Hardiawan Prayoga adalah arsiparis IVAA (Indonesian Visual Art Archive), yang bertanggung jawab mengelola Arsip IVAA yang komprehensif dan mudah diakses. Ia adalah lulusan studi pascasarjana di Universitas Gadjah Mada program studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa.
Kami berkesempatan mewawancarai Hardiawan Prayoga yang pada tahun ini berperan sebagai narasumber program Lanskap: Indonesia dalam Dokumen, Pemanfaatan Arsip Film Dokumenter. Dalam wawancara ini, Hardiawan Prayoga memaparkan pentingnya pengarsipan karya audiovisual, masa depan arsip film dokumenter Indonesia hingga tanggapannya terkait program diskusi yang diselenggarakan FFD.
Berikut wawancara lengkap kami dengan Hardiawan Prayoga:
Secara umum, bagaimana mas Yoga memandang kerja-kerja pengarsipan di Indonesia? Apa yang sudah baik? Apa yang perlu ditingkatkan?
Pengarsipan di Indonesia yang jelas tidak bisa diseragamkan di dalam satu bentuk ideal sih. Kecuali mungkin dia berangkat dari kepentingan institusi negara. Sementara itu, di wilayah yang lebih komunal lebih komunitas itu pengarsipannya dilakukan dengan ragamnya masing-masing.
Sebenarnya yang perlu dilihat ulang adalah keragaman model pengarsipannya. Saya percaya sebenarnya semua komunitas melakukan kerja pengarsipan dengan caranya masing-masing, dengan konsekuensinya masing-masing.
Indonesia punya ragam model pengarsipan yang coraknya berbeda-beda. Sebagai salah satu sosok yang terjun langsung pada kerja-kerja pengarsipan, menurut mas Yoga, sejauh mana karya audiovisual perlu diarsipkan? Apa pentingnya? Siapa yang harus melakukan?
Itu sebenernya bisa dibilang kalau film sendiri itu sudah arsip ya. Banyak yang meyakini film bagian dari representasi atas kenyataan. Nah, karena ada keyakinan dari itu, seolah-olah kita bisa melihat film juga sebagai arsip sebenarnya. Karena membuat film juga kerja pengarsipan, maka sudah sewajarnya menjadi bagian yang ikut dikelola sebagai arsip. Untuk siapa yang mengelola, sebenarnya semua orang yang berkepentingan, semua pelaku dalam ekosistem perfilman juga perlu melakukan pengarsipan.
Sejauh mana masyarakat umum perlu terlibat dalam pengarsipan karya audiovisual?
Masyarakat umum yang tidak seumum itu. Menurutku yang perlu melakukan kerja pengarsipan secara intens itu ya mungkin yang memang berkepentingan. Siapapun dalam elemen masyarakat yang merasa punya kepentingan untuk menggunakan arsip atau merasa bahwa arsipnya punya potensi digunakan lagi di masa depan, ya dia pasti orang yang melakukan kerja pengarsipan. Tidak didefinisikan dengan yang umum atau yang khusus. Ya ga tau juga sih kategori itu, gimana definisi detailnya. Tapi bagi saya, siapapun yang merasa berkepentingan untuk menganggap bahwa arsip punya sesuatu yang penting jadi bagian dari hidupnya penting untuk melakukan kerja pengarsipan.
Apakah edukasi kepada masyarakat mengenai cara mengakses arsip karya merupakan hal yang penting?
Selama kalau itu arsip yang bagi dia merasa perlu dipublikasikan ya itu harus dipublikasikan. Cuma kan problem-nya tidak semua arsip itu terbuka untuk diakses oleh publik. Jadi sebenarnya soal hak akses itu juga dipegang sepenuhnya oleh pembuat arsipnya atau pemegang kuasa dari arsipnya. Kita sadar bahwa arsip itu penting, tapi di satu sisi juga ada arsip yang kita ga bisa akses.
Kaya info-info tentang ‘65 atau kekerasan yang dilakukan oleh negara, itu kan informasinya tidak semudah itu untuk dibuka. Nah, itu ada situasi yang berbeda soal akses. Dan ketika arsip udah kita publikasikan ke publik, harus dipikirkan juga bagaimana karakter user-nya. Karakter pengguna dari arsipnya, apakah sesuai dengan model pengarsipan yang kita lakukan atau model publikasi arsip yang dilakukan.
Menurut Anda bagaimana masa depan arsip film dokumenter Indonesia?
