Merekam Jalan Panjang Festival Film Dokumenter

— Interview
FFD 2021

Digelar sejak 2002, Festival Film Dokumenter (FFD) diinisiasi oleh sekumpulan anak muda yang membicarakan kondisi dan urgensi dokumenter di Indonesia. Sebagai salah satu festival film dokumenter tertua, FFD menempuh jalan panjang hingga mampu bertahan hingga sekarang di antara geliat festival film di Indonesia maupun asia.

Tahun ini, Tim FFD berkesempatan merekam kilas balik perjalanan awal FFD melalui keterangan salah satu pendiri FFD, Nurbertus Nuranto. Pria yang akrab disapa Mas Nur itu merupakan pengelola Tembi Rumah Budaya, yang juga merupakan saksi tempat pertama kali FFD dihelat.

 

FFD dulu berdiri tahun 2002 yang diinisiasi oleh Mas Nur dan kawan-kawan. Apa kegelisahan atau gagasan awal saat itu hingga terbentuk FFD?

Dulu, dokumenter selalu jadi bagian dari festival film. Gak pernah berdiri sendiri dan selalu masuk salah satu kategori dalam festival film. Kegelisahan saya, Herlambang Yudho, dan Ons Untoro (orang-orang yang menginisiasi FFD) berangkat dari sebuah pertanyaan: mengapa tidak ada festival dokumenter yang berdiri sendiri dan bukan jadi bagian dari sebuah festival film? Di satu sisi, saat itu orang-orang masih belum paham bedanya dokumenter dengan dokumentasi. Kita mau tahu cara berpikir waktu itu. Karena dokumenter itu memunculkan cara berpikir. Dokumenter punya plot dan maksud sendiri. Dokumenter itu mengangkat realita yang ada. Intinya mau memotret dan melihat cara berpikir orang-orang yang dikonstruksikan dalam bentuk film. Karena dulu banyak sutradara film terkenal berangkatnya dari pengerjaan dokumenter. Salah satunya kalau di Indonesia adalah Garin Nugroho. Ketika membuat film dokumenter, barangkali kalau bikin film cerita bisa punya banyak perspektif.

Selain itu, ada rasa ingin tahu. Waktu itu Indonesia baru saja memasuki era reformasi; banyak orang mulai merasa bebas mengemukakan pendapatnya. Bagaimana kalau pendapat atau pikiran itu dituangkan dalam film, yang salah satu bentuknya adalah film dokumenter?  Selanjutnya, yang dikenal pada waktu itu barangkali hanya jenis dokumenter propaganda atau feature di televisi. Dari obrolan ringan itu tercetuslah ide untuk mengadakan sebuah festival dokumenter yang fokus utamanya adalah kompetisi film. 

 

Apakah ada dukungan dari pihak lain baik dari sisi pendanaan atau bentuk dukungan lain? Kenapa akhirnya bisa terbentuk padahal referensi festival film terkait dokumenter masih sedikit saat itu? 

Waktu itu kami, saya dan Ons Untoro dari Tembi Rumah Budaya dan Herlambang yang aktif di Gelanggang Mahasiswa UGM, tepatnya Unit Fotografi (UFO) memulai festival dengan pendanaan dari kami (Tembi Rumah Budaya) dan volunteer dari mahasiswa. Bisa dikatakan bahwa awalnya festival film dokumenter adalah semacam kegiatan bersama Tembi Rumah Budaya bersama UFO UGM. Tidak ada dukungan pendanaan atau bentuk dukungan lain.

Meskipun referensi festival film terkait dokumenter masih sedikit, kami menjalankan dengan segala keterbatasan. Karena festival khusus dokumenter adanya juga di luar negeri, kami jadi tidak tahu banyak soal itu. Bisa dikatakan, kegiatan FFD ya berjalan begitu saja. Semuanya gak pernah punya pengalaman bikin festival sama sekali. Jadi coba-coba aja. Artinya, FFD ini bener-bener trial and error aja. Pertama kali pemutaran waktu itu di Tembi dan yang datang gak banyak. Waktu itu gak tahu mau sampai mana, yang penting jalan aja dulu, deh. Dulu ada pemutaran dan penjurian kompetisi. Tapi kita fokusnya pengen lihat film dokumenter Indonesia aja. 

