Menciptakan Komunitas Bebas dari Kekerasan Seksual

— Newsletter
FFD 2019

Festival Film Dokumenter (FFD) 2019 menggelar diskusi bertajuk “Berkumpul di Ruang Aman: Memahami Ulang Bentuk Kekerasan dalam Komunitas dan Pencegahannya” di Kedai Kebun Forum. Agenda ini merupakan rangkaian dari Program DocTalk yang dirancang untuk menciptakan FFD sebagai ruang belajar dan berbagi yang aman, nyaman, dan inklusif bagi semua orang yang terlibat di dalamnya (tim festival, tamu festival, volunteer, dan pengunjung festival). Dimoderatori oleh Amerta Kusuma (Board FFD), diskusi ini menghadirkan Vauriz Bestika (inisiator kampanye Sinematik Gak Harus Toxic), dan Ayu Diasti Rahmawati (Dosen Fisipol UGM).

Diskusi diawali oleh Aiz —panggilan akrab Vauriz Bestika—yang memperkenalkan kampanye Sinematik Gak Harus Toxic, yang merupakan tanggapan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan komunitas dan kegiatan perfilman. Kampanye yang berpegang pada 15 bentuk kekerasan seksual yang dirangkum oleh Komnas Perempuan ini membuka aduan melalui google form. Setiap pengaduan yang masuk akan menjadi data untuk memetakan pola atau modus dari tindak kekerasan seksual yang terjadi di lingkar komunitas film dan kegiatan perfilman, serta menindaklanjuti pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan atau lembaga layanan lain jika pelapor menghendaki. “Dari situ kami mendapat empat bentuk kekerasan seksual yang umum terjadi, yaitu: perkosaan, pelecehan seksual, kontrol seksual, eksploitasi seksual,” kata Aiz.

Selain itu, Sinematik Gak Harus Toxic telah mengupayakan dua pencegahan kekerasan seksual. Pertama, membuat lokakarya pencegahan kekerasan seksual bersama delapan komunitas film dari berbagai daerah di Indonesia, dengan mengundang Andy Yentriyani, Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan periode 2010-2014 sebagai fasilitator pada November 2019 lalu. Kedua, mendorong komunitas film untuk menyosialisasikan code of conduct (panduan etik) untuk kalangan internal komunitas dan kalangan eksternal—saat komunitas film menyelenggarakan kegiatan atau festival.

Sayangnya, menurut Ayu, kekerasan seksual direduksi hanya sekadar masalah laki-laki dengan perempuan, dan aksi perempuan yang ingin membalas dendam kepada laki-laki. Padahal, ketika membicarakan kekerasan, semua orang—terlepas dari identitas dan ekspresi gender—bisa menjadi pelaku, korban, dan penyintas. Di sinilah relasi kuasa bekerja. “Kekerasan dalam bentuk apapun, seperti kekerasan gender, atau eksploitasi ekonomi, itu lebih mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa lebih tinggi terhadap orang yang kuasanya rendah. Bentuk kuasanya bermacam-macam, seperti posisi atau jabatan, umur, ras, agama, dan etnis,” tuturnya.

Lebih lanjut lagi, Ayu memaparkan bahwa kekerasan seksual jangan hanya dilihat dari tindakan pelaku terhadap korban. Kekerasan juga terjadi karena membiarkan pelaku bebas begitu saja. Bagaimana masyarakat masih memaklumi bahwa kekerasan seksual merupakan hal yang wajar dan melanggengkan playing victim.

Diskusi ditutup dengan usulan tindak lanjut kasus kekerasan seksual di komunitas masing-masing yang diajukan oleh kedua pembicara. Beberapa saran yang diajukan Aiz, antara lain; membicarakan dan menganggap bahwa kasus kekerasan seksual di komunitas film itu ada dan perlu didengarkan dengan asas penuh percaya serta perlu ditangani (menjadi saksi aktif), membuat ruang yang aman untuk dapat mendengarkan penyintas di komunitasnya masing-masing dengan asas penuh percaya (misal membuat divisi pengawas dan konseling), memilih pengurus dan anggota komunitas yang memiliki pemikiran dan komitmen untuk mau membicarakan, mencegah, dan menangani kasus kekerasan seksual, serta membuat prosedur penanganan dan pencegahan, misal pelayanan bantuan di daerah terdekat komunitas.

Ayu menambahkan, bahwa ruang aman sebaiknya juga menghadirkan ruang atau rumah secara fisik bagi penyintas. Alasannya, untuk beberapa kasus tertentu, penyintas membutuhkan tempat untuk bersembunyi dari pelaku yang sudah mengetahui alamat rumah penyintas.

Selain itu, Ayu mengatakan pentingnya melatih dan membekali diri sendiri untuk memberi pertolongan pertama secara psikologis. Tidak bergantung secara penuh kepada women crisis centre di daerah masing-masing yang kerap kali kewalahan menangani kasus kekerasan seksual. Sebagai contoh, Rifka Annisa Women Crisis Centre, Yogyakarta dalam setahun bisa menerima 500 laporan kasus kekerasan seksual.

Penulis: Nizmi Nasution