Pendekatan Etnografi Indrawi dalam Produksi Audiovisual

— Newsletter
FFD 2019

Rabu (4/12) — Festival Film Dokumenter (FFD) 2019 menggelar program DocTalk: Etnografi Indrawi di Kedai Kebun Forum. Melalui diskusi ini, peserta diajak untuk mengetahui bagaimana pendekatan etnografi indrawi digunakan sebagai metode dalam menghasilkan karya audiovisual. Dimoderatori oleh Fiky Daulay (Peneliti dari Kunci Study Forum & Collective), diskusi ini menghadirkan Aryo Danusiri (filmmaker dan peneliti) dan Muhammad Zamzam Fauzanafi (peneliti dan dosen Antropologi Budaya UGM)

Zamzam menjelaskan bahwa etnografi indrawi muncul sekitar 1990-an, bersamaan dengan masuknya pendekatan fenomenologi di antropologi. “Jika ingin meneliti masyarakat, jangan lagi melihat masyarakat atau kebudayaan sebagai teks. Teks itu dibaca, bukan sesuatu yang harus dipelajari. Sedangkan dalam fenomenologi, kebudayaan itu dilihat sebagai pengalaman, bukan untuk ditransformasikan ke dalam rangkaian kata-kata atau verbal, tetapi untuk dialami,” tutur Zamzam.

Bagaimana mendekati kebudayaan dengan pengalaman si peneliti itu sendiri? Metodenya kemudian berkembang, tidak harus selalu tertulis, tetapi juga bisa secara visual dan sonik. Orang-orang menganggap kalau membuat karya etnografi dengan pendekatan audiovisual akan lebih bisa mengakses pengalaman sensorial atau indrawi daripada tulisan.

Namun, ada perdebatan bahwa tulisan juga bisa mendeskripsikan sebuah fenomena atau sebuah gejala dengan sangat indrawi. Zamzam mencontohkan bagaimana Clifford Geertz menuliskan kematian seorang masyarakat Jawa yang sangat indrawi bagaimana bau dupa dan bagaimana orang-orang berkumpul. Sedangkan bagi mereka yang beranggapan bahwa visual lebih bisa mengantarkan pengalaman indrawi, itu karena adanya kamera atau teknologi dengan kualitas yang sudah sedemikian rupa. Contohnya, angle yang diambil close-up mewakili sentuhan, dan lensa wide angle mampu menciptakan perasaan tiga dimensi.

Lebih lanjut lagi, definisi etnografi indrawi dalam karya audiovisual menurut Zamzam adalah bagaimana merekam atau membuat satu produksi audiovisual dengan menggunakan pengalaman si filmmaker ke dalam suatu medium, misalnya kamera, yang ketika ditonton membangkitkan pengalaman penonton. Penonton tidak harus mengalami pengalaman yang sama persis seperti dalam karya audiovisual, tetapi sebenarnya mengingatkan pada memori-memori yang mirip seperti itu. “Kalau menunggu, rasanya kayak apa? Kalau menghadapi cuaca buruk, rasanya seperti apa?” kata Zamzam.

Ada yang menganggap bahwa teknologi dalam etnografi indrawi bisa “mewakili” pengalaman filmmaker ketika dia hadir di situ. Pada kenyataannya, persepsi manusia dengan teknologi itu berbeda. Penglihatan menggunakan mata adalah penglihatan binokuler, berbeda dengan sistem kamera. Oleh karena itu, Zamzam mengatakan perlu adanya teknik-teknik tertentu yang disebut rekayasa, baik ketika mengambil gambar atau proses editing. Proses perekaman gambar tidak sesederhana menekan tombol on-off saja. “Misalnya, ketika hadir dalam suatu peristiwa banjir dan kita kedinginan. Kamera tidak bisa menangkap dingin, kan. Maka perlu ada rekayasa cahaya melalui aperture kamera,” ucapnya.

Sedangkan Aryo berpendapat bahwa etnografi indrawi merupakan bagian dari pragmatisme, bahwa pengalaman bukan sekadar intermediary dari makna yang sistemik itu. Justru etnografi indrawi merupakan momentum di mana pengalaman mengalami redefinisi. Bagaimana individualitas, bagaimana aktor-aktor dan kondisi-kondisi tertentu tersebut mengubah atau meresistensi apa yang disebut sebagai kebudayaan sistemik. “Kalau misalnya mau tahu pengalaman minum di Kedai Kebun, ya bukan wawancara bagaimana sistem makna mengenai teh, tapi kita terlibat, kenapa sih pada siang ini dia memesan teh? Kondisi apa yang membuat orang akan melakukan pemilihan berbeda. Kita berfokus bahwa makna dari kebudayaan itu diperoleh melalui praktik, yang tidak stabil dan akan terus berubah,” tuturnya.

Selanjutnya, Aryo mengatakan bahwa pembuatan audiovisual dengan pendekatan etnografi indrawi untuk menangkap sesuatu yang tidak terduga, bukan untuk merekam proyeksi dari ide yang sudah dibayangkan sebelumnya. Pendekatan etnografi indrawi dalam produksi audiovisual untuk merekam hal-hal yang tidak bisa ditangkap dengan cara yang tekstual. “Membuat karya etnografi indrawi itu kan berdialog dengan tubuh, berdialog dengan publik, dan kemudian kita  sebetulnya mencoba menawarkan sesuatu ke publik, bagaimana dalam sebuah isu itu ada sesuatu hal yang invisible dari yang sudah visible. Tergantung bagaimana kita mau mendefinisikan wacana baru tersebut,” ujar Aryo.

Penulis: Nizmi Nasution