 

 

Soal program utama kompetisi, bagaimana ceritanya ada sejak awal? Mengingat saat itu pemetaan orang-orang yang produksi dokumenter masih sedikit dan potensi yang muncul belum tergarap secara optimal.

Dengan fokus pada kompetisi kita bisa melihat peta film dokumenter waktu itu, khususnya yang ada di Yogyakarta. Sehingga bisa dikatakan memang saat itu jadinya festival film dokumenter Yogyakarta. Namun penamaannya sebagai Festival Film Dokumenter, dengan harapan bahwa pada perjalanannya semua bisa melebar. Jadi titik perjalanan awal FFD memang di Yogyakarta. Dan sampai sekarang memang di Yogyakarta meskipun peserta kompetisinya akhirnya bisa berasal dari mana-mana, bahkan dari luar negeri.

Yang mengirim, itulah yang dikompetisikan. Sepanjang waktu, kita mengubah-ubah kategori juga. Dulu pernah ada kategori profesional. Saya lalu berpikir, orang-orang itu tahu tidak ya profesional yang dimaksud itu adalah orang yang benar-benar bergelut di dokumenter dalam durasi yang lama. Toh, jumlahnya saat itu juga gak banyak. Kualitasnya juga kalau dibandingkan dengan yang sekarang juga jauh. Bahkan dulu pun ada video kawinan yang dimasukkan ke kompetisi FFD. Padahal, itu dokumentasi bukan dokumenter. Waktu itu memang temanya yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti lingkungan, kehidupan dan lainnya.

 

Bagaimana kendala yang dihadapi saat itu?

Banyak banget. Kesulitan bertahan ada, kesulitan organisasi juga ada. Dulu pelaksana festival itu saya berpikir untuk tidak lebih dari dua kali, karena kalau begitu orang berikutnya tidak bisa belajar hal baru. 

Kendala utama adalah pengorganisasian sebagai festival karena belum ada satupun dari kita punya pengalaman mengorganisasi festival. Sementara sepenuhnya memang model volunteer mahasiswa gelanggang UGM Unit Fotografi yang pada waktu itu banyak mengorganisir kegiatan-kegiatan di kampus. Bisa dikatakan memang FFD ini awalnya ya festival mahasiswa. 

Jadi, tidak ada yang punya pengalaman bikin festival. Istilahnya, kalau dari saya, belajar dari nol. Sumber keuangannya juga bener-bener masih dari Tembi, belum terpikir caranya untuk mencari sumber pendanaan lain saat itu.

 

Mengapa akhirnya bertahan? 

Ya akhirnya belajar dari pengalaman. Yang mengelola waktu itu banyak volunteer dari mahasiswa yang terlibat. Saya juga belajar dari mereka dan belajar dari festival lain. Semisal ada yang diundang ke luar negeri, kita melihat bagaimana penyelenggaraan di tempat lain. Semuanya learning by doing. Artinya kenapa ini tetap harus ada itu keputusan bersama. Ini (FFD) ada relevansinya gak sih? Hingga akhirnya bisa menginisiasi festival film dokumenter yang lain, pada akhirnya juga membuat banyak orang tertarik untuk membuat film dokumenter. Ini soal konsistensi. Saya pun ingin men-challenge saja. Siapa yang akan meneruskan ini? Dan ternyata ada Mbak Heni (Dwi Sujanti Nugraheni; Filmmaker Dokumenter & Penulis Skenario) dan Mita (Mita Hapsari) waktu itu yang meneruskan. Sekarang bahkan orang-orangnya sudah berganti lagi. Kalau gak ada konsistensi susah itu. 

 

Bagaimana perkembangan yang Mas Nur lihat dari FFD? Apa yang perlu diapresiasi dan apa yang perlu ditingkatkan?

Saya melihatnya ini perjalanan yang luar biasa karena memang yang terlibat di situ punya passion. Kalau gak punya passion, tentu gak bisa punya concern terhadap film dokumenter. Dengan festival itu bisa nonton film banyak banget dari mana saja, itu kan jadi tempat belajar. Belajar juga mengorganisir sebuah festival. Lama-lama udah pada jago, berbeda dengan dulu. 

