Kekerasan merupakan suatu pengalaman yang dirasakan secara personal maupun kolektif. Terdapat beraneka ragam kekerasan di dunia ini. Menurut Galtung (1990), terdapat ‘violence triangle’ untuk membantu mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan. Ketiganya, antara lain: kekerasan langsung, struktural, serta kultural. Kekerasan langsung merupakan kekerasan yang terlihat secara nyata beserta pelakunya. Kekerasan struktural melukai kebutuhan dasar manusia. Dalam kekerasan ini, tidak ada pelaku yang dapat diminta pertanggungjawabannya. Kekerasan kultural merupakan legitimasi akan kekerasan langsung serta struktural secara budaya.
Kekerasan yang dialami seseorang tentunya akan selalu teringat, baik itu kekerasan fisik maupun nonfisik (psikis). Meskipun kekerasan yang dialami tidak terlihat wujudnya (nonfisik), dampaknya tetap terasa sehingga meninggalkan luka yang berbekas pada korbannya. Melalui film, beraneka ragam pengalaman mengenai kekerasan dapat dimaknai, dibagikan, dimaknai kembali, dibagikan kembali, dan begitu seterusnya. Festival Film Dokumenter (FFD) 2019 mengajak Anda untuk turut serta melihat serta memaknai film tentang pengalaman kekerasan melalui program Layar Lebar, Layar Kekerasan.
Layar Lebar, Layar Kekerasan adalah program tiga tahun (2018-2021) yang menjadi bagian dari penelitian Screening Violence: A Transnational Study of the Local Imaginaries of Societies in Transition from Conflict. Program ini dirancang untuk memahami cara manusia dalam memaknai, serta membagikan beraneka ragam pengalaman kekerasan.
Beberapa tokoh yang terlibat dalam penelitian Layar Lebar, Layar Kekerasan, antara lain: FISIPOL UGM (Diah Kusumaningrum), Post Office Cowboys (Pablo Burgos), Universidad Claretiana (Manuel Beltrán), Veto Films (Yacine Helali), Ulster University (Brandon Hamber), El Pampiro Cine (Alejo Moguillansky), University of London (Cecilia Sosa), University of Bristol (Roddy Brett), serta Newcastle University (Guy Austin, Nick Morgan, Philippa Page, Simon Philpott, dan Carolyn Taylor) sebagai koordinator.
Layar Lebar, Layar Kekerasan mengajak komunitas-komunitas film di lima negara: Aljazair, Argentina, Kolombia, Indonesia, dan Inggris (Irlandia Utara) untuk menonton, mendiskusikan, serta melakukan riset seputar aneka pengalaman akan kekerasan yang terefleksikan di dalam film. Di Indonesia rangkaian kegiatan Layar Lebar, Layar Kekerasan melibatkan komunitas-komunitas di Ambon, Bireuen, dan Yogyakarta. Di setiap negara mitra, kelompok dan individu akan menonton serangkaian film tentang konflik di masing-masing negara lain. Setelah pemutaran akan ada kesempatan untuk membahas film, masalah yang dilontarkan akan disesuaikan dengan relevansi pandangan serta pengalaman lokal kita sendiri.
Program Layar Lebar, Layar Kekerasan memanfaatkan film untuk memfasilitasi diskusi mengenai bagaimana suatu individu dan komunitas yang berbeda, muncul membawa kekhasan imajinasi akan pengalaman kekerasan mereka. Pertanyaan besarnya adalah, apakah kekhasan ini juga membatasi bayangan mereka akan cara-cara binadamai? Apa yang bisa dilakukan guna memperkaya imajinasi kolektif kita dalam mentransformasi konflik? Sepanjang FFD 2019 ini, kami mengajak Anda menonton dan mendiskusikan pengalaman kekerasan melalui film dari Aljazair, Kolombia, Malaysia, dan Taiwan untuk menjawab pertanyaan di atas.
Film Lettre á ma sœur (Habiba Djahnine, 2006) ini akan membawa Anda pada pengalaman kekerasan yang dituliskan melalui surat seorang aktivis perempuan, Nabila Djahnine. Nabila Djahnine dibunuh pada 15 Februari 1995 di Tizi-Ouzou. Pada tahun 1994, sebelum kematiannya Nabila Djahnine menulis surat kepada kakaknya, Habiba Djahnine (filmmaker). Surat tersebut berisi tentang represi dan kekerasan yang tengah terjadi, serta perasaan tak berdaya yang menderanya. Timbul berbagai pertanyaan dalam benak Habiba Djahnine karena surat itu. Salah satunya, mengapa pembunuhan menjadi satu-satunya solusi dalam konflik yang memecah Aljazair? Film ini menyajikan jawaban Habiba Djahnine atas surat Nabila.
Tidak jauh berbeda dari film sebelumnya, film Falsos Positivos (Simone Bruno & Dado Carillo, 2009) juga bercerita mengenai pembunuhan. Lebih tepatnya, pembunuhan hingga 3000 warga sipil di Kolombia. Pada 2008, tentara dan polisi Kolombia terlibat dalam skandal, mereka dengan sengaja melakukan penembakan terhadap warga sipil. Warga sipil yang ditembak merupakan warga sipil yang dianggap pemberontak maupun yang dianggap gila dan cacat mental. Penembakan ini dilakukan agar tentara serta polisi diakui sebagai bagian dari keberhasilan negara dalam menumpas pemberontakan. Filmmaker akan membawa Anda untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh keluarga korban demi mencari jawaban atas kematian orang kesayangan mereka.
Berpindah dari pengalaman kekerasan mengenai pembunuhan, film The Tree Remembers (Kek Huat Lau, 2019) mengajak Anda untuk memikirkan ulang kehidupan lintas ras di Malaysia. Diiringi dengan pertanyaan mengenai apa itu ras hingga dari mana asal muasalnya, filmmaker akan menarik Anda untuk kembali mengingat kisah Semenanjung Malaya, kerusuhan rasial pada 1969. Menghadirkan wawancara serta rekaman arsip dari tahun 1960-an, filmmaker mengingatkan penonton akan kebenaran yang buruk. Melalui film ini, filmmaker mendobrak anggapan bahwa mendiskusikan kerusuhan 1969 adalah tabu.
Demokrasi tidak akan pernah berkembang jika tidak ada keterlibatan dari warga negaranya. Film Our Youth in Taiwan (Yue Fu, 2018) mencatat delapan tahun perjalanan aktivis-aktivis muda yang membangkang terhadap penguasa Taiwan dan Cina. Seorang aktivis Taiwan yang berjuang melawan Cina, seorang pelajar Cina yang mencintai Taiwan, seorang pembuat film dokumenter Taiwan yang tertarik pada politik ada dalam film ini. Sebagaimana perjalanan aktivis pada umumnya, gerakan sosial di Taiwan ini penuh gejolak. Anak muda dan politik selalu menjadi perpaduan yang menarik.
Keempat film di atas akan disajikan dalam program Layar Lebar, Layar Kekerasan pada 3-7 Desember 2019 di Taman Budaya Yogyakarta.