panjang FFD 2018. Di sesi wawancara, kami membicarakan peran festival film sebagai ruang diskusi alternatif hingga ekosistem film dokumenter di Jepang. Simak wawancara kami dengan Makiko dalam artikel ini:

 

Sinema Jepang memiliki sejarah yang panjang. Di tahun 40-an dan 50-an, Jepang sudah memiliki studio besar seperti Toho dan Daiei. Di 1951, Akira Kurosawa mengharumkan nama Jepang ke mata internasional lewat penghargaan yang ia menangkan di Venice Film Festival. Dalam amatanmu, bagaimana peran dokumenter pada masyarakat Jepang sendiri?

Saya rasa itu berkaitan dengan bagaimana dokumenter hadir pertama kali di Jepang. Ini dimulai ketika Bandara Narita dibangun, pemerintah harus mengambil lahan dari para petani setempat. Khususnya di tahun 60-an sampai 70-an, banyak pergerakan pelajar di dunia; termasuk di Jepang sendiri. Ada banyak sekali kaum kiri radikal yang bergabung dengan petani. Termasuk juga Ogawa Shinsuke –salah satu filmmaker Jepang masa itu- bersama kru-krunya. Mereka turut merasakan perjuangannya, dan membuat banyak dokumenter tentang isu perjuangan. Momen itu seperti pijakan bagi Jepang, dalam konteks dokumenter maupun pergerakan.

Itu semua berkat Ogawa dan kru; kita sebut mereka Ogawa Productions. Mereka membuat dokumenter tentang perjuangan di Narita dan membuat pemutaran independen di berbagai daerah di Jepang. Mereka membentuk nama mereka lewat film dokumenter dan pemutaran. Memang, ketika orang-orang berbicara tentang dokumenter Jepang, ada film-film pra-perang, dan mungkin setelah itu semakin banyak pembuat dokumenter. Tetapi, hal pertama yang terlintas di pikiran terkait dokumenter Jepang adalah Ogawa Productions. Mereka tergolong sebagai filmmaker dokumenter kenamaan dan turut membuat dokumenter sebagai tradisi yang terpandang bagi masyarakat.

 

YIDFF dibentuk tahun 1989 dan menjadi salah satu festival film tentang dokumenter pertama di Asia, bahkan dunia. Bisakah anda menceritakan perjalanan YIDFF? Bagaimana ini dimulai? Apakah ada perubahan yang terjadi? Dan, apa yang menjadi fokus utama dari YIDFF belakangan ini?

Ini juga ada kaitannya dengan Ogawa Shinsuke. Karena setelah perjuangan di Narita selesai, Ogawa dan krunya beralih ke Yamagata, dan membuat banyak film di sana. Salah satunya bahkan memenangkan Berlin Internasional Film Festival tahun 1984, dan membuatnya memiliki reputasi di kancah internasional. Dialah salah satu alasan utama YIDFF berdiri, dan tentu Yamagata juga memiliki banyak filmmaker, penikmat film, dan gerakan yang fokus untuk membangun citizen cinema, lewat pemutaran-pemutaran independen. Orang-orang itu, termasuk juga Ogawa, dan pemerintah kota turut membantu penyelenggaraan festival

Tidak banyak festival film untuk dokumenter di Asia ketika 1989. Kondisi politik kala itu masih terlalu menyulitkan bagi filmmaker untuk membuat dokumenter. Karena filmmaker dokumenter independen sering kali dihadapkan dengan opresi dari pemerintahnya, sebab mereka dianggap terlalu lantang dalam menolak rezim politik daerahnya. Jadi, ketika pemerintah tidak ingin opini tertentu diekspresikan, mereka akan melakukan represi. Atmosfir (dokumenter) tidak hidup di sana. Bahkan ketika ada yang ingin membuat dokumenter, mereka tidak bisa bebas melakukannya.

Jadi ketika YIDFF dulu menerima submisi, hanya sedikit sekali dokumenter Asia yang masuk. Dan dulu, orang-orang membuat film menggunakan seluloid; itu saja sudah menjadi halangan besar. Tentu itu menjadi masalah di awal. Hingga, Ogawa dan festival film memilih untuk membuka forum; sebuah simposium di 1989 yang mendiskusikan apa yang terjadi di Asia. Kami benar-benar ingin membuat YIDFF sebagai ruang di mana filmmaker bisa berkumpul, menampilkan filmnya. Dan itu saja masih sulit sekali. Jadi, kami mengundang filmmaker; curhat tentang kondisi politik, rintangan yang ada, dan segi-segi teknis seperti keuangan. Itulah masalah yang kita hadapi.

Dan, ada juga pertanyaan tentang bagaimana kami bisa membuat YIDFF sebagai ruang untuk mendiskusikan hal-hal semacam ini, seperti bagaimana kami mengatur filmmaker yang membuat film, tapi kita tidak tahu mereka. Atau mungkin tidak ada sumber daya untuk mengirim film pada kami, dan bisa saja mereka memiliki keterbatasan akses. Karena, seperti anda tahu, semua tidak mudah pada masa itu. Jadi, setelah simposium, tepatnya di penyelenggaraan kedua, kami menggelar Asian Competition Program (Program Kompetisi Asia). Lalu, Ogawa Shinsuke meninggal pada 1992. Di penyelenggaraan ketiga, kami mendedikasikan penghargaan untuk Kompetisi Asia menjadi “The Ogawa Shinsuke Prize”. Jadi, semangat maupun gagasan pembentukan YIDFF sebagai ruang untuk filmmaker Asia bisa diingat, karena tidak ada tempat lainnya kala itu. Semangat itu kami jaga baik-baik, dan tidak berubah. Tapi mungkin situasinya agak berbeda, karena sekarang sudah banyak festival (yang seperti itu).

 

Bagaimana anda melihat ruang seperti Festival Film Dokumenter (FFD) sebagai sebuah lingkungan yang menawarkan perspektif alternatif?

Tentu saja penting untuk memiliki ruang di mana anda bisa menampilkan film-film yang kritis untuk audiens awam; untuk menawarkan sejarah alternatif. Saya rasa film indepenten, khususnya dokumenter, adalah satu-satunya jalan untuk mengekspresikan opini semacam itu. Dan, senang rasanya ketika itu terjadi, di Jogja ini. Maksudnya, kalian tidak mendapatkan tubrukan ketika memutar film-film tersebut. Pemerintah tidak secara langsung turun tangan dan menghentikan pemutaran. Dan lagi, ketika muncul konflik saat film diputar, itu malah menjadi alasan tambahan untuk benar-benar menayangkannya. Dan penting untuk memiliki ruang yang aman untuk memutar film-film tersebut; yang tidak terintimidasi oleh gerakan-gerakan itu.