Nyai –seorang perempuan pribumi yang “dimiliki” oleh tuan-tuan Eropa– kerap mendapat citra negatif, baik dari sesama pribumi maupun seorang asing. Mereka dianggap gundik, sundal, tidak punya moral, dan lain sebagainya. Mereka dijual untuk dikawini. Jika tuan-tuan ini sudah bosan, nasib Nyai hanya dua: ditinggalkan atau dilimpahkan pada tuan yang lain. Beruntung jika masih dilimpahkan. Sebab, ketika Nyai ditinggalkan, tak seorang pun mau menerima mereka kembali di masyarakat, termasuk keluarganya. Citra negatif Nyai yang demikian, diretas oleh Enang Wattimena melalui film Liefde (2017).
Film ini mengisahkan Enang yang mencari identitas dari sosok yang terpotong dalam foto keluarganya. Sosok yang digadang-gadang adalah nenek buyutnya sendiri. Seorang Nyai dari Aceh bernama Khalida. Dalam prosesnya, Enang melibatkan empat narasumber, yakni ibunya, bibi Grace, paman Dennis dan penulis buku De Njai bernama Reggie Baay.
Seperti bermain poker, Enang mengambil dan merangkai seluruh informasi dari narasumber untuk memenangkan pencariannya. Segala informasi narasumber merupakan kartu yang bernilai bagi Enang. Jika informasi ini membuka jalan baru untuk mengenal Khalida, maka saya anggap Enang mendapat kartu dengan nilai besar. Pun sebaliknya.
Permainan diawali dengan lima kartu yang didapat Enang dari bandar. Saat itu, kartu Enang memiliki nilai yang tidak cukup bagus. Yakni, ketika dirinya mendapati fakta bahwa terdapat seseorang yang sengaja menghilangkan identitas Khalida, dengan cara memotong figur Khalida dalam foto keluarganya. Namun seiring perjalanan, Enang mulai mendapatkan kartu dengan angka-angka yang cukup bagus. Misalnya saja di peristiwa Ibu Enang ketika menjelaskan nama dari figur yang terpotong pada foto keluarga. Pada putaran pertama ini, Enang mendapat kartu King Spades, yang bisa saja mengantarkannya pada kemenangan, yaitu pencerahan bagi kebingungannya atas sejarah keluarga sendiri.
Putaran demi putaran Enang lalui. informasi demi informasi dia susun, hingga Enang Wattimena menemukan sebuah arsip yang nilainya setara dengan Ace Spades.
Enang memang memenangkan permainan ini, namun dirinya sadar bahwa kartu terakhir yang didapat tidak cukup kuat untuk menjamin bahwa Khalida tidak diperlakukan sebagai gundik. Sebab di masa kolonialisme, perempuan pribumi bisa saja dibeli oleh tuan-tuan Eropa untuk diperistri, namun tetap haknya sebagai manusia adalah nihil. Dalam artian, arsip tersebut, tidak menjamin bahwa Khalida mendapat kasih sayang dari kakek buyut Enang dan diperlakukan selaiknya keluarga. Kartu Ace Spades itu belum mampu menepis stereotip pada diri Khalida.
Walaupun demikian, gaya penceritaan membangun keintiman antara Enang dan Khalida, dua sosok yang sebenarnya tidak pernah bertemu. Hal ini nampak dari cara Enang saat menggali informasi dari narasumber. Selama 13 menit, tidak ada kondisi yang meletakkan narasumber sebagai subyek tunggal, yang bercerita satu arah pada penonton secara langsung. Narasumber hadir sebagai penerang Enang dalam proses pencarian jati diri atas nenek buyutnya. Sedangkan, saya menjadi pengamat yang posisinya dekat dengan keduanya. Dan dalam pengamatan saya, narasumber maupun Enang seolah sudah cukup lama mengenal sosok Khalida. Mereka berada dalam satu frekuensi, yakni sama-sama merindukan Khalida. Sosok Khalida pun bisa dipahami sebagai seorang yang tak asing bagi mereka; seolah dekat meski sebenarnya berjarak.
Liefde adalah salah satu film dalam program “Lanskap” yang diputar pada 7 Desember 2018 pukul 13.00 di IFI-LIP Yogyakarta. Cek jadwal untuk mengetahui agenda selengkapnya dari FFD 2018.
Penulis: Annisa Rachmatika