Wawancara Bersama Jewel Maranan

— Interview
FFD 2021

26 November 2021, tim FFD mendapat kesempatan untuk bertemu secara daring dengan Jewel Maranan yang berada di Filipina. Bertemu dengan seseorang yang berjarak ±2,620 kilometer tidak pernah semudah ini, berkat teknologi canggih dapat membuat hal ini menjadi mudah.

Jewel Maranan adalah seorang filmmaker dokumenter, produser, sinematografer yang dokumenter kreatifnya menilik bagaimana sejarah merajut jalannya ke kehidupan sehari-hari. Tondo, Beloved (Filipina, 2011), In the Claws of a Century Wanting (Filipina, 2017), The Future Cries Beneath Our Soil (Vietnam, Philippines, 2018), dan The Silhouettes (Iran, Filipina, 2020) adalah beberapa film yang ia sutradarai dan produksi yang sudah diputar dan mendapat penghargaan di banyak festival film di Asia, Afrika, Eropa, Amerika Utara dan Selatan. Tahun ini, Jewel menjadi juri untuk kompetisi dokumenter pendek di FFD dan dia mengungkapkan pemikirannya yang mendalam tentang perkembangan dan pertumbuhan film dokumenter di Filipina dan Indonesia melalui wawancara online.

Selama 20 tahun FFD digelar, Jewel sudah berpartisipasi sebanyak empat kali. Ia terlibat di FFD pertama kali pada tahun 2012. Saat itu ia melakukan pemutaran filmnya, Tondo, Beloved (2011), dengan beberapa teman filmmaker dari Asia Tenggara yang juga menghadiri Doc.Net Southeast Asia Festival di Jakarta. Mereka kemudian pergi ke Yogyakarta untuk bergabung dengan FFD. Jewel mengakui bahwa ia merasa sangat nyaman menghadiri FFD pada saat itu.

“Semua orang sangat-sangat baik, hangat, dan menyambut kami. FFD terasa seperti sebuah komunitas seni atau penikmat film yang besar,” ucapnya.

Selanjutnya, ia berpartisipasi di tahun 2018. Saat itu, filmnya yang berjudul In the Claws of a Century Wanting (2018) menjadi salah satu peraih penghargaan di kompetisi tersebut. Jewel tidak dapat menghadiri FFD di tahun itu, tetapi ia sangat senang mendengar berita bahwa filmnya terpilih menjadi salah satu peraih penghargaan, Tahun selanjutnya, Jewel mengirimkan The Future Cries Beneath Our Soil (2018), film yang ia produksi bersama Pham Thu Hang, seorang sutradara asal Vietnam. Film tersebut juga masuk ke dalam kompetisi panjang internasional FFD 2021 dan menjadi peraih penghargaan di kategori tersebut.

“Beberapa bulan setelah (penganugerahan), saya menerima sebuah paket penghargaan bersama kenang-kenangan dari FFD. Itu adalah sebuah kenangan yang berharga buat saya,” tutur Jewel.

Waktu terus berjalan. Setelah beberapa kali mengirimkan filmnya ke FFD, tahun ini, Jewel menjadi salah satu juri di Kompetisi Dokumenter Pendek FFD. Pengalaman ini membawa ia kepada pikiran bahwa FFD telah banyak berubah sejak tahun 2012, saat pertama ia bergabung. Banyak aspek dari FFD yang berubah ke arah yang lebih baik, dan Jewel mengakui bahwa festival ini mampu beradaptasi segala kondisi yang terjadi di tengah pandemi.

Bagi Jewel, FFD telah berkembang pesat dari hanya beberapa orang yang terus berdedikasi di festival ini. FFD tumbuh menjadi salah satu festival film yang paling menonjol di Asia Tenggara, dan ia merasa sangat senang bisa menyaksikan dan terus berpartisipasi di dalamnya.

“FFD masih tampak seperti grup yang sangat erat di mana ada diskusi yang jujur, orang-orang berteman satu sama lain, selain menampilkan atau membuat pilihan dokumenter yang sangat bagus,” jelasnya.

