Review Film: Talking Money (2018)

— Ulasan Film
FFD 2018
Review Film: Talking Money (2018)

Film ini diawali dengan sebuah kutipan “Money is not a things, it is a social relation” (Karl Marx, 1847) yang cukup memberi penekanan bahwa; di berbagai belahan dunia, uang menciptakan sebuah relasi serupa tapi tak sama dalam segala aspek kehidupan manusia. Alih-alih mendatangkan kebahagiaan seperti yang selama ini dijanjikan oleh kapitalis, sebaliknya uang justru mendatangkan beragam keresahan. Talking Money: Rendezvous at the Bank (2018) adalah visualisasi dari wajah-wajah yang resah akan keadaan finansial mereka. Orang-orang yang sedang resah ini seperti sedang terperangkap di dalam sebuah jaring tak kasat mata yang terekam dalam percakapan intim di meja konsultasi antara nasabah dan konsultan bank tradisional hingga modern di delapan negara yang berbeda. Percakapan di meja-meja konsultasi yang oleh Sebastian Winkels diposisikan selayaknya panggung di mana negosiasi digunakan untuk berbagai kepentingan.

Lima belas orang nasabah dengan latar belakang sosial yang berbeda menceritakan keluhan dan masalah yang berbeda-beda kepada konsultan dengan bahasa yang berbeda-beda pula, namun penyebabnya tentu saja sama; uang. Misalnya saja masalah keuangan yang paling klasik seperti yang dialami oleh Julia Herrera, seorang pedagang lemon di Bolivia yang hendak melakukan pinjaman modal, namun tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh Cooperativa Hospicio LTDA, Bolivia. Hingga masalah lain yang lebih urban, seperti yang dialami oleh Christina Schumacher di Switzerland. Christina tinggal bersama dengan pasangan beserta tiga orang anak tanpa hubungan pernikahan. Ia tidak memiliki masalah keuangan yang serius, namun tetap mengkhawatirkan kehidupan finansialnya di masa depan, sehingga membuatnya memutuskan untuk memulai sebuah investasi di Alternative Bank Schweiz, Switzerland yang menurutnya dapat menjamin kehidupannya beserta pasangan dan ketiga orang anaknya di masa depan.

Dua cerita di atas adalah realitas di kehidupan abad ini. Secara sederhana, ada dua cara dalam memperlakukan uang; utang bagi mereka yang merasa kurang atau investasi bagi yang merasa lebih. Keduanya punya tujuan yang sama, yaitu harapan akan kesejahteraan di kehidupan sekarang dan yang akan datang. Setiap dialog berusaha menyoroti bahwa berkunjung ke bank, menceritakan keluhan dan kebutuhan kepada ahlinya adalah pilihan yang tepat untuk mendapatkan solusi atas segala kegelisahan finansial. Meskipun harus melalui serangkaian negosiasi yang tidak semua berakhir sesuai dengan harapan.

Relasi manusia dengan uang tidak lagi hanya sekadar alat tukar, melainkan menjadi simbol yang merepresentasikan kekuatan, simbol kesetaraan bahkan ketidaksetaraan, simbol kewibawaan, hingga simbol tanggung jawab. Uang berkembang melampaui dirinya. Di penghujung kisah kita pun akhirnya sadar; uang memiliki kekuatan untuk menciptakan relasi yang tidak biasa.  Perkara uang mampu meleburkan batas antara yang privat dan yang umum. Pada akhirnya orang-orang tanpa ragu menceritakan permasalahan finansial pribadi mereka kepada orang lain yang baru saja mereka kenal, seperti relasi yang terjalin antara nasabah dan konsultan bank dalam film ini. Lalu, kepada siapa idealnya kita menceritakan kondisi finansial pribadi kita?  Talking Money: Rendezvous at the Bank menampilkan perspektif berbeda soal ini; sampaikanlah pada yang ahli, bukan lagi pada yang dekat.

 

Film Talking Money: Rendezvous at the Bank akan diputar pertama kali di Festival Film Dokumenter 2018 pada 6 Desember 2018 di Societet Militair TBY pukul 19.00 WIB.  Agenda ini dirangkai bersama dengan diskusi film tersebut di program “School of Seeing”, sebuah program apresiasi dokumenter yang diselenggarakan InDocs dan Goethe Institut Indonesia.

Penulis: Christen Stephanie