Pada tahun 2016, sebuah video viral menampilkan sekelompok siswa SMA Negeri 3 Solo yang melawan sekolahnya sendiri. Dermawan Bakri, ketua OSIS SMA Negeri 3 Solo kala itu bersama teman-temannya menggalang aksi protes. Ada pemotongan dana kegiatan pelajar sebesar 2,5 juta rupiah dari total dana yang turun sebesar 12,5 juta rupiah. Ketika menanyakan ke mana larinya uang 2,5 juta itu kepada wakil kepala sekolah, Derma tidak mendapat jawaban yang memuaskan sampai akhirnya hanya dipotong sebesar 500 ribu rupiah meski tetap tidak menemukan jawaban tentang kemana uang itu dilarikan.
Yang membuat kegeraman Derma dan kawan-kawannya memuncak adalah saat pembacaan anggaran sekolah 2006/2007 yang tertulis pengeluaran kesiswaan mencapai 218 juta rupiah. Padahal, rangkaian kegiatan siswa selama satu tahun ketika dihitung oleh OSIS hanya menghabiskan dana sebesar 45 juta rupiah saja.
Dugaan penyelewengan dana di SMA Negeri 3 Solo bukan hal baru. Generasi sebelum Derma sudah pernah mencoba menggugat, tapi mereka terpaksa mengurungkan niatnya karena mendapat ancaman. Derma dan kawan-kawannya belajar dari kegagalan perlawanan para pendahulunya. Mereka mengadopsi cara-cara baru. Bak operasi klandestin, OSIS pimpinan Derma membentuk tim senyap bernama SOS (Save Our School) beranggotakan siswa lainnya meliputi tim informan, pencari bukti, publikasi, dan media massa. Proses perekrutan anggota tidak sembarangan siswa. Dengan ketat mensyaratkan anggota yang tidak memiliki hubungan keluarga maupun relasi kerja dengan para guru.
Rencana aksi demo besar disusun tanpa terendus guru maupun siswa lainnya yang tidak terlibat. Sampai hari itu tiba. Sejumlah siswa SMA Negeri 3 Solo berdemo dan ditampung di sebuah aula dengan dihadiri para guru-guru mereka. Pelajar menuntut para guru yang berdiri menemui mereka itu untuk melakukan audit keuangan secara transparan. Peristiwa ini mengegerkan dunia pendidikan di Solo ketika itu.
Aksi pelajar SMA Negeri 3 Solo yang terekam dalam video berdurasi 11:46 menit tersebut tidak lain adalah film dokumenter pendek berjudul Sekolah Kami, Hidup Kami (Our School Our Live) besutan Steve Pillar Setiabudi. Meski baru diunggah dan seketika menjadi viral pada tahun 2016, film ini sebenarnya diproduksi tahun 2008. Steve membuat film pendek tersebut untuk merekam kehidupan setelah 10 tahun berakhirnya rezim Orde Baru.
Sikap kritis dan mempertanyakan ulang apa-apa yang ada di sekitar hadir di kalangan pelajar putih abu-abu. Jika aktivisme dan demonstrasi lazimnya lekat dengan mahasiswa, pelajar SMA Negeri 3 Solo membuktikan bahwa tidak perlu menunggu jenjang itu untuk melakukan sesuatu. Dan film dokumenter menjadi medium untuk menyampaikan pesan menjangkau khalayak yang lebih luas.
Kini, peranan pelajar dan anak muda tidak dapat dilihat hanya sebagai konsumen media. Kemajuan teknologi media telah memungkinkan pelajar menempati peranan produsen, distributor, dan sekaligus konsumen. FFD 2019 kembali menghadirkan kompetisi film dokumenter pelajar lewat program SchoolDoc.
Menjadi agenda tahunan sejak 2005, SchoolDoc dirancang untuk meningkatkan kemampuan apresiasi film di kalangan pelajar. Program ini berangkat dari fenomena media yang menjadi sistem pendidikan keempat setelah keluarga, sekolah, dan komunitas (lingkungan). Namun, tuntutan ini tidak lantas diimbangi dengan upaya nyata literasi media. Film, khususnya dokumenter, menjadi salah satu implementasi media yang mampu berperan signifikan dalam memberikan referensi alternatif pendidikan.
