Agung Kurniawan (atau biasa dikenal Agung Leak) merupakan commission artist Festival Film Dokumenter (FFD) 2021. Sejak tahun 90-an ia telah aktif di dunia seni. Agung memiliki ketertarikan membuat karya seni dengan mengangkat tema dari isu-isu tabu atau isu sensitif. Seperti genosida, politik, perempuan, transgender dan lain sebagainya.
Tim FFD berkesempatan mewawancarai Agung yang memaparkan pandangannya terkait dokumenter, makna karyanya untuk perupaan FFD tahun ini, serta harapannya untuk FFD secara umum. Berikut wawancara lengkap kami dengan Agung Leak:
Bagaimana Pak Agung melihat FFD secara umum?
Saya mengetahui FFD sejak lama sekali, kalau tidak salah sejak pertama digagas. Kemudian informasi tentang FFD saya peroleh dari kantornya langsung, karena kebetulan dekat tempat saya biasa nongkrong pada waktu itu. Tahun lalu juga festivalnya (diadakan) di Kedai Kebun ya, jadi saya juga menikmatinya langsung. Secara fisik dan secara festival, saya sudah mengenal dengan cukup baik. Saya juga kenal beberapa orang yang sebagai penggiatnya.
Secara festival, saya kira Festival Film Dokumenter itu punya peran yang sangat penting,terutama pada hari ini. Karena saat ini yang berkuasa dalam rezim kesenian adalah rezim industri kreatif. Meski banyak kelebihannya, salah satu kelemahan bagi industri kreatif adalah sikap yang cenderung positivistik. Maksudnya, kemudian masyarakat diharapkan untuk berpikir secara positif, memberi kesan positif, jadi semua dalam situasi yang sangat positif. Kemudian hal itu menimbulkan sesuatu yang tidak normal, karena dalam kehidupan tidak bisa kita selalu menerima kesan yang positif. Karena jelas ada “kepalsuan” di situ.
Nah, film dokumenter menyimpan substansi subversif di dalamnya, karena dia praktis berbeda dengan film fiksi. Lewat dokumenter, bisa muncul sesuatu yang lebih kritis karena film dokumenter bersifat personal. Film dokumenter ini menampilkan sisi kritis dan mencoba melihat manusia dari seluruh aspek kehidupannya secara lebih berimbang, terhindar dari intervensi pihak-pihak yang mengekang. Saya kira dalam konteks itulah FFD menjadi penting, karena ia memberi ruang untuk menyuarakan sisi balik senyap dari situasi hari ini. Sesuatu yang sulit disampaikan dalam film-film fiksi, sesuatu yang sulit ditangkap oleh festival-festival lain, katakanlah seperti tari atau lain sebagainya.
Apa yang ingin Pak Agung gambarkan melalui karya yang dibuat untuk FFD 2021?
Saya diminta menceritakan tentang ketabahan dan kengototan. Awalnya, saya berpikir repot juga. Bagaimana kita membayangkan situasi itu?
Kemudian saya kembali pada model pemikiran saya tentang film dokumenter, film fiksi, dan dunia kreatif industri. Saya melihat film dokumenter punya sifat yang lebih kritis dan lebih sederhana. Pada faktanya, dia punya persistensi yang lebih kuat karena secara umum dia lebih mandiri. Sehingga saya berpikir apa yang bisa menggambarkan situasi itu? Ketika saya ngomong tentang industri kreatif, saya membayangkan mereka itu seperti burung merak, burung berkicau, atau burung-burung hias lainnya. Lalu ketika berpikir tentang film dokumenter, saya membayangkan mereka seperti serangga.
Kenapa serangga? Bisa dijelaskan lebih jauh?
Serangga adalah suatu jenis makhluk hidup yang paling tidak bisa dikalahkan dan dia tidak mungkin punah. Contohnya kecoa, dia tidak akan punah. Beberapa penelitian menunjukkan perang nuklir sekalipun tidak bisa membuat kecoa punah. Bahkan ketika dipotong kepalanya, dia masih bisa hidup untuk beberapa waktu.
Kemunculan serangga dalam beberapa kebudayaan dianggap sebagai sebuah hukuman. Munculnya serangga dalam jumlah yang banyak itu artinya ada sesuatu yang salah. Jika kemudian ada banyak film dokumenter, ada banyak orang yang mulai merekam dan mendokumentasikan berarti ada hal yang ingin mereka bicarakan. Jadi film dokumenter tidak beda dengan serangga, secara ideologis dia sama dengan serangga. Berbeda dengan film fiksi, mereka burung merak, burung berkicau atau burung beo yang ditugaskan untuk menghibur. Kalau film dokumenter esensinya adalah bertahan hidup, menyerang dan mengingatkan jika ada suatu hal yang salah.
