kOsOng (2020) Bukan Berarti Tidak Bahagia

— Ulasan Film
FFD 2021

Stigma perempuan di Indonesia saat ini masih dipengaruhi oleh budaya patriarki yang melekat dan terus-menerus direproduksi. Mulai dari perempuan dituntut untuk lebih cepat menikah daripada laki-laki hingga domestifikasi perempuan. Tidak selesai di situ, jika sudah menikah maka perempuan dituntut untuk cepat-cepat punya anak. Memiliki anak setelah menikah di Indonesia seolah menjadi sebuah keharusan. Tuntutan ini dilatarbelakangi anggapan bahwa semua pasangan suami-istri yang baru saja menikah pasti langsung menginginkan kehadiran si buah hati. 

Jika kehamilan tidak kunjung terjadi, maka akan muncul pertanyaan pada kehidupan pernikahan tersebut dari masyarakat dan orang-orang di sekitar pasangan. Meski anak adalah hasil hubungan antara suami-istri, ketidakmampuan untuk memiliki anak seakan-akan sepenuhnya menjadi salah perempuan. Jika terus dituruti, tuntutan masyarakat pada perempuan tidak akan ada habisnya; seolah masyarakat yang mengatur bagaimana hidup seorang perempuan harus berjalan.

kOsOng (Chonie Prysilia & Hizkia Subiyantoro, 2020) hadir mengajak penonton melihat pengaruh tuntutan memiliki anak dari sudut pandang perempuan yang tidak memiliki buah hati dalam menanggapi pembahasan masyarakat akan keadaannya. Tidak memiliki buah hati dalam sebuah pernikahan dapat didasari oleh dua hal; keadaan perempuan yang menginginkan anak namun tidak kunjung dianugerahi buah hati serta pilihan perempuan untuk tidak memiliki buah hati. Filmmaker menyajikan pembahasan ini melalui narasi dari lima perempuan dari generasi dan latar belakang yang berbeda. 

Filmmaker menghadirkan perempuan yang berada pada keadaan tidak kunjung memiliki buah hati. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di masyarakat tentang pasangan suami-istri yang tidak kunjung memiliki buah hati banyak dibahas secara terbuka tanpa memikirkan perasaan pasangan suami istri yang dibicarakan. Lama-kelamaan, pembahasan masyarakat semacam ini berubah menjadi intimidasi. Intimidasi membuat pasangan suami-istri selalu mengusahakan apapun agar buah hati lekas hadir. Sejumlah eksperimen medis dilakukan untuk cepat hamil; mulai dari pengobatan herbal, rumah sakit, hingga pijat. Mengesampingkan risiko pengobatan yang dapat membahayakan diri hanya demi memenuhi tuntutan sosial di masyarakat. 

Tidak jauh berbeda, pilihan untuk menunda atau tidak memiliki buah hati juga mendapatkan pandangan negatif dari masyarakat. kOsOng (2020) menghadirkan cerita dari perempuan yang memilih tidak memiliki buah hati yang juga mendapat kecaman dari masyarakat. Mereka nyaman dengan pilihannya, bahkan sudah sepakat dengan pasangan untuk tidak memiliki buah hati. Akan tetapi, orangtua dan masyarakat tetap menuntut untuk memiliki buah hati. Jika tidak memiliki buah hati, seakan-akan perempuan belum menjadi perempuan seutuhnya. 

Sajian animasi dalam film kOsOng (2020) memperkuat pengimajinasian narasi yang diceritakan oleh subjek. Filmmaker sukses membuat animasi yang menceritakan keadaan tertekannya subjek ketika mendapat tuntutan tentang buah hati. Hal ini membuat penonton ikut merasakan kepedihan yang dirasakan subjek ketika mendapatkan intimidasi tersebut. Penyampaian narasi yang ekspresif dari subjek mendukung pengimajinasian keadaan melalui sajian animasi film ini. 

Dokumenter animasi panjang ini mencoba mengingatkan  bahwa memiliki buah hati adalah pilihan personal perempuan. Film ini mengingatkan penonton bahwa urusan memiliki buah hati merupakan ranah privat perempuan. Film ini juga memberikan pandangan bahwa bagaimana campur tangan masyarakat dalam hal-hal privat dapat menyebabkan perempuan tertekan. tekanan tersebut dapat menyebabkan ketidakbahagiaan bagi perempuan itu sendiri. 

Film kOsOng (2020) adalah bagian dari program Lanskap 21: 2 Dekade Dokumenter. Kamu bisa menontonnya di sini.

 

Penulis: Dinda Agita