Tonny Trimarsanto dikenal sebagai sutradara dan fasilitator workshop film dokumenter. Sejak terjun di bidang dokumenter, sudah puluhan film dokumenter yang dilahirkan Lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini. Beliau adalah pengelola Rumah Dokumenter (Klaten), salah satu komunitas/kelompok produksi dokumenter paling aktif di Indonesia.
Kami berkesempatan mewawancarai Tonny yang menjadi pembicara dalam program DocTalk sesi Documentary Heritage: Praktik Pencatatan Warisan Budaya dengan Medium Dokumenter pada gelaran FFD 2021. Dalam wawancara ini Tonny memaparkan upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan produksi dokumenter pelajar, tanggapannya sebagai pemenang gelaran pertama FFD, hingga masa depan dokumenter heritage Indonesia.
Sebagai pemenang pada gelaran FFD yang pertama, bagaimana pandangan Mas Tonny tentang 20 tahun FFD?
Menarik mengamati perjalanan FFD karena saya mengetahui benar bagaimana proses pertumbuhannya. Dari penyelenggaraan FFD tahun pertama, kedua, ketiga, dan selanjutnya, tentu butuh energi yang luar biasa. Dulu kan awalnya (FFD digelar) di Tembi; di daerah kidul Yogyakarta, saya pernah merasakan suasana FFD itu seperti apa. Teman-teman dengan energi yang sama ingin menciptakan forum untuk bisa mendialogkan capaian-capaian kreatif dalam ranah dokumenter.
Di dua dekade ini, saya melihat capaiannya FFD adalah berhasil membangun brand yang cukup kuat. Ketika kita berbicara dokumenter, pasti akan lari ke FFD dan di Jogja. Isinya adalah para pembuat film dokumenter dengan energi, ketekunan, kesabaran dalam proses panjang untuk bisa menghadirkan forum yang penting dalam pertumbuhan film dokumenter. Bagaimanapun juga, pembuat film dokumenter tidak hanya melahirkan film dokumenter saja, tapi juga harus diukur bagaimana karya itu mempunyai daya jelajah kreatif ke penontonya. Artinya, FFD telah mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam membangun dan menciptakan ekosistem produktifitas film dokumenter. Ketika saya mendapatkan penghargaan di FFD pertama, saya masih membaca apakah FFD akan terus menerus berlangsung? Ternyata iya, dan mimpi itu menjadi semakin luar biasa hingga hari ini. FFD sudah mempunyai brand, sudah mempunyai sidik jari. Sidik jari festival yang sangat spesifik dan punya peran penting dalam peta besar film dokumenter di Indonesia. Peta besar film dokumenter di Asia Tenggara juga, bahkan sudah tingkat Asia.
Mas Tonny adalah pendiri komunitas produksi & filmmaker Rumah Dokumenter yang tumbuh menjadi komunitas produksi/pelatihan produksi yang banyak diminati oleh pelajar (SMK/sederajat). Sejauh pengalaman Mas Tonny, gagasan apa saja yang sering diangkat oleh kalangan pelajar dalam produksi film dokumenter?
Kami mungkin komunitas yang cukup demokratis, artinya hanya memberikan ruang pertumbuhan. Ruang pertumbuhan berarti kalau mau tumbuh ya ayo, kalau engga ya silakan. Ketika teman-teman datang ke Rumah Dokumenter; baik itu SMK, SMA, mahasiswa atau kalangan umum yang ingin belajar film dokumenter, di sini kami menerimanya dengan senang. Cuma prasyaratnya adalah mereka harus mempunyai idenya sendiri ketika datang ke sini. Artinya, datang dengan ide, lalu mereka pulang dengan film. Itu konsep yang kami kembangkan.
Untuk pemetaan anak-anak pelajar ataupun mahasiswa yang magang di sini pembacaannya pada isu-isu yang melekat dengan dunia mereka. Kami sarankan untuk mencari saja ide-ide yang dekat saja, jangan jauh-jauh. Tidak perlu pelajar bicara tentang hal-hal yang muluk-muluk, hal-hal besar; cukup isu yang sederhana. Kalau kita mampu mempunyai perspektif yang berbeda terhadap hal itu, maka akan menjadi sebuah isu yang luar biasa.
Beberapa tahun terakhir, submisi film dokumenter pelajar di FFD menurun (bahkan terlepas dari pandemi). Itu juga ternyata dialami festival-festival lain yang punya concern ke apresiasi film pelajar di Indonesia. Bagaimana Mas Tonny melihat ini?
Produksi film pelajar selama ini kalau saya melihat perjalanan FFD itu hanya pada kantong-kantong tertentu. Maksudnya ketika gerak komunitas tersebut tidak intens, tentu akan berakibat pada turunnya jumlah produktivitas. Itu sebenarnya pola yang sudah dicermati.
Poin pertama adalah jumlah komunitas yang mendampingi produksi film dokumenter mungkin tidak lagi maksimal ya, saya tidak tahu faktornya apa. Tapi dari sisi lain, mungkin mereka memiliki fokus yang berbeda atau pelajar sekarang lebih tertarik dengan isu-isu yang bisa mereka kemas dalam film fiksi pendek. Banyak sekolah formal yang belum mempunyai panduan standar dalam produksi film dokumenter. Baik dari support pengajarnya atau sistem kurikulumnya yang belum berjalan dengan maksimal kalau output-nya soal produktivitas.
Melihat variasi tema dari dokumenter pelajar Indonesia yang muncul belakangan, apakah variasinya terus meningkat?
