Kesehatan mental dapat dicapai ketika kebutuhan manusia untuk merasa bahagia terpenuhi. Berbagai cara diusahakan manusia untuk mencapai kebahagiaan itu. Mulai dari melakukan hal yang disenangi terus-menerus, menebar kutipan-kutipan penyemangat di media sosial hingga menciptakan memoar-memoar tentang capaian diri. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang didapat secara cuma-cuma melainkan diusahakan.
Kebahagiaan seseorang hadir ketika mereka mendapatkan perasaan aman, nyaman, dan tenang. Mengusahakan perasaan ini hadir menjadi persoalan berat ketika menilik sifat dasar manusia sebagai makhluk multidimensional. Manusia adalah makhluk multidimensional yang diharuskan hadir dengan banyak peran dalam satu waktu. Diharuskan hadir sebagai makhluk sosial yang membutuhkan interaksi, makhluk spiritual, makhluk yang berbudaya, dan sekaligus berbagai peran-peran yang lain. Ini bentuk adaptasi mereka terhadap lingkungan. Sifat ini secara tidak langsung juga menggambarkan bahwa, manusia adalah makhluk yang menyandang berbagai problematika. Adaptif dalam konteks tersebut dapat dimaknai sebagai metode, sekaligus sebagai tekanan yang menuntut mereka untuk bermain peran.
Selain menjadi metode mencapai kebahagiaan, adaptasi hadir sebagai tekanan dari sesuatu yang melingkari manusia. Seperti saat mereka lahir kemudian hidup dalam satu kelompok yang bernama keluarga. Di dalam kelompok terkecil dimana identitas dan peran disematkan untuk pertama kalinya, manusia dituntut untuk menjalankan sebuah sistem. Sistem ini mengatur peran sekaligus sikap dari masing-masing anggota. Termasuk mengatur cara pandang mereka tentang sesuatu yang baik, yang kadang menciptakan benturan hingga berdampak pada kondisi mental mereka.
Sistem yang berlaku di sebuah kelompok-kelompok kecil berhubungan dengan sistem yang lebih besar. Hal tersebut adalah wujud dari struktur. Misalnya saja pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 yang mengatur definisi sekaligus prasyarat terbentuknya kelompok (baca: keluarga). Undang-undang ini menjelaskan bahwa manusia harus memiliki peran dan identitas yang telah disebutkan, sebelum membangun kelompok. Ini bentuk konkret dari sistem yang mengatur seseorang hingga ke wilayah personalnya. Lalu, kehadiran sistem yang terstruktur perlu ditelisik kembali ketika, pada praktiknya, bukan konflik manusia yang diredam, melainkan kuasa yang berimbas pada kesehatan mental yang ditebalkan.
Situasi yang demikian mendapat respon dari masyarakat berupa pemberian ruang yang mengakomodir banyak orang untuk melepaskan diri dari tekanan. Ruang yang dibangun secara mandiri atau bersama, membantu masyarakat menemukan kebahagiaan yang dicari. Mereka membangun metode agar sistem bisa dimanfaatkan (baca:dimainkan) guna mengubah tekanan menjadi alat mencapai kebahagiaan. Sikap-sikap ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi memandang persoalan kesehatan mental sebagai bentuk kegilaan. Melainkan sebagai imbas dari kuasa yang hadir bersama sistem di seluruh relasi manusia. Baik relasi personal hingga komunal–dunia kerja, bertetangga, dan berkewarganegaraan.
Di tahun 2019, program Perspektif Festival Film Dokumenter (FFD) 2019 berusaha untuk membicarakan isu kesehatan mental di luar narasi utama (medis). Program ini membicarakan berbagai respon pada masalah kesehatan mental yang mampu mempengaruhi perubahan sistem, paradigma, definisi tentang sesuatu kelompok, bahkan pandangan soal kesehatan mental itu sendiri.
Film Good Neighbours (Stella van Voorst van Beest, 2018) mendefinisi ulang kehidupan berkelompok di lingkungan yang individualistis, melalui peristiwa subjek ketika mengingat masa lalu dan pertemuannya dengan orang-orang baru. Rekaman yang menunjukkan aktivitas subjek, mendedah prinsip peran, identitas sampai teritori tentang kelompok. Film ini menunjukkan bahwa keluarga tidak melulu terbangun atas hubungan darah saja, melainkan juga hubungan yang diusahakan. Prinsip tentang keluarga di bicarakan lebih dalam melalui film Love Talk (Shen Ko-shang, 2017). Film ini menunjukkan bahwa keluarga bisa terbangun karena ketidaksengajaan pertemuan yang jauh dari gagasan besar soal cinta kasih, bahkan agama. Gambaran keluarga yang ditunjukkan kedua film ini hadir sebagai ruang menyenangkan dan melindungi manusia dari trauma mendalam.
Di sisi lain, segala bentuk trauma yang hadir pada peran dan identitas dalam keluarga berusaha dilepas oleh dua subyek film Turning 18 (Hao Chao-ti, 2018). Film ini menunjukkan bagaimana kebahagiaan dua subyek perlu diusahakan karena mereka terlahir dalam kondisi yang tidak merdeka. Mereka disituasikan menyandang berbagai warisan masalah yang sebenarnya tidak didapat jika kehadiran mereka berada di kelas sosial tertinggi. Kelas yang memiliki kebebasan berkehendak.
Usaha personal untuk mencapai kebahagiaan juga diperlihatkan melalui Anxiety of Concrete (Yunmi Jang, 2017). Film ini memperlihatkan memori yang berusaha disampaikan semenyenangkan mungkin dalam ancaman ruang hidup. Gambaran yang timpang dihadirkan dalam film 48 Years: Silent Dictators (Sunairi Hiroshi, 2018) ketika trauma yang pernah dialami, hadir kembali sebagai imaji yang menyenangkan. Fragmen-fragmen tersebut menandai kebanggaa dirinya yang pernah melakukan perlawanan pada sistem besar. Di film China Man (Jerrell Chow, 2019) usaha mencapai kebahagiaan berhadapan dengan lingkungan yang melihat manusia berdasarkan identitas ras, tentang garis keturunan asli atau tidak asli. Film ini menunjukkan usaha Ek Kiat melakukan pembebasan diri atas perilaku rasial. Friksi dengan lingkungan, juga diperlihatkan dalam film Village of Swimming Cows (Katarzyna Trzaska, 2018). Film ini menunjukkan bentuk penolakan terhadap sistem modern yang berjalan di sebuah wilayah. Namun, lewat pola hidup yang dipilih sekelompok manusia ini apakah bersikap harmonis dengan alam betul-betul menjadi metode mencapai kebahagiaan?
Tujuh film ini merepresentasikan tujuan program Perspektif, yakni membicarakan isu kesehatan mental yang tidak terpaku pada persoalan medis semata. Tujuh film ini dapat dinikmati dalam rangkaian festival pada tanggal 1-7 Desember 2019. Cek agenda lengkap FFD 2019 di sini.