Tjidurian 19 merupakan rumah tempat berkembangnya gagasan, ilmu, cinta serta persahabatan. Rumah yang merupakan sekretariat kantor Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Tempat para seniman Lekra melakukan diskusi-diskusi kecil mengenai filsafat, ideologi, seni, serta sastra. Pada masa itu, Tjidurian 19 menjadi tempat dibakarnya semangat menjadi api yang membara. Perlahan keadaan berubah setelah pemerintahan orde baru mengambil alih pemerintahan. Lekra hilang ditangan orde baru. Secara tiba-tiba seniman Lekra ditiadakan, dipenjarakan hingga dimusuhi oleh orde baru. Tjidurian 19 yang merupakan rumah budaya perlahan menghilang, menghilang pula sejarahnya. Tetapi melalui sebuah film berjudul Tjidurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas, sejarah Tjidurian 19 hidup kembali.
“Jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Kutipan umum yang sering diucapkan untuk membangkitkan semangat anak muda dalam mempelajari sejarah. Memperdalam sejarah dapat melalui berbagai macam media. Mulai dari peninggalan-peninggalan sejarah, buku, hingga film dokumenter. Setiap orang pastinya memiliki ketertarikan masing-masing dalam menggunakan media untuk mempelajari sejarah. Khususnya sejarah Indonesia yang merupakan tanah air kita sendiri.
Tjidurian 19 (Lasja F. Susatyo & M. Abduh Aziz, 2009) akan membawa Anda untuk kembali pada masa lampau. Masa di mana Tjidurian 19 hancur dikarenakan pertikaian politik pada masa itu. Penceritaan kembali sejarah dalam Tjidurian 19 begitu rapi dan runtut. Tjidurian 19 mencoba mengangkat sejarah tidak dalam sudut pandang yang megah, tetapi melalui cerita-cerita kecil dari individu di suatu waktu dan tempat. Cerita-cerita kecil penuh kenangan kembali dihadirkan dalam film.
Tjidurian 19 menampilkan seniman-seniman yang pernah berkarya di Lekra, seperti T. Iskandar A.S, Amarzan Ismail Hamid, Martin Aleida, Putu Oka Sutanta, Amrus Natalsya, Jane Luyke (Nyonya Oey Hay Djoen), Hersri Setiawan, dan Alm. Oey Hay Djoen. Mereka bercerita dengan menarik tentang Tjidurian 19 mulai dari proses bagaimana seniman-seniman dapat masuk ke Lekra, saat mereka berkarya di Lekra hingga bagaimana mereka menghadapi pertikaian politik yang menyebabkan Lekra hancur. Para tokoh menceritakan kejadian pada masa itu dengan berbagai macam ekspresi, baik dengan rasa bangga telah menjadi bagian dari Lekra hingga rasa marah karena Lekra telah tiada.
Dalam upaya lebih memperjelas alur yang ada dalam film, filmmaker membuat beberapa subbagian: Mengenal Lekra, Menuju Tjidurian 19, Tjidurian 19, Dinamika Tjidurian, Tjidurian dan Revolusi, serta yang Tersisa. Setiap sub bagian memiliki ciri khas masing-masing, di sub bagian awal para seniman bercerita dengan tenang serta bangga karena telah masuk ke Lekra. Memasuki Dinamika Tjidurian mulai terlihat riak-riak keseriusan dalam wajah para seniman.
Puncak emosi ada pada bagian Tjidurian dan Revolusi aura kemarahan muncul saat di mana Tjidurian 19 hancur. Di mana Lekra mendapat desakan agar Lekra menyatakan dirinya sebagai PKI, tetapi Lekra menentang sehingga Lekra dilenyapkan. Lalu ketegangan mulai mereda pada bagian terakhir, para seniman mengungkapkan kebanggan mereka karena telah menjadi bagian dari Lekra. Mimpi-mimpi mereka menjadi kenyataan di Lekra, identitas mereka terbentuk di Lekra dan saat ini tersisa kenangan dari Lekra.
Video dari Arsip Nasional Republik Indonesia, data-data berupa foto hingga lembar demi lembar koran masa lampau dihadirkan untuk memperkuat penggambaran sejarah yang diceritakan oleh seniman Lekra. Dengan hadirnya arsip-arsip ini, Anda akan merasakan suasana di mana sejarah tersebut terjadi. Sehingga penonton akan mengabadikan kenangan tersebut dalam ingatan. Mengingat bahwa Lekra pernah ada, seniman Lekra pernah berkarya serta berjuang untuk revolusi di Jalan Tjidurian 19.
Film Tjidurian 19 (2009) akan diputar di Festival Film Dokumenter (FFD) 2019 pada 6 Desember 2019 pukul 15.00 WIB di Auditorium IFI-LIP Yogyakarta. Cek jadwal festival untuk melihat agenda lengkap FFD 2019.
Penulis: Dinda Agita Dewi