Paguruan 4.0 (2019): Cermin Kegagapan Pendidikan di Era 4.0

— Ulasan Film
FFD 2020
Still Film Paguruan 4.0

Bayangkan. Suatu ketika mereka diharuskan untuk berlari. Tetapi mereka hanya bisa jalan terseret-seret karena sandal yang dikenakan putus. Tidak ada pilihan lain selain tetap memakainya atau membeli yang baru.

Mereka adalah para guru di Tabalong, Kalimantan Selatan—serta 60% guru lain di Indonesia—yang harus berlari mengejar ketertinggalan era 4.0. Meski revolusi industri 4.0 telah digaungkan di segala aspek kehidupan masyarakat, banyak dari mereka yang tinggal di pelosok desa masih gagap dengan hadirnya teknologi di keseharian. Di era inilah masa depan ditentukan tidak hanya dari sumber daya manusia, tetapi juga kemajuan teknologi.

Potret bagaimana masyarakat tertatih-tatih menjalani kesehariannya di bidang pendidikan dikemas secara komprehensif dalam film dokumenter Paguruan 4.0 (Abdi Firdaus, 2019) ini. Terlihat di awal film gambar sengaja ditampilkan blur, hanya narasi tentang seluk beluk Revolusi Industri 4.0 yang terdengar mulus. Pemerintah nampak siap menyambut kemajuan tersebut. Konten-konten dipersiapkan sedemikian rupa demi menyokong media pembelajaran yang mengikuti arus digital. Hal ini diikuti dengan Peraturan Menteri Pendidikan (Permendikbud) tentang Standar Proses untuk Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyaratkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Kemudian muncul Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang dikatakan memberi angin segar bagi kelancaran program pendidikan.

Dokumenter garapan Abdy Firdaus dan Lyanta Laras Putri ini membingkai berbagai persoalan baru yang justru muncul di tengah kehadiran teknologi. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang digadang-gadang mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran belum menyentuh permasalahan yang terjadi di masyarakat bawah. 

Permasalahan krusial seperti halnya koneksi internet yang lambat secara langsung ditampilkan di awal pemutaran film. Bahkan suara latar belakang film yang awalnya lancar, dibuat tersendat-sendat. Penggarap film ini mampu mengangkat realita yang benar-benar dialami para tenaga pendidik di Tabalong.

Isu yang diangkat semakin menyentuh pemahaman penonton dengan dihadirkannya Deni Ranoptri sebagai sorotan utama. Sosok inspiratif ini menjadi salah satu guru yang sudah melek dengan teknologi. Namun, hal itu tidak mudah. Sebab banyak guru yang cukup kesulitan untuk beradaptasi dengan perangkat digital yang ada, lebih-lebih guru dengan usia lanjut. Menurut Deni, “Teknologi tidak pernah bisa menggantikan peran guru, tetapi guru yang tak bisa memanfaatkan teknologi akan tergantikan dengannya.” Di sini ditampilkan bagaimana upaya Deni mengenalkan rekan-rekannya dalam memanfaatkan media untuk menyusun materi pembelajaran.

Film Paguruan 4.0 ini dapat dikatakan semacam reportase yang mengikuti gerak setiap tokoh dan peristiwa yang terjadi. Sosok yang juga menjadi perhatian utama adalah Rinawati Sri Juniah, guru SD 3 Kembang Kuning yang juga memegang tanggung jawab perihal administrasi data Dapodik. Dalam lakonnya, kendala selalu dimunculkan. Entah itu keleletan koneksi internet, proses sinkronisasi data yang rumit, hingga fitur-fitur dalam perangkat berbasis digital yang sulit mereka pahami.

Melalui film berdurasi tak lebih dari 22 menit ini dapat dilihat belum matangnya kesiapan para tenaga pendidik terhadap teknologi. Ada ketimpangan di setiap generasi, antara generasi murid, guru maupun orang tua. Film ini mampu menjadi cermin, bahwa untuk berlari mengejar arus revolusi industri perlu kesiapan infrastruktur, kesediaan, dan keterampilan semua pihak yang terlibat di sana. Jangan sampai, mereka dipaksa berlari dengan sandal putus yang belum dibenahi hingga jalan tersandung-sandung.

 

Film Paguruan 4.0 merupakan bagian dari program Lanskap Festival Film Dokumenter (FFD) 2020. Tonton filmnya secara gratis di sini.

 

 

Penulis: Dina Tri Wijayanti