The Voice of Water (1966), tentang Bagaimana Seharusnya Kita Memandang Air

— Ulasan Film
FFD 2020
Still Film The Voice of The Waters

Sekitar dua menit di awal pemutaran, film ini hanya menyuguhkan pemandangan memuakkan pasang-surutnya air dan banjir di kota. Impresi belum juga muncul dan kita bisa saja jenuh mengamati air yang mengering tanpa berpindah lokasi. Kenapa Haanstra betah dengan pengambilan gambar semacam itu selama bertahun-tahun?

Perasaan muak itulah yang ingin dipancing dalam film The Voice of The Water (Bert Haanstra, 1966). Belanda adalah negara dengan pengelolaan air yang komprehensif untuk melayani kebutuhan masyarakatnya. Banyak inovasi dalam bidang perairan yang diciptakan, seperti proyek-proyek besar bendungan, reklamasi, kincir angin, penataan sistem pembuangan hingga pembentukan badan nasional pengelola air. Meskipun penduduk di sana—khususnya kota Amsterdam dan Rotterdam—tetap memiliki resiko bencana banjir. Dalam film banyak polah masyarakat yang disorot dengan menyisipkan narasi yang disampaikan dengan model bercerita. Hubungan sakral antara manusia dan air seperti diputus begitu saja dengan adanya beragam tingkah polah manusia itu. Amanatnya disampaikan secara implisit. Terkadang itu semua dapat menjadi refleksi kritis tentang cara kita mengelola sumber daya tersebut. Namun, sejarah panjang kedua kota yang dulunya adalah lautan itu sekadar dijadikan pemikat turis. Orang lokal mengulang-ulang cerita tentang cara mereka bertahan hidup di dasar laut.

Still Film The Voice of The Waters

“Mimpi kita dihantui oleh mereka para pendatang,” kata narator.

Masalah-masalah krusial perkotaan seperti halnya polusi air dan banjir berkelindan dengan pendekatan praktis yang dilakukan penduduknya. Mereka semua tahu, air dapat kapan saja menenggelamkan mereka. Dokumenter The Voice of The Water (Bert Haanstra, 1966) ini memberi gambaran yang jelas tentang beberapa sikap apatis manusia. Hidup seperti baik-baik saja. Senada dengan suara narator; diselimuti ilusi masa depan gemilang.

Pada pengantar film, ada narasi di belakang panggung yang seolah mengatakan bahwa air adalah makhluk hidup yang memiliki kehendak. Terkadang air pasang, terkadang surut. Terkadang begitu lembut dan menjadi sumber penghidupan, terkadang bisa begitu ganas dan menjadi sebab kematian. 

Bagaimanapun jika ingin bertahan hidup kita harus bisa berenang. Haanstra membawa ingatan kita mundur ke kolam renang, dalam momen pertama kita belajar menyelam. Memang pengalaman pertama selalu menakutkan. Suara cipratan air terasa sama seramnya dengan gemuruh ombak besar di lautan lepas. Pengalaman ini digambarkan melalui anak-anak yang susah payah mengikuti pelajaran berenang. Sesaat setelahnya film menayangkan gerombolan orang yang terjun ke kolam. Hal ini menunjukkan bahwa suatu hari air pun dapat membuat kita bersenang-senang.

Film ini dirancang dengan apik karena semua elemen masuk secara tumpang tindih tapi tetap mengambil satu fokus. Dari ketakutan-ketakutan saat pertama kali mengenal air beralih pada cara hidup seorang nelayan  mencari penghidupan di danau air tawar.

Penggambaran sebelumnya berjalan begitu lambat hingga menit kesepuluh. Dokumenter ini awalnya datar saja. Sampai akhirnya satu tokoh nelayan ikan belut dihadirkan. Ia diberi porsi banyak untuk bercerita. Pandangan si nelayan tentang air mampu merangkum makna yang ingin disampaikan dari judul film.