Kami meminta Jewel untuk menyampaikan pandangannya tentang ekosistem film dokumenter baik di Filipina maupun di Indonesia. Jewel merasakan banyak perubahan pada film dokumenter Filipina sejak pertama kali ia mulai membuat film dokumenter tahun 2010. Dokumenter menjadi sesuatu yang semakin global. Dokumenter menjadi sebuah proyek film yang mencari mitra baik di Asia dan Asia Tenggara, dan Eropa dan Amerika. Jewel percaya bahwa industri dokumenter di Filipina telah menentukan posisinya untuk mengikuti jejak yang tengah dikejar industri dokumenter internasional sembari tetap menjaga identitasnya.

Dalam kasus dokumenter Indonesia, Jewel mengklarifikasi bahwa ini hanyalah observasi personalnya, bukan pendapat seorang ahli. Jewel mengawali pertemuannya dengan filmmaker dokumenter Indonesia pada tahun 2012, dan pendapatnya saat itu adalah ia datang dari sebuah industri yang tumbuh dengan tradisi yang mirip. Jewel berkata bahwa kemiripan dokumenter Indonesia dan Filipina dalam satu pandangan ditimbulkan karena kedua negara ini memiliki kesamaan dalam situasi sosial-politik dan ekonomi. Banyak dokumenter yang peka terhadap isu sosial dari kedua negara ini. Dalam beberapa tahun atau dekade kedepan, Jewel percaya bahwa interaksi antara negara-negara Asia Tenggara akan terus bertambah, khususnya antara Filipina dan Indonesia, tidak hanya dalam partisipasi di acara atau festival, tetapi juga kolaborasi produk.

Jewel yang berpartisipasi sebagai juri Kompetisi Dokumenter Pendek tahun ini mengatakan bahwa semua film finalis di kategori ini sangat peka terhadap isu sosial dan mengidentifikasi tema yang kritis. Ia merasa para filmmaker berhasil mendekati sesuatu dengan berbagai cara dan gaya. Ada yang menggunakan teknik dokumenter yang lebih konvensional, observasional, hingga hybrid atau gabungan pada proses produksinya; semuanya hadir di sini. Secara umum, ini adalah gabungan dari banyak strategi dengan satu tujuan yang sama: berusaha lebih relevan dengan topik dan wacana saat ini. Bagi Jewel, hal terburuk yang dapat terjadi di dalam sebuah kompetisi adalah apabila semua peserta memiliki gaya dan bentuk yang sama. Untungnya, ia tidak melihat hal itu di kompetisi tahun ini; malah, Jewel melihat banyak sekali style yang berbeda. Dan itu adalah hal yang bagus.

Selain berbagi pendapatnya tentang pertumbuhan dan perkembangan dari dokumenter Indonesia dan Filipina, ia juga berbagi pengalamannya tentang produksi bersama (co-producing) lintas negara. Hal ini tentu memberi kita pandangan baru karena di Indonesia metode produksi bersama (co-producing) lintas negara masih jarang ditemukan, terutama di dokumenter. Menurut Jewel, hal baik dari produksi bersama adalah filmmaker dapat memperluas sisi pandang film tersebut. Filmmaker dapat memperluas dan melihat lebih banyak sisi pandang internasional, atau mungkin sisi pandang Asia yang lebih luas. Ketika seorang sutradara membuat film di negaranya sendiri, tentunya mereka memikirkan penonton dari negara yang sama, dan itulah dasarnya. Saat ini, kita hidup di masa dimana karya kita dapat dilihat oleh penonton yang lebih luas dan global. Situasi ini membawa kepada tantangan untuk menceritakan bagaimana bahasa atau aspek film yang lain dimengerti dan dipahami. Itu adalah manfaat dari kolaborasi atau memiliki kolaborator internasional. Juga, hal tersebut menambah kemungkinan untuk mendapatkan kesempatan dalam mencari sumber sponsor. 

Pertemuan daring ini berlangsung dengan sangat singkat karena bersamaan dengan acara awarding FFD. Walaupun dengan keterbatasan, tim FFD mendapatkan banyak sekali hal baru dari Jewel Maranan dalam kurang lebih 30 menit. Jewel berharap kegigihan dan keberdayaan FFD yang membuatnya kagum dapat terus berlangsung.

 

Penulis: Tirza Kanya