Pecahan genteng akan tampak seperti emas yang tak bernilai. Demikian makna dari pepatah Jawa yang berbunyi “wingko katon kencana”. Pepatah ini mampu digunakan untuk menggambarkan seseorang yang sedang dimabuk kepayang. Banyak hal yang didasari dengan cinta akan terasa lebih indah, lebih baik, dan lebih nyaman. Jarak yang sebenarnya sangat jauh akan terasa lebih dekat, berat akan terasa ringan, dan sulit akan terasa lebih mudah. Rupa-rupanya memang benar bahwa segala pekerjaan akan terasa lebih nyaman jika dilandasi oleh cinta.
Dunia yang kita tempati berkembang secara dinamis dan tidak satupun manusia mampu mengontrol gerak lajunya. Perkembangan itu kini memasuki era kala dunia seolah-olah membenam dengan kapitalisme. Banyak individu maupun kelompok yang terdistorsi dengan adanya perkembangan ini dan percaya bahwa manusia dapat menemukan jati dirinya melalui bekerja. Celakanya, dalam perkembangan kapitalisme lanjut, ragam pekerjaan justru banyak mengasingkan manusia dan merasa terpinggirkan. Kegiatan atau kerja-kerja yang memiliki pondasi cinta serta afeksi sering kali hanya membuahkan apresiasi (finansial) yang minim karena dirasa tidak sesuai dengan konstruksi sosial yang telah terbentuk. Pernyataan tersebut kerap kali menyita pikiran, waktu, tenaga, dan emosi dari para pelakunya. Lantas, apa yang memotivasi mereka untuk melakukan pekerjaannya dengan tetap gigih dan tekun?
Melalui cinta personal yang tumbuh bersama dengan pengalaman serta ingatan personal, gerakan-gerakan kecil tumbuh. Lambat laun gerakan itu menjadi semangat yang terus hidup dan menghidupi pelakunya. Dari pengalaman dan ingatan personal tersebut, kita dapat bertemu dengan persoalan yang lebih besar yang akan terus tumbuh dari rasa cinta yang memang sudah tertanam. Misalnya, sekelompok orang yang menyukai seni musik atau tari akan memilih untuk bekerja pada ranah seni pertunjukan. Lebih dari itu, banyak pula jenis pekerjaan rumah tangga, seperti anggota keluarga yang bertanggung jawab atas anggota keluarga yang sakit, atau seorang ibu yang bertanggung jawab atas anaknya; atau sebaliknya, seorang anak yang bertanggung jawab atas orang tuanya. Jika menilik lebih dalam lagi, banyak pula individu yang bersedia meluangkan tenaga, pikiran, waktu, biaya, dan perasaan mereka untuk menemukan identitasnya di tengah lapisan-lapisan konflik personal yang dialaminya. Praktik-praktik kerja tersebut kerap kali dijalani oleh individu atau kelompok yang jauh dari usaha untuk memenuhi kerangka kapitalisme.
Jika zaman kapitalis telah gagal untuk memberikan apresiasi terhadap pekerjaan-pekerjaan tersebut, bagaimana kita dapat memaknai pekerjaan ini secara lebih lanjut?
Eksistensi Program Perspektif Festival Film Dokumenter 2021 mencoba menggambarkan kegigihan dan ketahanan seseorang atau sekelompok orang dalam melakukan praktik-praktik kerja yang barangkali berangkat dari landasan personal yang kemudian dapat kita baca untuk memahami persoalan struktural yang lebih besar.
Melalui My Father, Dr. G (Hidayah Hisham, 2020) kita dapat melihat lapisan antara perjuangan yang dilakukan seorang anak dalam mendukung ayahnya, dan seorang Ayah yang melakukan praktik pengobatan dengan tumbuhan ganja dan telah divonis hukuman mati oleh hukum yang berlaku di Malaysia. Anaknya terus berusaha untuk melakukan negosiasi agar ayahnya dibebaskan dari hukuman tersebut.
The Traditional Brazilian Family KATU (Rodrigo Sena, 2020) menceritakan bagaimana identitas dalam komunitas adat diteguhkan melalui dokumentasi foto sebagai artefak ingatan. Dua belas remaja diwawancarai oleh surat kabar dan berbicara tentang perjuangan untuk mengenali akar asli komunitas mereka. Delapan tahun kemudian, tim kembali ke Catu untuk mencari protagonis ini, sekarang dewasa, untuk belajar tentang lintasan pribadi mereka dan untuk mendekati kehidupan sehari-hari dan pandangan dunia penduduk mereka.
The Voice Remains (2021, Laura Pérez Gómez ) memaparkan cerita tentang kerja-kerja rekonsiliasi dalam ranah domestik. A Mandolin in Exile (2020, Rafiqul Anowar) menghadirkan bentuk-bentuk kerja di luar kerangka ekonomi untuk bertahan dan meneguhkan spirit kolektif melalui sajian musik.
Between Fire and Water (2020, Viviana Gomez) menghadirkan persoalan identitas personal yang harus dinegosiasikan dalam sebuah komunitas adat. Dan Ketika Tunas Itu Tumbuh (2020, Kurnia Yudha) menyuguhkan bagaimana peristiwa ‘penghilangan’ simbol kebudayaan yang terjadi di masa silam menjadi ingatan sekaligus semangat baru untuk meneguhkan identitas mereka melalui kegiatan atau aktivitas komunal dalam wujud festival.
Enam film dalam program ini mewakilkan tujuan dari Program Perspektif, yakni mengangkat isu kegigihan dan kebertahanan. Para programmer, Alwan Brilian dan Irfan Darajat, percaya bahwa sampai detik ini, terlepas dari perihal emosi dan energi yang selalu menjadi hal-hal yang dikorbankan dan dipertaruhkan, masih ada bentuk kerja yang diyakini oleh baik seseorang maupun komunitas sebagai upaya untuk mempertahankan sesuatu yang dicintainya, meskipun jauh dari kerangka kapitalisme.