Dokumenter Animasi: Melafalkan yang Tak Terbayangkan

— Highlight Program
FFD 2019
2019_film_Apart 3

Persepsi mengenai film dokumenter masih tidak bisa dilepaskan dari kesan formal atau kaku. Publik akan merujuk dokumenter sebagai film dengan narasi fakta yang disusun secara analitis, alih-alih dikembangkan untuk memabukkan fantasi sebagaimana fiksi. Sehingga konsep otentisitas, realitas, dan hal-hal lain yang berarti bebas dari segala bentuk rekaan masih lekat dengan jenis film yang satu ini. Entah secara substansi maupun eksekusi, konsumsi segala bentuk dokumenter selalu mendamba bentuk yang apa adanya. 

Tetapi, sebenarnya yang tampak sebagai “apa adanya” dalam film dokumenter itu tak ubahnya sebuah cara yang ditempuh oleh filmmaker untuk merepresentasikan realitas. Realitas itu disajikan ulang melalui berbagai elemen yang menjadi bahasa dalam film, seperti suara, gambar, dan bahkan special effects. Singkatnya, senyata-nyatanya yang tampak pada dokumenter merupakan kenyataan yang dikonstruksi oleh pembuatnya. 

Jika sudah begitu, maka filmmaker sah-sah saja memilih medium apapun untuk menyampaikan realitas apa yang ia tangkap. Termasuk menggunakan medium yang terlihat sebagai sesuatu yang tidak nyata, seperti misalnya animasi. 

Beberapa orang mungkin akan mengernyitkan dahi mendengar frasa dokumenter animasi. Tetapi sejatinya, jenis yang satu ini sudah berusia seabad terhitung sejak Winsor McCay merekonstruksi peristiwa tenggelamnya kapal RMS Lusitania di tahun 1918. RMS Lusitania adalah kapal penumpang Inggris yang dihujam torpedo kapal selam Jerman pada 1915. Atas kejadian itu, 1.959 penumpang termasuk awak kapal tenggelam. 128 orang di antaranya adalah warga negara Amerika Serikat. Fakta itu ditengarai menjadi sebab Negara Paman Sam turun ke gelanggang perang raya bernama Perang Dunia Pertama. Satu hal yang menarik adalah tak ada satu lensa kamera pun yang merekam kejadian tersebut.

Maka dalam kurun waktu tertentu, McCay menghimpun data dan mereka bagaimana kapal itu berangkat berlayar dan tak pernah bersauh ke tujuan dengan  tinta, krayon, dan pena pada seluloid. Meskipun tak asli, filmnya tetap dianggap sebagai dokumentasi pertama dan satu-satunya mengenai tenggelamnya kapal Lusitania. Dan begitulah, persinggungan antara dokumenter dengan animasi bukanlah sesuatu yang haram.

Kehadiran dokumenter animasi tidak mengurangi kesakralan dokumenter pada umumnya. Ia justru bisa menghadirkan sesuatu yang tidak bisa dihadirkan oleh dokumenter pada bentuk yang baku dan dianggap wajar. Dokumentarian cum animator Melissa Ferrari, dalam esainya untuk Slamdance Film Festival menyebutkan bahwa filmmaker dapat menggambarkan peristiwa yang tidak terlihat secara kasat mata, serta peristiwa sejarah yang tidak direkam lensa kamera sebagaimana sudah ditunjukkan oleh McCay. 

Ketika berhadapan dengan isu-isu yang sensitif, si pembuat film bisa menjaga anonimitas subjek dokumenter yang rentan tanpa menghilangkan citra emosional yang menarik lagi berpotensi memperkuat cerita tersebut. Saling silang dokumenter dengan animasi juga mampu menghadirkan ilustrasi atas sebuah peristiwa yang terjadi di pikiran, seperti emosi atau mimpi.

Meski begitu eksistensi dokumenter animasi masih terus digelayuti pertanyaan. Etika representasi dan keakuratan yang ditempatkan oleh filmmaker dalam menangkap keaslian, kebenaran, dan faktualitas perlu ditimbang. Bagaimanapun, esensi dari dokumenter tak ubahnya sebuah penyajian data dan fakta yang tak lepas dari proses verifikasi. 

Dalam hal dokumenter animasi, verifikasinya tak hanya mengenai narasi yang ia sajikan, tapi juga verifikasi estetika yang mereka buat dalam animasi itu sendiri. Hal itu mesti dilakukan agar lepas dari penggambaran parsial yang justru malah memunculkan stigma tertentu.

Terbukanya kemungkinan yang luas untuk membicarakan dokumenter animasi membuat Festival Film Dokumenter (FFD) mencoba memberikan ruang itu. Tahun Ini, untuk pertama kalinya bagi FFD menjadikan dokumenter animasi sebagai sebuah program secara khusus dalam bilik Spektrum: Membahasakan Realitas yang Tak Terbayangkan.

FFD menghadirkan tiga film dokumenter panjang dan empat film dokumenter pendek yang mengajak penonton untuk menikmati ceritanya dan juga mengamati apa dan bagaimana peran animasi dalam masing-masing film. 

The Lipsett Diaries (2010) diiringi narasi dari Xavier Dolan mengajak kita untuk menyelami masa kecil Theodore Ushev, seorang pembuat film Kanada yang melalui masa depresi. Still Born (2014) menyatukan semesta manusia dan semesta animasi untuk menceritakan duka seorang perempuan yang kehilangan bayinya yang telah diramalkan tak akan selamat sejak dalam kandungan. Sementara Apart (2018) dengan animasi live-actionnya mengajak kita untuk menyelam ke dalam pikiran tiga anak muda yang menunggu kematian. 

The Neighbours (2019) dengan bentuk komik bergeraknya menceritakan tentang ingatan masa lalu akan kematian kedua orangtuanya yang dieksekusi Revolutionary Guard saat Perang Dunia II. The State Against Mandela and the Others (2018) memadukan wawancara dengan saksi hidup, arsip suara persidangan, dan animasi untuk menyampaikan situasi di bawah rezim apartheid Afrika Selatan. Felvidek Caught in Between (2014) menggunakan stop motion untuk menceritakan Felvidek, kampung halaman filmmaker yang terjebak antara perpindahan wilayah Slovakia-Hungaria. Le Film de Bazin (2017), sebagaimana judulnya, membawa kita pada kemungkinan-kemungkinan yang terjadi apabila film-film yang telah dipersiapkan oleh André Bazin–kritikus film Prancis sekaligus salah satu pencetus Cahiers du Cinema–rampung. 

Program Spektrum bisa dinikmati di Auditorium IFI-LIP Yogyakarta, mulai 11 hingga 12 November 2019.