Lanskap 2021: Dua Dekade Dokumenter

— Highlight Program
FFD 2021

Dokumenter merupakan salah satu medium yang menangkap lanskap suatu peristiwa dengan persepsi kamera. Persepsi dalam film dokumenter diciptakan dengan penentuan posisi serta sudut pandang kamera. Peristiwa yang ditangkap dalam sudut pandang tertentu berpengaruh kepada narasi yang dibangun sehingga dokumenter dapat menyampaikan narasi-narasi kritis; baik sosial, politik, dan lain sebagainya. Jika ditelisik lebih detail, terdapat perubahan bahasa dan tutur dokumenter yang terjadi dari waktu ke waktu melalui berbagai aspek. Hal ini menunjukkan bahwa perjalanan dokumenter dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan.

Perubahan yang mengiringi perjalanan Dokumenter untuk terus berkembang tentunya akan sulit untuk ditemukan jika tidak ada pembacaan kembali terhadap karya-karya terdahulu. Melalui pembacaan kembali terhadap karya terdahulu, kita bisa melihat perubahan di berbagai aspek dalam dokumenter yang menarik untuk dikaji serta dapat digunakan sebagai referensi di masa sekarang.

Arsip Forum Film Dokumenter berhasil merangkum gagasan serta cara tutur pembuat film dokumenter Indonesia dalam berbagai kompleksitas budayanya. Penyampaian narasi serta cara tutur film dokumenter seringkali bermuara kepada keberlanjutan yang mempengaruhi pembuatan film dokumenter lain, khususnya pada dua dekade perhelatan Festival Film Dokumenter (FFD). Dua dekade terselenggaranya FFD tentu menjadi pencapaian yang luar biasa. Akan tetapi, FFD tidak akan sampai di titik ini tanpa perjalanan panjang dokumenter di tahun-tahun sebelumnya. Maka dari itu, FFD 2021 berusaha mengajak publik untuk membaca kembali arsip film dokumenter melalui program Lanskap 21: 2 Dekade Dokumenter.

Pembacaan lain dari “2 Dekade Dokumenter” juga menjadi penanda dan refleksi bagi penyelenggaraan FFD yang ke-20. Sesuai dengan tema yang diangkat FFD tahun 2021, “Keberdayaan dan Kegigihan”. Tentu para penggiat film dokumenter juga harus terus berdaya dan gigih untuk terus menghadirkan dokumenter-dokumenter berkualitas yang mampu menangkap setiap fenomena dalam masyarakat di Indonesia.

 

Program Lanskap hadir sebagai upaya FFD dalam membicarakan wacana yang hadir tentang dan di Indonesia melalui medium dokumenter. Program ini menawarkan pembacaan karya melalui cara pandang dalam memaknai film dokumenter Indonesia sekaligus melihat Indonesia dari film dokumenter itu sendiri. Melalui Lanskap 21: 2 Dekade Dokumenter, FFD mengajak publik untuk membaca karya dalam rentang waktu yang lebih panjang, yang mana dihadirkan film dokumenter selama dua dekade terakhir. Karena dua dekade tentu menjadi waktu yang lama dalam perjalanan film dokumenter, banyak hal yang dapat menjadi bahan untuk berproses.

Perubahan dokumenter yang paling dirasakan adalah adanya pandemi Covid-19 yang membawa banyak perubahan, baik dari pola produksi, persebaran film dalam jaringan, hingga cara menikmati film. Fenomena ini tentu menjadi perubahan paling terasa dalam ekosistem film dokumenter. Untuk dapat beradaptasi dalam pandemi tentunya diperlukan perubahan dalam pola produksi hingga distribusi film dokumenter. Perubahan ini dapat ditemukan dalam film-film yang disajikan dalam Lanskap 21: 2 Dekade Dokumenter.

Genre Sub Genre (2014)

Melalui film 400 Kata/400 Words (2013), Genre Sub Genre (2014), dan Sepanjang Jalan Satu Arah/Along The One Way (2016) penonton akan diajak melihat peleburan dokumenter dan fiksi dalam ketiga film ini. Peleburan ini membuat batasan antar genre menjadi tidak lagi terlihat dan menjadi satu dalam film tersebut.

Batu Bata Merah (2014), The Coffeemaker (2009), Diary of Cattle (2019), dan Pabrik Dodol (2009 hadir untuk memanjakan penonton dengan visual storytelling dalam penyampaian pesannya. Ketiga film ini sukses menjelaskan fenomena yang diangkat melalui penyajian estetika visual. Meski tanpa dialog, film ini mampu berbicara dan membuat penonton memahami keadaan yang dalam film.

Masih tentang estetika visual, film dokumenter juga dapat penonton nikmati dalam bentuk animasi. Penonton dapat menikmati dokumenter animasi dalam film Begini lho, Ed! (2013), dan kOsOng (2020). Kedua film ini merupakan dokumenter panjang, tapi penyajian animasi membuatnya tidak membosankan untuk dinikmati.

Tahun ini, program Lanskap mengupayakan untuk dapat tercipta cara pandang dan pengimajinasian dokumenter yang lebih inklusif. Penonton dapat mempelajari hal ini dari film Farewell My School (2013) dan Bunyi Banyu (2020). Kedua film ini sukses menyajikan subjek difabel tanpa membuat mereka merasa sebagai difabel.

Penggarapan film tentunya menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbeda. memories/fortress (2020) sukses menyajikan dokumenter yang digarap dengan pendekatan etnografis. Latar belakang pendidikan filmmaker di bidang etnografis dan film dokumenter mendukung berhasilnya pendekatan yang digunakan.

Berpindah dari keseriusan dokumenter, Gorila dari Gang Buntu (2009) dan Dogod (2014) sukses menyajikan narasi yang sebenarnya kompleks dengan penyajian yang menyenangkan. Kedua film ini dapat menjadi penyegaran di tengah dokumenter-dokumenter yang serius. 

Selain itu, penonton juga dapat menikmati perbedaan dan perkembangan gaya tutur dan bahasa dalam penyampaian setiap isu serta dinamika film dokumenter melalui Denok & Gareng (2012), Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) (2013), Homo Homini Lupus (2008), Paotere/The Fish Market (2009), Nyalon (2014), Akar/Roots (2014), On The Origin of Fear (2017), dan Salmiyah (2020).