The Human Dutch (1963): Mengamati Orang-Orang di Belanda

— Ulasan Film
FFD 2020

Di balik sambungan gambar yang ritmis pada film The Human Dutch (1963), Bert Haanstra menuturkan kisah orang-orang Belanda yang menikmati harinya dibalik kecemasan mereka akan sesuatu.  

Penghargaan yang diterima The Human Dutch (1963) dari berbagai kompetisi dunia, menandai bahwa film ini hadir sebagai karya penting. Baik secara isu maupun sinematikanya. Tahun 1964 film ini memenangkan empat kategori di Berlin Film Festival ke-14, lalu di tahun berikutnya—1965–menjadinominasi Best Documentary, Features di Academy Awarddan nominasi Flaherty Documentaru Award. Setelah lebih dari 30 tahun, film ini kembali  ditayangkan di Amsterdam International Documentary Film Festival tahun 1997

Rekam jejak pemutaran tersebut menunjukkan bahwa apa yang dikisahkan film ini masih relevan dengan persoalan di masa sekarang. Misalnya saja tentang kasus kematian lansia yang tidak diketahui terhubung dengan asumsi Haanstra pada sikap individualis orang-orang Belanda. Ia melihat bahwa segala bentuk keteraturan dan sikap individualis orang-orang Belanda menjadi bom waktu bagi mereka sendiri. Sebuah masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan kebaharuan teknologi yang diciptakan orang-orang ini.

Persoalan perkembangan teknologi juga menjadi sorotan Haanstra. Di awal film ia mengajak penontonnya untuk terpukau dengan kemajuan teknologi di kota-kota Belanda. Gedung dengan pemancar, pengarsipan yang rapi, rumah warga yang juga layak huni. Namun, segala bentuk kemajuan ini menyimpan luka masa lalu. 

Hastrat menunjukkannya pada peristiwa lelang barang-barang peninggalan penduduk Jerman. Gelak tawa sekelompok orang dibenturkan Haanstra dengan dengan patung Hitler yang hanya diam—namanya juga patung. Treatment ini menunjukkan kejelian Haanstra dalam membangun anomali emosi orang-orang Belanda. Mereka yang terlihat senang sebenarnya menyimpan kenangan yang memilukan.

Kenangan warga tentang perang juga ditampakkannya melalui jukstaposisi gambar, antara pemakaman dengan mayat-mayat. Arsip tentang mayat sengaja difungsikan untuk mengagetkan penonton. Hadir tiba-tiba dalam durasi tidak lebih dari tiga menit. Ini berulang hingga tensi peristiwa cenderung landai.

Setelah tegangan cerita mulai normal, Haanstra kembali lagi menggiring kita untuk mengamati kehidupan orang-orang Belanda. Tentunya kehidupan yang menyenangkan dan menggembirakan. Berjemur, memancing, dan bersorak di pinggir lapangan saat menyaksikan pertandingan sepak bola.

Seluruh aktivitas orang-orang Belanda ini diamati Haanstra dari jarak yang beragam. Terkadang ia bisa hadir sebagai orang ketiga yang sangat jauh dengan subjek. Kadang pula ia menjadi orang kedua yang bisa duduk satu meja dengan subjek.

Haanstra mencoba menceritakan sekelilingnya dari pandangannya sebagai orang Belanda. Ia adalah bagian dari orang-orang yang ia rekam. Walaupun kadang ia mengambil jarak jauh untuk mempertanyakan aktivitas orang-orang ini. 

Film The Human Dutch (1963) karya Bert Haanstra ini dapat disaksikan dalam rangkaian program Retrospektif, kamu bisa menyaksikannya secara gratis di sini.

 

 

Penulis: Annisa Rachmatika