Geliang-geliut 20 Tahun FFD dari Kacamata John Badalu

— Interview
FFD 2021

John Badalu adalah produser dan publisis film sekaligus pendiri Q-Munity, organisasi yang yang menyuarakan isu-isu minoritas, terutama LGBTQ+ melalui seni dan budaya. Pada 2002, John menginisiasikan Q! Film Festival, di mana ia menjabat sebagai direktur festival. Q! Film Festival merupakan festival film yang mengusung tema LGBTQ+, HIV/AIDS, dan HAM. John memang menggeluti dunia film, beliau juga merupakan programmer film di berbagai festival serta menjadi co-producer beberapa film pendek.

Tahun ini, John diundang sebagai pembicara untuk sesi DocTalk: Pemrograman dalam Festival Film. Pada 23 November 2021, John berbagi perspektifnya mengenai lika-liku FFD selama 20 tahun, khazanah pemrograman film, dan festival daring.

Bagaimana kamu melihat 20 tahun Festival Film Dokumenter? (bisa dalam segi perkembangannya, yang masih perlu ditingkatkan, atau yang sudah baik)

FFD ini kan menjadi salah satu festival film tertua di Indonesia. Menurutku, hal tersebut merupakan sebuah prestasi karena membuat festival baru selalu lebih mudah jika dibanding dengan mempertahankan yang sudah ada. Aku salut karena FFD itu masih sangat independen, tetapi juga berhasil mempertahankan eksistensinya selama ini. Dulu kan sempat juga ada Q! Film Festival, saya memulainya di tahun yang sama. Tetapi Q! Film Festival memutuskan untuk berhenti di tahun 2016.

Saya melihat FFD berangkat dari ide jiwa-jiwa yang memang sangat cinta dengan film, yang memang passionate dalam bidang tersebut. Meskipun dengan budget yang tidak banyak, tapi FFD tetap berusaha digelar dengan penuh semangat. Aku sungguh salut dengan FFD karena masih bisa bertahan sampai sekarang. Oh ya, selama 20 tahun ini, sistem manajemen dan pengelolaan sumber daya manusia yang dilakukan FFD patut diacungi jempol. Sumber daya manusia ini kan pasti berganti-ganti di dalamnya selama 20 tahun, dan hal tersebut berhasil dilakukan oleh FFD; atau istilahnya menyambung tongkat maraton ke generasi yang lebih muda. Namun, terus terang, aku melihat langkah-langkah FFD untuk menjadi sustainable itu masih sangat-sangat tertatih-tatih. Jadi perlu pemikiran yang lebih jauh, bukan hanya pemikiran jangka pendek dari tahun ke tahun, melainkan pikiran terkait programasi atau sponsor dalam 5 tahun ke depan. Hal tersebut perlu dipikiran jauh-jauh.

 

Menurutmu, bagaimana peran FFD sebagai salah satu festival film tertua (khususnya dalam ranah dokumenter) di mata festival lain?

Tentu FFD adalah festival yang kegigihannya perlu diapresiasi. Tapi, kalau menurutku, FFD ini dalam segi exposure untuk dikenal di kalangan publik ataupun di kalangan orang yang passionate akan film masih sangat kecil dibandingkan dengan beberapa festival lain. Bagi saya, FFD masih kurang promosi diri, sehingga tidak banyak orang tahu kalau ada FFD di Jogja. Mungkin ini akan menjadi PR yang perlu dipikirkan oleh FFD; apa yang kira-kira bisa dilakukan dengan budget minim, tapi orang bisa mengenal FFD.

Dalam ranah program, bagaimana programasi FFD dari kacamata John Badalu?