Kalau banyak serangga muncul dalam ekosistem pasti ada sesuatu yang salah. Misalnya karena jumlah predatornya berkurang, ini membuktikan adanya ketidakseimbangan alam. Serangga itu jumlahnya tidak boleh terlalu banyak dan tidak boleh terlalu sedikit. Jika terlalu banyak, menandakan ada masalah. Jika terlalu sedikit juga ada masalah. Posisi yang berimbang itulah yang harus dipegang oleh film dokumenter. Kalau film dokumenter terlalu sedikit maka ada suatu masyarakat yang tidak cukup kritis memandang dunianya. Itu adalah cara pandang saya tentang bagaimana film dokumenter diposisikan pada saat ini. Film dokumenter itu serangga, jadi dia harus jadi penanda. Penanda zaman, ini kita sedang baik-baik saja atau ada sesuatu yang salah.
Ada hal menarik yang pak Agung alami ketika mengerjakan karya untuk FFD 2021?
Secara pribadi, karya yang saya buat untuk FFD itu membuat saya punya ide membuat wayang. Sekarang saya membuat proyek baru yang akan bekerja dengan wayang kulit. Hasil dari saya mendapat commission work dari FFD. Saya selalu menganggap commission work itu sebagai sebuah keuntungan. Karena saya bekerja dalam situasi khusus dengan tema khusus. Kemudian nanti saya refleksikan dengan situasi saya saat ini, sehingga mendapatkan ide untuk membuat karya baru. Serangga yang saya buat untuk FFD membuat saya memiliki karya baru. Karena jika saya tidak menjadi commission artist di FFD saya tidak akan menemukan tema ini.
Apa yang Pak Agung harapkan dari interpretasi khalayak akan karya Bapak untuk FFD 2021 ini? Karena tidak semua orang dapat memahami karya seni dengan mudah.
Untuk melihat karya seni itu sebenarnya dibutuhkan sebuah preferensi. Tapi ketika mereka membaca penjelasan saya, mereka bisa membayangkan ya menjadilah serangga, jadilah makhluk hidup yang tidak cepat mati, serta hanya tidak jadi hiasan. Saya kira itu nilai ideologis dari festival ini.
Bagaimana Pak Agung melihat FFD yang sudah mencapai 20 tahun penyelenggaraan?
Dua puluh tahun festival itu merupakan sebuah prestasi karena tidak banyak yang bisa mencapai itu. Ketika dia mampu bertahan selama itu, mungkin karena FFD tidak berupaya menjadi terlalu besar. Tetap kecil, tetap sederhana, sehingga kemudian cost-nya tidak sebesar untuk membuat festival yang megah. Saya kira itu pencapaian yang luar biasa. Saat ini kita menghadapi situasi yang sulit yaitu pandemi dan tetap berlangsung, ini luar biasa. Saya kira tidak semua festival mampu melakukannya. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir FFD sudah bersifat internasional.
Mungkin saran saya, FFD tidak perlu setiap tahun sekali. Jadi dua tahun sekali, sehingga punya ruang, punya waktu, punya sarana untuk lebih reflektif. Kalau setahun sekali itu berarti, begitu selesai langsung persiapan untuk tahun berikutnya. Sehingga ruang untuk refleksinya tidak cukup banyak.
Bagaimana Pak Agung melihat kehadiran FFD di tengah gairah festival seni (secara umum) di Indonesia (atau Yogyakarta)?
FFD harus membayangkan bagaimana posisinya diantara festival-festival lain di Asia. Kalau kita bicara FFD secara tidak langsung kita tidak hanya membicarakan secara nasional, tapi juga kawasan Asia Tenggara. Kalau kita bicara Indonesia saat ini tidak hanya Indonesia, tapi bagaimana Indonesia berkontestasi di wilayah Asia tenggara. Jika membicarakan FFD di Indonesia, secara tidak langsung kita juga membicarakan FFD di Asia dan di dunia karena FFD memiliki posisi strategis. FFD harus mampu mencari nilai strategis yang tidak bisa diperoleh di festival-festival lain.
Bagaimana Pak Agung melihat keinginan FFD untuk terus menghadirkan/memperkenalkan isu dan diskusi di masyarakat melalui medium dokumenter?
Saya kira medium dokumenter adalah medium yang sederhana ya. Lebih hemat biaya dibandingkan film fiksi yang menghabiskan banyak biaya. Nilai penting dari dokumenter yang harus dijaga, yaitu tetap sederhana. Dulu tahun 90-an ada kamera prototype, kemudian orang mulai merekam apa yang mereka lihat. Nah sekarang dapat dilakukan dengan handphone. Saya kira suatu saat FFD harus mengadakan workshop tentang bagaimana melakukan editing film dokumenter melalui handphone. Pada dasarnya semua orang adalah sineas dokumenter.
Sebagai seniman yang menikmati gelaran FFD, apa harapan Pak Agung untuk FFD ke depannya?
Tetaplah menjadi kecil dan sederhana, karena dengan itu terbukti FFD bisa bertahan selama 20 tahun. Jangan tergoda untuk menjadi besar dan bercahaya, karena itu membuat kita bekerja untuk menyenangkan orang lain dan kehilangan esensi awal. Jangan bekerja untuk menyenangkan orang lain, saya kira tujuan dari kerja kreatif.
Penulis: Dinda Agita