Melalui Forum Film Dokumenter, program SchoolDoc dikembangkan dalam wujud lokakarya produksi dokumenter bagi pelajar SMA/sederajat. Tema tahun ini adalah Melacak Akar, Merekam Asal: Potret Diri. Tahun ini program SchoolDoc dimentori oleh Jean Paul Labro dan Lyn Nékorimaté pengajar bidang video, sinema, dan pertunjukan yang sudah malang melintang mengerjakan berbagai proyek terkait. Keduanya membentuk kolektif seni bernama DING.
Selama masa produksi dari tanggal 4 sampai 10 September 2019, SchoolDoc mengikuti perjalanan para pesertanya dalam mempertanyakan kembali apa yang dianggap penting dalam kehidupan mereka serta apa yang mendefinisikan diri mereka: keinginan, cita-cita, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Berangkat dari refleksi tentang keluarga, manifestasi sejarah personal yang membentuk identitas dicari dan diungkap.
Dihasilkan lima karya produksi film dokumenter pendek dari lima pelajar; Janma Dumunung (Thera Karunia, 2019) mengisahkan tentang seorang pemuda yang mencari alasan untuk tidak meninggalkan kota asalnya yang perlahan dipenuhi pendatang dari negeri asing. Teman-teman dari lingkungannya sudah banyak yang memilih untuk pergi. Dalam pencariannya, sang pemuda menemukan alasannya untuk tinggal dari sumber yang tidak terduga. Perjalanan (Nickho Darmawan, 2019) berkisah seorang pemuda yang telah menyelesaikan studinya dan mempertimbangkan pernikahan. Di sebuah kafe, ia menuliskan hidupnya. Ingatan membawanya ke masa lalu, di mana kesedihan dan kebahagiaan telah ia alami.
Sepi (Muhammad Nazim Pradipa Syah, 2019) menampilkan seorang remaja yang merasa kesepian. Keluarganya seakan tidak peduli dengannya. Dalam sebuah kontemplasi, dia menemukan hal-hal yang perlahan mengubah pandangannya terhadap keluarganya. Merelakan adalah Bagian dari Kebahagiaan (Alhanz Sofyan David Alvarobin, 2019) berkisah tentang seorang remaja laki-laki yang merasa kurang diperhatikan oleh keluarganya setelah kelahiran adik laki-lakinya. Ia belum menyadari betapa besar perhatian yang diberikan orangtuanya dan mencoba menuliskan kisahnya. Ketika pada akhirnya ia menyadari hal tersebut, ia menyelesaikan tulisannya.
Sacred Heart (Gyanrahma Indrajid Sofwan, 2019) mempertanyakan soal apakah agama penting jika hanya sebagai formalitas? Pertanyaan ini mengikuti diri. Esensi dari keberadaan entitas yang ilahi adalah agar manusia terhubung dengan hati kudusnya. Namun, seringkali manusia terjebak pada praktik agama sebagai formalitas dan merasakan keterpaksaan ketika menjalankannya. Memang tidak semua orang mengalami hal yang demikian. Meski begitu, penting untuk merefleksikan esensi dari semua ini, agar dapat menjalankannya sesuai dengan hati.
Tidak hanya pemutaran film karya pelajar saja, SchoolDoc menampilkan eksibisi yang berisi rekaman proses dan cerita di balik pembuatan karya sebagai satu kesatuan yang membentuk sebuah bacaan dokumenter bertajuk The Projections of Five. Rekaman proses perjalanan program SchoolDoc 2019 hasil kolaborasi dari Forum Film Dokumenter dengan DING Collective sendiri diberi judul Rekam.SchoolDoc.01, berdurasi 35 menit di mana George C. Ferns sebagai editornya.
Program SchoolDoc: Melacak Akar, Merekam Asal: Potret Diri bisa dinikmati di Lobi Societet Militair, Taman Budaya Yogyakarta dari tanggal 1 sampai 7 Desember 2019.