Sang nelayan itu paham betul waktu yang baik untuk menangkap belut. Makhluk itu hanya akan muncul mengikuti cahaya bulan. Pagi hari waktu subuh, saat air masih tenang, saat suasananya masih sunyi, ia menemukan kekuatan misterius dari penghuni perairan. Di sana ia menemukan makna hidup. Seperti air mengalir, hidup ini dijalani saja.

“Setiap hari aku menemukan sesuatu yang baru,” tuturnya.

Melalui kisah nelayan dan visual film yang menayangkannya mendayung perahu di antara kabut, seperti ada pesan tersirat. Bahwa air adalah elemen penghubung kembali antara kehidupan materialistik kita dan dunia spiritual. Air adalah makhluk suci penopang kehidupan di bumi.

Tapi lagi-lagi Haanstra pandai membalik antara imajinasi itu dengan kenyataan yang ada. Meski air menyediakan segalanya, alih-alih melihatnya sebagai sesuatu yang berharga, kita justru seringkali tamak dan bertindak konyol hanya untuk bersenang-senang. Beberapa kali Haanstra menyinggung hal itu dalam kata-kata narator yang satir.

Ada perbedaan cara pandang terhadap air yang berulang kali ditunjukkan dalam film The Voice of Water (Bert Haanstra, 1966) ini. Segelintir orang memanfaatkan air sebagai tempat mencari nafkah sekaligus cara hidup. Dan mereka memperlakukannya dengan hormat. Air memberi ikan-ikan gemuk yang melimpah. Setiap hari adalah nikmat hidup yang patut disyukuri.

Di lain sisi penangkapan ikan dan transportasi menjadi sesuatu yang telah dikomersialkan. Seringkali kebijakan pembangunan justru memandang air sebagai komoditas. Wilayah laut maupun danau air tawar menjadi petak keuntungan pribadi yang dijual kepada investor. Tapi air memberi ikan-ikan kecil dan sampah. Setiap hari bagi mereka menjadi nelayan adalah pekerjaan payah yang terus disesali. Mereka bahkan mengeluh; jika dapat kembali pada usia muda tak akan memilih profesi tersebut.  

Sungai tak selalu mampu menampung air yang membludak. Hak atas air bagi semua orang dibatasi seiring dengan perkembangan industri yang juga menyumbang banyak masalah lingkungan dan bencana alam. Misalnya pada awal tahun 1953, ombak es dari laut menghantam pesisir. Bendungan bobol di berbagai tempat dan dataran dibanjiri. Lebih dari 1800 pria, wanita dan anak-anak ditelan arus air yang deras.

Sepertinya air adalah orangtua yang membiarkan anaknya bermain-main sebentar dan kemudian akan marah ketika kesabarannya habis karena anaknya kelewat bandel. Meminjam narasi dalam film, sampah, mayat ikan, baunya tercium sampai ke langit!

Setiap kali menonton karya Bert Haanstra, antusiasme dan kreativitasnya yang unik selalu dapat kita tangkap dengan tepat saat itu juga. Haanstra seperti memiliki perpaduan jiwa kanak-kanak dan dewasa dalam dirinya. Imajinasi dan kenyataan ia tampilkan secara bersamaan hingga menimbulkan gejolak dramatis sekaligus komedi di dalam karyanya.

Film The Voice of Water (Bert Haanstra, 1966) ini menjadi jejak dedikasi karir Haanstra di negaranya. Ia kembali mengupas stereotip tentang Belanda. Ada humor serta emosi yang dihadirkan terkait bagaimana masyarakat di sana hidup berdampingan dengan air. Jika kita adalah penduduk asli, tema itu pasti akan lebih relevan. Tapi secara keseluruhan, film yang masuk dalam program Retrospektif FFD 2020 ini, menunjukkan khas Bert Haanstra yang meninggalkan kesimpulan di masing-masing kepala kita.

Film The Voice of Water (1966) karya Bert Haanstra, dapat disaksikan dalam program Retrospektif. Kamu bisa menonton film ini secara gratis di sini

 

 

Penulis: Dina Tri Wijayanti