Saya rasa variasinya meningkat karena tingkat pembacaan pelajar semakin ke sini semakin beragam. Terutama pada isu-isu yang berkembang di sekitarnya, menjadi penting untuk dicatat. Misalnya, teman-teman pelajar pernah buat film tentang politik, lingkungan, subjek yang inspiratif di lingkungannya; ini menjadi penting di samping karya-karya yang bersifat personal.
Pembacaan pada isu-isu pada tingkat pelajar juga semakin meningkat. Artinya, kegelisahan dan keinginan untuk tumbuh itu ada tinggal ditambah upaya untuk pendampingan. Nah proses pendampingan inilah yang harus dikelola secara terus menerus.
Usaha apa yang kira-kira bisa dilakukan untuk meningkatkan produksi film dokumenter pelajar?
Kalau bicara strategi,tentu berkaitan dengan SDM yang ada di sekolah masing-masing. Tidak setiap SMA/SMK mempunyai effort bahwa harus ada karya yang lahir secara audiovisual dengan standar tertentu. Misalnya, banyak SMK yang mempunyai karya film dokumenter, tapi ketika dikirimkan ke FFD standar kualifikasinya tidak masuk. Mungkin itu yang sering terjadi.
Atau pada sisi lain, guru-guru tidak cukup mempunyai kegelisahan tentang bagaimana karya anak-anak bisa mempunyai daya jelajah kreatif yang lebih luas ke festival. Sekarang ada banyak banget festival, khususnya untuk pelajar di FFD misalnya. Kalau kita berbicara lebih spesifik juga ada Festival Film Pelajar Yogyakarta. Di situlah persoalan yang seringkali saya amati, bahwa perlu membentuk perspektif guru tentang produksi film. Jangan anak-anak terus yang didampingi, tapi faktor penggeraknya itu juga perlu. Tidak hanya anak-anak yang harus didekatkan dengan cara dan praktek kerja bagaimana pembuatan dokumenter, tetapi juga pada guru. Kalau anaknya disuruh belajar tapi guru tidak tahu apa-apa, ya tidak jalan. Jangan hanya mengelola siswa, tapi juga desain kurikulumnya dan juga effort setiap pengajar.
Bagaimana masa depan Documentary Heritage di Indonesia? Karena tidak semua individu menyadari pentingnya pencatatan warisan budaya?
Kalau saya melihat, tanpa kita perlu bicara bahwa film A ada unsur heritagenya atau tidak, teman-teman filmmaker sudah melakukan itu. Artinya, peristiwa-peristiwa yang teman-teman catat lalu rekam dan sampaikan menjadi sebuah cerita akhirnya sampai ke mata penonton itu sudah heritage. Irisannya sudah ada dan terlihat, cuma tidak spesifik. Maksudnya, teman-teman itu tidak membuat film textbook. Dalam film tidak disebutkan secara langsung yang ini peninggalan benda, ini nonbenda, ada nilai di dalamnya, dan lain-lain. Meski tidak spesifik, filmmaker sebenarnya sudah berbicara itu, tapi pada wilayah yang lebih besar lagi. Ada persoalan di sebuah masyarakat dengan tradisinya. Nah usaha seperti ini justru lebih lengkap (dalam menggambarkan heritage) sebenarnya.
Apakah masyarakat umum perlu mengetahui pentingnya pencatatan warisan budaya? Karena secara tidak langsung unsur heritage didapatkan dari masyarakat.
Sebenarnya kalau kita bicara tugas, itu bukan tugasnya masyarakat ya; itu tugasnya negara. Bagaimana negara itu secara sistem dia bisa melindungi dan mengelola aset-aset, baik itu yang berbentuk nilai dan benda. Jadi memang itu menjadi tanggung jawab negara, tetapi persoalannya adalah bagaimana bisa melibatkan masyarakat ke wilayah praktik tersebut. Tentu butuh jangka panjang, butuh sosialisasi hingga edukasi tentang hal apa yang harus dijaga. Toh, sebenarnya para pembuat film dokumenter telah membantu kerja pencatatan warisan budaya lewat karya yang mereka hasilkan tanpa harus mendapatkan satu perintah dari negara.
Bagaimana pengalaman Anda di FFD yang digelar secara daring saat ini?
Saya melihat semuanya memang harus dipaksa masuk pada sistem baru. Bahwa ruang apresiasi itu berubah, yang dulu fisik sekarang nonfisik itu butuh proses adaptasi. Mungkin awalnya penuh kejutan ketika kita nonton film secara online, tapi tentu ini menjadi pembelajaran juga untuk teman-teman yang bergerak di sistem pengorganisasian FFD ini.
Pada satu sisi teman-teman memiliki pengalaman yang kaya dalam melaksanakan festival offline, tetapi dalam waktu singkat dipaksa untuk belajar mengelola festival secara online. Ketika dua pengalaman ini dipadukan itu akan menjadi strategi yang luar biasa, ternyata online dan offline dapat dilakukan secara bersama-sama. Ketika masih offline, itu daya jangkaunya sedikit. Sedikit jika dibandingkan dengan daya jangkau festival online yang bisa ke mana-mana. Misalnya, dalam kelas saya (DocTalk: Documentary Heritage) ada yang whatsapp saya dari Maluku dan ikut kelas. Daya jelajahnya semakin jauh, tetapi kehangatannya menjadi tidak ada. Artinya, setiap proses transisi memiliki konsekuensi; ada yang hilang tetapi ada nilai baru yang muncul dan ditemukan.
Penulis: Dinda Agita