Perihal siapa manusia pertama di bumi menjadi perbincangan tiada habis. Manusia dalam setiap peradaban selalu menelusuri jejak moyangnya dan mengungkapnya dengan teori-teori paling logis. Kita tahu, segala yang kita tinggalkan di bumi adalah harapan supaya kelak kita menjadi abadi. Leluhur mewarisi nilai, monumen, maupun kisah-kisah dan mewanti-wanti anak cucunya supaya tidak tercerabut dari akar. Jangan sampai lupa asal-usul. Sepertinya kita semua bakal kembali mundur ke satu masa ke pungkur.
Dalam lingkaran turun-temurun ini, menjadi sepenuhnya modern tanpa memegang memori masa lampau nampaknya bukan jalan yang mulus untuk ditempuh. Sejarah melingkar dibentuk oleh cara pandang masing-masing. Yang betulan terjadi bersilang-sengkarut dengan dongeng yang hidup di alam fantasi. Dan di sinilah mitos mengandung arti yang mendalam pada setiap gerak manusia sehari-hari.
Dokumenter MADA or the story of the first man (Laurent Pantaléon, 2021) menyodorkan sejarah lain yang beberapa bagiannya pernah kita dengar: tentang asal mula lahirnya manusia pertama. Riwayat itu semua diungkap oleh tiap narasumber dengan tandas. Film ini memberi gambaran bagaimana ilmu pengetahuan berhadapan dengan fiksi. Meski kita semua dididik untuk percaya bahwa hanya dokumen dalam bentuk teks dan bukti materiil yang bisa disebut sejarah, tuturan dari satu mulut ke mulut secara terus menerus terkadang mampu mengikis fakta menjadi kisah lain.
Dalam teks-teks sakral, khususnya kitab tua dengan rumpun bahasa Semit, terdapat cerita tentang Adam dan Hawa sebagai manusia pertama di bumi. Ada pula kisah-kisah lain yang dianggap mitos, kemudian timbul tenggelam dalam pergulatan hasil pemikiran manusia terdahulu tentang sejarahnya sendiri. Dalam film ini, dikisahkan bahwa manusia pertama bernama Mada dari sebuah provinsi di Madagascar. Secara tak langsung ini menjadi kritik atas dominasi dunia barat dan praktik kolonialisme. Karena mereka mengatakan, orang-orang barat telah memutar fakta, membalik nama Mada menjadi Adam, menulis ulang riwayat manusia dengan alasan-alasan tertentu. Ada pula bantahan terhadap teori evolusi bahwa manusia pertama lahir dari seekor kukang dan Kalanoro (sejenis kurcaci yang hidup di hutan hujan Madagaskar), bahwa suatu hari manusia akan kembali ke habitatnya di air dimana pulau-pulau Samudera Hindia membentuk benua besar. Tapi manakah yang benar?
Film dibuka dengan menyorot seorang nelayan di sebuah desa pinggir laut Mauritus. Ia mengisahkan bahwa habitat leluhur mereka adalah lautan yang tidak sedalam sekarang. Dulu, orang-orang tua bahkan bisa menyentuh dasar laut. Entah air bertambah setiap harinya hingga membuat bumi tenggelam atau memang daratan yang semakin mengerut. Tapi yang jelas nelayan itu mengatakan, sesuatu akan terjadi ketika ada seseorang yang bisa menyentuh dasar lautan dengan kedua kakinya secara bersamaan.
Ada benang merah yang terulur dari setiap pernyataan narasumber. Koran Waro, seorang sejarawan asal Saint-Denis, Réunion Island, percaya bahwa dalam waktu yang lama ilmuan barat pura-pura percaya bahwa kota mereka berdiri karena letusan vulkanik. Pulau itu seolah tersembul karena titik panas bawah laut, yang menurut Waro, seharusnya keluar dari Samudera Hindia. Namun, kini sains berkata lain. Kita tahu bahwa Madagaskar, Mauritus Rodrigues, The Chagos, dan Reunion Island adalah sisa benua kuno yang dikenal dengan Lemuria, tempat dimana Kalanoro hidup. Ada dongeng dari wilayah Samudera Hindia yang mengatakan bahwa kita mempersiapkan untuk kembali ke air. Kalanoro keluar dari air untuk menetap di darat, manusia akan kembali ke lautan, kembali ke Lemuria.
Dokumenter pendek ini membuat kita memisahkan batas kabur antara fakta dengan fiksi. Juga, membuka mata kita, betapa mitos dapat benar-benar hidup. Cerita itu merangsek ke dalam kesadaran kita, bahkan pada para ilmuwan sekalipun. Film ini bisa jadi rekaman deteksi fantasi kebohongan. Atau malah sebaliknya, jadi rekaman pembenaran dari yang selama ini kita yakini benar. Tapi film garapan Laurent Pantaléon ini memberi ruang pada satu sudut pandang, alih-alih melakukan cover both sides. Barangkali memang film ini ingin kita mengapa mereka menceritakannya, mengapa mitos itu ada. Atau, membuat kita selaku penonton justru berhenti skeptis dan menimbang-nimbang: inikah jawaban dari masa depan?
Lalu sebuah kutipan di ujung film seperti menjawab pertanyaan itu,
“Tidak ada kebenaran tanpa kesalahan yang diperbaiki.”
Film yang menyandingkan mitos dengan fiksi baru ini menjadi bagian dari program Spektrum: Memitoskan Mitos dan dapat diakses dalam helatan FFD tahun ini. Kedekatan tema yang kuat dalam dokumenter eksperimental ini mengurai kuatnya pengaruh mitos yang menjelma menjadi karya dalam bentuk atau kemungkinan lain.
Penulis: Dina Tri Wijayanti