Selama dua puluh tahun, FFD berkembang melalui proses yang panjang. FFD adalah hasil dari sebuah proses panjang dan konsisten untuk setia pada tujuannya memperkenalkan film-film dokumenter ke masyarakat luas. Saya mengapresiasi proses panjang itu sebagai tempat belajar dan tumbuh melalui berkembangnya jejaring seiring dengan perkembangan dunia film dokumenter itu sendiri.

Namun, apapun kekurangan itu ya biasa dalam sebuah perjalanan. Dan FFD banyak belajar dari kekurangan-kekurangan itu. Secara pengorganisasian saya juga mengapresiasi karena FFD sekarang dijalankan oleh orang-orang yang memang aktif di dunia perfilman terutama di bidang film dokumenter. FFD tumbuh menjadi muara jejaring dari banyak pembuat film baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan kata lain saya sangat mengapresiasi apa yang dicapai FFD, dalam hal ini Forum Film Dokumenter.

Saya mengapresiasi perkembangan FFD itu benar-benar menjadi tempat belajar anak muda untuk pengorganisasian sebuah festival, sebagai ajang pergaulan yang luar biasa dengan orang-orang film. Dari situ kan kita bisa banyak belajar. Makin ke sini mulai lebih rapi, mulai terstruktur. Jadi, itu sebenarnya sebuah perjalanan panjang. Dari yang tidak tahu apa-apa jadi lebih baik lagi. Dari gak bisa menjadi bisa. 

 

Seiring tahun, FFD selalu menghadirkan topik tertentu sesuai dengan kondisi dan persoalan saat ini. Bagaimana Mas Nur melihat soal perubahan itu? 

Terhadap perubahan, saya melihat bahwa perubahan itu adalah sebuah keniscayaan. Artinya dengan adanya perubahan topik dan lain-lain FFD tetap hidup dan maju menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di seputar kita.

Itu artinya kita tidak stuck. Kita selalu mengikuti dan tidak berhenti. FFD itu untuk saya seperti itu: dinamis, tumbuh, dan juga banyak melibatkan anak muda yang akhirnya banyak yang bergerak di bidang film. Ketika film diputar kan mereka banyak belajar dari sana, langsung praktik. 

 

Bagaimana Mas Nur melihat FFD saat ini? 

Sekali lagi, saya senang dengan perkembangan FFD sekarang meskipun mungkin masih banyak kekurangan di sana-sini. FFD menjadi pusat jejaring yang memiliki jaringan internasional. Dan barangkali sekarang sudah jadi barometer bagi festival-festival dokumenter yang akhirnya muncul di mana-mana. 

 

FFD akhirnya tumbuh lebih populer dikenal sebagai “ruang bertemu”. Bahkan berdasarkan data riset internal tahun 2019, cukup banyak orang yang datang ke FFD bukan untuk menonton film, tapi untuk bergaul dan berjejaring. Bagaimana pendapat Mas Nur soal itu? 

Tentu saya mengapresiasi, senang, dan bersyukur. Berkat konsistensi perjalanannya, FFD bisa menjadi ruang bertemu dan akhirnya siapapun yang ada di situ merasa sebagai rumahnya. Ibaratnya dari titik kecil bisa tumbuh dan berkembang sebagai lingkaran besar.

Saya melihatnya yang penting adalah konsistensi. Kemudian adaptif terhadap kondisi apapun. Pemutaran online ini pun karena keadaan. Tapi sebagai komunitas FFD ini tetap berjalan. Saya mengharapkan itu berjalan terus, karena yang menjalankan pun concern terhadap persoalan yang ada dalam dokumenter. 

 

Maksudnya konsistensi terhadap apa? 

Konsisten terhadap perkembangan dunia film, terhadap mereka yang bergerak di bidang dunia dokumenter. Karena sebenarnya FFD ini usaha banyak orang. Saya sudah tidak ikut mengelola sejak 2014 atau 2015. Penontonnya pun sekarang sudah beda. Jangkauannya lebih luas. 

 

Terakhir, apa harapan Mas Nur untuk FFD?

Harapan saya FFD tetap konsisten menjalankan visi dan misinya. Tetap adaptif dengan situasi dan kondisi yang ada sehingga menjadi lebih baik dari yang lalu lalu. Cara-caranya, harus mengikuti perkembangan zaman namun tetap mempertahankan visi dan misi sebagai rohnya.

 

Penulis: Dina Tri Wijayanti