Program film itu sangat berkaitan dengan keuangan dan juga dari visi misi festival itu sendiri. Mungkin perlu dipertanyakan kembali FFD ini visinya ke mana sih, maunya memutar film seperti apa sih. Yang kedua, biasanya program itu bisa menjadi dipandang bagus karena berhasil mengantarkan film yang lagi hot dibicarakan di dunia. Menyoal budgeting, berkaca dari Q! Film Festival, kami banyak bekerja sama dengan banyak pihak luar supaya pendanaan tetap ada. Ya, memang harus memutar otak untuk bisa mendapatkan keturunan yang bermutu yang mungkin harus bayar mahal. Biasanya, kami meminta banyak bantuan dari kedutaan asing. Dan hal ini belum aku lihat di FFD.

Aku melihat FFD agak kurang dalam mengorganisir keuangan dari jauh-jauh hari. Dalam ranah keuangan, sepertinya masih sangat perlu dibenahi. Mungkin bukan dibenahi sih, tapi lebih cepat saja dalam mengajukan proposal, lebih cepat menghubungi siapapun yang kira-kira bisa membantu FFD. Tapi, terlepas dari budgeting, programasi juga bisa menjadi kuat karena selalu ada regenerasi. Aku melihat hal tersebut sudah dilakukan FFD dengan sangat baik.

 

Bagaimana kamu melihat kegigihan FFD untuk terus menghadirkan/memperkenalkan isu dan diskusi di masyarakat melalui medium dokumenter?

Kegigihan FFD dalam hal ini tidak perlu diragukan lagi. Tetapi bagiku penonton FFD adalah penonton yang setia saja. Aku belum melihat FFD mengembangkan diri untuk menggapai penonton dari lingkup yang baru. Nah, bagiku hal tersebut merupakan PR untuk FFD untuk mengupas cara menarik perhatian penonton yang belum pernah tahu atau datang ke FFD. Tapi ini dari pengamatanku saja, sih. Mungkin sebenarnya banyak penonton yang baru. Terlebih lagi dengan skema daring, penonton malah bisa bertambah karena yang dari luar kota bisa ikut merayakan dari jauh.

Tahun ini, banyak festival yang stop di tengah jalan atau malah berubah jadi daring. Sejauh yang Pak John rasakan, apakah skema daring untuk sebuah festival itu sustainable? Lalu, dari pengalaman di FFD, apa yang sudah bagus dan masih perlu dikembangkan?

Menonton dengan cara online ini kan memang sesuatu yang baru untuk sebuah festival film. Kalau nonton online sih kita sudah terbiasa nonton YouTube. Tapi pengalaman menonton sebuah film festival dengan online itu kan memang baru lahir sejak pandemi ini, dan tentu hal ini menimbulkan pro dan kontra.

Dengan skema online, tentu jangkauannya jadi lebih luas. Orang yang memang tidak bisa hadir secara fisik masih bisa ikut menonton. Jadi, skema daring ini membuka kesempatan untuk mendapatkan penonton baru. Aku sungguh melihat FFD mampu mengadaptasi perubahan ini dengan sangat cepat, atau malah menurutku sangat profesional.

Yang harus dipikirkan adalah apakah FFD ini selanjutnya akan selalu berjalan secara hybrid atau kembali seperti semula. Karena tentu ada pengalaman sinematik yang tidak akan didapatkan ketika menonton secara online. Berjejaring juga menjadi sangat susah. Menonton daring akan membuat penonton kesusahan untuk berkenalan dengan teman baru dan memiliki koneksi secara fisik. Ketika menonton festival film secara online, konsentrasi kita nggak akan 100% karena kita sudah kelelahan dengan Zoom sehari-hari. Nah, ini yang memang harus dipikirkan; bagaimana sebuah festival mampu membuka banyak peluang untuk menjadi lebih besar dan luas, tapi bagaimana caranya juga tidak membuat kelelahan dalam masa pandemi ini. Bagiku FFD secara manajemen itu sudah beres. Namun, dalam masa seperti ini, memang harus memutar otak memilah kembali konten-konten yang akan ditampilkan. Jadi memang perlu ada surprise yang baru untuk menggugah hati penonton.

 

Penulis: Tirza Kanya