Wawancara bersama M. Haikal, Editor The Nameless Boy

— Interview
FFD 2018
haikal

Seusai Malam Anugerah dan Penutupan FFD 2018 tanggal 12 Desember kemarin, tim FFD berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan Muhammad Haikal, editor film The Nameless Boy (2018) yang mendapatkan penghargaan Special Mention Jury Award FFD 2018 untuk kategori Dokumenter Pendek.

Tahun ini, juri kompetisi Dokumenter Pendek FFD memilih untuk tidak memberikan penghargaan utama dari kategori terkait kepada film mana pun. Simak obrolan kami dengan Haikal tentang pernyataan juri dan pengalaman-pengalaman unik yang pernah dilalui film The Nameless Boy.

 

Selamat atas terpilihnya film The Nameless Boy sebagai peraih Special Mention Jury Award di Festival Film Dokumenter 2018 untuk kategori Dokumenter Pendek.

Terima kasih.

 

Ketika pengumuman, disebutkan bahwa belum ada film finalis kategori Dokumenter Pendek FFD tahun ini yang terlihat menonjol. Film The Nameless Boy sendiri terpilih sebagai peraih Special Mention Jury Award karena pengolahan bentuk dan isunya yang dirasa menarik, namun tetap bisa diolah lebih jauh lagi. Bagaimana pendapatmu soal itu?

Kondisi ini memang perlu disayangkan, termasuk untuk film The Nameless Boy sendiri. Kalau untuk diolah lagi, (film kami) sebenarnya bisa. Tapi, memang pilihan kami sendiri untuk menghadirkannya seperti ini, khususnya sutradara (Diego Barata). Menurut dia, ini sudah cukup.

 

Film ini membawa isu agama dan keriuhannya di tahun 2017, yang turut berkaitan dengan pergolakan politik di Jakarta pada saat itu. Lantas, mengapa memilih untuk melibatkan anak-anak sebagai subyek utama di film ini?

Beberapa demo yang ditemukan Diego (sutradara), tidak hanya terkait agama, sebenarnya memang diikuti juga oleh anak-anak. Mereka itu diajak oleh kakak-kakaknya atau orangtuanya untuk ikut ke sebuah demo supaya dapat makanan atau uang. Hanya itu saja. Dan itu jadi keresahan tersendiri untuk Diego. Karena tanpa sadar, itu akan menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.

Anak-anak yang terlibat ini nantinya akan mengajak anak-anak lainnya untuk ikut ke dalam hal yang tidak mereka tahu dan tidak seharusnya didengarkan juga, seperti ujaran kebencian di film ini misalnya.  Lalu, ketika besar, atau bahkan saat itu juga, anak-anak ini akan mengajak anak-anak lainnya untuk terus ikut demo dan mendengarkan ujaran kebencian hanya untuk makanan dan uang. Tentu ini tidak setimpal.

Dan biasanya, apa yang terjadi di lapangan dengan yang ada di berita itu berbeda; seringnya begitu. Kondisi ini yang nantinya membuat anak-anak bingung. (Kebingungan) itu yang nantinya akan jadi sesuatu yang berkepanjangan, dan berdampak secara langsung maupun tidak langsung ke kehidupan dia, cepat atau lambat.

 

Keterlibatan anak-anak dalam film ini memang menarik. Lalu, adakah rencana dari kalian untuk memutarkan film ini secara khusus pada anak-anak?

Kalau anak-anak doang belum ya. Ada beberapa kata-kata yang kami rasa tidak layak untuk didengar oleh anak-anak. Tapi, kalau (anak-anak) ditemani orangtua malah mau banget.

 

Kalau pada pihak-pihak yang ikut demo bagaimana?

Enggak dong. Kita takut juga. Pertama, isu ini masih panas-panasnya. Lalu, kami juga sempat “dicari” oleh oknum. Sempat ada orang yang telepon Diego dan dapat ancaman. Itu bahkan terjadi ketika film baru jadi. Kami masih submit ke beberapa festival. Dan kondisinya belum pernah diputar secara umum. Baru submit saja sudah ada (pengalaman) begitu.

Tapi, mungkin kalau kondisinya sudah tidak sepanas sekarang kami berani.

 

Terakhir, bagaimana pandanganmu tentang FFD tahun ini, dan posisinya sebagai ekshibisi yang turut memutar film sekaligus menghadirkan bahasan-bahasan tertentu di masyarakat?

Bagus ya. Karena festival ini mau dan berani untuk hadir mengangkat isu-isu sensitif juga. Sebagai contoh, tidak semua festival mau untuk memutar film The Nameless Boy (yang membawa isu tertentu). Seperti di Singapura, misalnya, film ini sempat dianggap tidak lulus sensor. Kami sendiri nggak begitu ngerti alasannya. Mungkin karena isu yang dibawa terlalu keras atau bagaimana.