DOCTALK: Meninjau Pentingnya Kerja Jaringan Produksi Dokumenter Indonesia

— Highlight Program
FFD 2022

Yogyakarta, 18 November 2022 – Memasuki hari kelima perhelatan Festival Film Dokumenter 2022, program DOCTALK disambut peserta yang antusias. Sesi DOCTALK kali ini dipantik oleh Watchdoc serta ADN (Asosiasi Dokumenteris Nusantara) dengan pembahasan seputar kerja jaringan dalam ekosistem film dokumenter di Indonesia. Dimoderatori oleh Vivian Idris (Badan Perfilman Indonesia), diskusi diawali dengan menilik bagaimana dinamika problem yang dihadapi para pembuat film daerah dalam kaitannya dengan kerja jaringan. Fungsi kerja jaringan ini berpengaruh terhadap keberlangsungan ekosistem film yang sepatutnya bersinergi antara daerah dan pusat. 

Peserta diajak untuk lebih dekat dengan Asosiasi Dokumenteris Nusantara (ADN). ADN berfungsi sebagai lembaga yang sah untuk menerbitkan surat, legalitas, serta kerja-kerja yang berkaitan dengan film dokumenter, baik dalam ranah produksi atau kegiatan lainnya. Dalam rangka memaksimalkan fungsi peran tersebut, ADN memilih korda (koordinator daerah) di hampir seluruh wilayah Indonesia agar dapat menjaring individu yang bisa direkomendasikan ke pusat untuk mendapat sertifikasi keanggotaan. Sertifikasi ini dapat menjadi gerbang masuk dunia profesional kerja yang tidak hanya melulu di ranah produksi tetapi pada ranah lain di ekosistem film.

Berbeda dengan ADN, Watchdoc menggunakan jaringan di luar sertifikat profesional. Hal ini berkaitan dengan film-film produksi Watchdoc yang bertujuan untuk mencapai kebebasan berbicara. Karenanya, kerja jaringan yang dipilih adalah dengan cara menjaring jurnalis atau wartawan yang berada di wilayah yang dituju. Dari jejaring itulah mereka dapat memahami kode etik tiap wilayah dan isu-isu yang beredar.

Ketika ditanya mengenai kemungkinan risiko yang terjadi saat produksi dan penayangan film, Watchdoc memaparkan bahwa manajemen risiko dapat dideteksi dengan melihat tema apa yang diangkat. Karena tema film yang diangkat oleh Watchdoc adalah tema advokasi, maka positioning-nya adalah film sebagai media advokasi publik, terkait dengan kebebasan pendapat dan hak asasi manusia.”, tuturnya. Kemungkinan risiko-risiko ini justru lebih besar dihadapi oleh penyelenggara yang akan memutarkan film dari Watchdoc. Risiko penyerangan balik tidak hanya timbul pada para pembuatnya, tetapi juga pada penyelenggara pemutaran. Karenanya, dibutuhkan komunikasi lebih lanjut mengenai kemungkinan konflik yang muncul agar dapat meminimalisir hal yang tidak menyenangkan.

Salah satu peserta diskusi, Arief Akhmad Yani, berpendapat bahwa kerja jaringan dalam ekosistem film berperan sangat vital. Adanya komunitas film daerah menduduki fungsi yang penting dalam jaringan ini. Mengetuai IFCN (Indonesian Film Commision Network),  Arief menceritakan bagaimana IFCN bekerja serta jejaring yang sudah didapatkan dalam beberapa tahun terakhir. Mengingat banyaknya pihak yang ingin melihat daftar komunitas film yang ada pada daerah tersebut, IFCN hadir untuk memberi informasi mengenai jejaring yang terdaftar di IFCN.  “Apabila ada pihak yang membutuhkan rekomendasi komunitas film yang berada di daerah tersebut kami mempunyai daftarnya, sehingga kami hadir dan terhubung dalam jaringan. Pihak yang membutuhkan ini bisa beragam, tidak melulu dari pemerintah, swasta pun juga terlibat dengan kebutuhan yang mereka ingin capai.”, paparnya. 

Diskusi DOCTALK menghadirkan simpulan mengenai pentingnya peran dari seluruh lapisan dalam ekosistem film untuk dapat bersinergi. Terhubungnya kelompok, komunitas, dan praktisi film menjadi pembuka gerbang untuk menghidupkan ekosistem film dokumenter Indonesia.