Kalau film sebenarnya saya kurang begitu menguasai. Tapi kalau bagi saya sih, selama dunia kesenian ini bergerak. Selama masih ada orang bikin film, selama masih ada orang melakukan kerja-kerja kebudayaan dan kesenian ya pengarsipan tetap akan jalan dengan berbagai caranya dengan berbagai macam metodenya. Ya kan kita ga tau ke depannya akan berkembang teknologi yang lebih canggih di bidang internet atau justru kembali ke model-model analog yang membuat orang sengaja membatasi akses.
Tapi kalau sekarang, (saya percaya) ke depannya akan banyak terobosan yang lebih canggih di akses teknologi internet. Cuma yang jadi titik berangkat diskusi panjangnya adalah yang mungkin pas diskusi DocTalk sudah banyak disinggung; bahwa problem hak akses terhadap arsip yang semakin terbuka di masa teknologi ini kan jadi problem yang lain. Mungkin ke depannya pembicaraan selain soal kecanggihan teknologi pengarsipan, juga soal kebijakan dan akses-akses khusus pada arsip tertentu. Tentang hak cipta, hak intelektual gitu. Untuk ke depan mungkin (isu-isu semacam itu) akan lebih banyak dibahas.
Mas Yoga pernah terlibat dalam penyelenggaraan program diskusi FFD di tahun lalu. Dari pandangan mas Yoga, seperti apa sih posisi FFD sebagai pengedar wacana di khalayak, khususnya terkait persoalan sosial politik dan dokumenter? Apa yang kurang? Apa yang perlu dipertahankan?
Saya melihat kadang acara diskusi di acara-acara film itu memang berusaha untuk membicarakan persoalan yang dialami oleh teman-teman yang bergelut di bidang film aja, atau memperluas diskusi (ke ranah) yang lebih luas. Tidak hanya di wilayah untuk orang-orang yang melakukan kegiatan film. Dan ga tau apakah tema-tema yang dibuat di acara-acara diskusi ini memang sesuatu yang dicoba ditingkatkan kualitas diskusinya dari tahun ke tahun. Saya ga tau karena sebenarnya sudah cukup banyak acara yang membikin diskusi di acaranya. Entah yang sifatnya nempel di pemutaran film atau diskusi yang berdiri sendiri.
Tapi apakah kemudian diskusi ini menjadi bagian yang lebih luas dari sekedar obrolan di anak film aja? Apakah itu memang visinya? Saya ga tau. Itu mungkin jelas visi yang dibentuk oleh FFD sendiri. Tapi menurut saya, sebagai publik yang lebih luas yang mungkin mencoba memandang dari luar sepertinya pembicaraan yang tidak hanya melihat film sebagai kepentingan anak-anak film tu bisa coba lebih ditekankan. Karena saya melihat FFD ini festival yang penontonnya lebih umum daripada festival film yang lain. Karena itu, sebenarnya (FFD) memiliki potensi publik yang lebih luas untuk membicarakan isu-isu yang mungkin tidak hanya berputar soal produksi film atau apalah.
Yang perlu dipertahankan ya program diskusinya. Ada satu program yang berusaha jadi bagian dari edukasi publik itu adalah sesuatu yang menarik. Sesuatu yang sangat penting dipertahankan adalah semangat untuk terus menjadi bagian dari obrolan yang berputar di sekitar pembuatan film. Ada upaya untuk terus terlibat dalam diskusi, obrolan atau percakapan di seputar film itu menarik. Itu harus dipertahankan.
Bagaimana pengalaman Anda di FFD yang digelar secara daring saat ini?
Mungkin pengalaman datang ke festival, tapi rasanya ga datang ke festival. Rasanya kaya nonton film di platform daring gitu. Biasanya kalau datang ke festival yang offline itu terasa sekali bahwa saya sedang mendatangi salah satu festival. Meskipun nonton filmnya juga masuk dulu ke websitenya FFD. Tapi saya di sini merasa “oh ini ga kaya datang ke festivalnya”. Malah jadi pengalaman yang asyik kalau saya pribadi. Jadi udah masuk jadi satu dalam satu kesatuan presentasi filmnya. Juga sudah melupakan lagi label branding-nya, sudah lepas dari bayang-bayang itu.
Ini pengalaman menonton yang paling enak, paling luwes dibandingkan yang harus datang. Pengalaman nonton film yang paling santai, karena kita bisa nonton sambil tiduran. Kalau nontonnya ngantuk terus ketiduran kita ga akan terlewat, nanti bisa nonton lagi. Sampai empat hari ke depan. Jadi pengalaman yang baru untuk ke festival. semoga penemuan yang sekarang bisa dipertahankan, meskipun pandeminya sudah selesai.
Penulis: Dinda Agita