“The traces of life that have passed. Gunpowder that turned into dust. Light that turned into shadow. And cinema that turned into a memory.” (Jejak-jejak kehidupan yang telah berlalu. Bubuk mesiu yang berubah menjadi debu. Cahaya yang menjelma menjadi bayangan. Dan sinema yang beralih menjadi kenangan. ed)
Suatu kenangan tentang orang-orang terdekat yang pergi karena tragedi menjadi rentan hilang. Seolah, terbentuk sebuah ketabuan untuk mengupas luka-luka lama yang jika dibuka tanpa hati-hati, justru hanya akan memperderas darah yang merembes. Atas kerentanan tersebut, film menjadi wadah yang perannya krusial untuk menjadi perantara dialog terhadap kenangan yang sudah lama ingin dikubur dalam-dalam.
The Nights Still Smell of Gunpowder (Inadelso Cossa, 2024) hadir sebagai perantara elegi dari Sutradara Cossa yang bercerita mengenai kunjungannya ke rumah masa kecilnya untuk melakukan wisata masa lalu mengenai Perang Saudara di Mozambik yang berkecamuk pada sekitar 1977-1992. Pada saat perang bereskalasi sampai pada puncaknya, wilayah di sekitar pemukiman desa pun menjadi medan tempur antara kelompok FRELIMO dan tentara pemberontakan RENAMO. Sebidang Machamba (petak tanah untuk menumbuhkan tumbuhan pangan) diranami lahan ranjau darat, rumah-rumah di desa menjadi sarang bersembunyi para pemberontak, dan tak jarang para penghuninya menjadi korban. Satu-satunya tempat aman untuk bisa berlindung adalah bunker bawah tanah kecil yang tertutup lembar baja yang disamarkan dengan semak-semak daun.
Dalam membawa narasi tentang memori kolektif tentang konfilk saudara tersebut, Sutradara Cossa merangkul pendekatan yang menyamarkan dongeng fiksi di dalam cerita-cerita trauma dalam beberapa reka adegan dari orang-orang yang ia temui. Sutradara Cossa juga menceritakan trauma pribadinya dengan melakukan interaksi yang sudah direncanakan dengan rekan operator audionya, Moises Langa. Mereka membahas sekuens serpihan ingatan dari masa lalu yang telah menghantui mereka melalui mimpi buruk. Sutradara Cossa juga bernarasi bahwa trauma dan memori yang begitu membekas dapat menjelma dalam wujud konkret, yaitu sebuah kesunyian dan luka yang tidak akan pernah sembuh.
Sinema menjadi bahasa untuk mengartikulasikan trauma masa kecil sutradara Cossa dalam memantik upaya rekonsiliasi. Dengan menghadapi trauma yang telah lama menghantui melalui kesunyian yang melanda keluarganya di Mozambik, ia menyatukan kembali pecahan-pecahan sejarah tentang kampung halamannya dengan menangkap cahaya dari jejak-jejak orang yang sudah lama pergi akibat konflik berdarah dan berdamai bersama bayangan yang tersisa di masa sekarang. Sutradara Cossa juga banyak berbagi cerita tentang mendiang kakeknya, Inácio, melalui tukar-menukar dialog di malam hari dengan neneknya, Maria, yang menderita Alzheimer, sehingga ingatan tentang mendiang suaminya muncul hanya ketika malam tiba. Melalui Maria yang menyingkap kembali cerita mengenai Inácio, penonton diajak untuk menyimak penyebab sebenarnya kematian suaminya tersebut. Namun, rasanya tanpa disebutkan juga, penyebab kematian itu terpampang jelas terlihat dari gestur dan air muka Maria ketika mendengar nama Inácio.
Di desa masa kecil Sutradara Cossa, para veteran perang saudara dari pihak pemberontak maupun dari pendukung pemerintah pada masa itu juga berkoeksistensi dalam suasana kesunyian. Sutradara Cossa bertemu dengan Macuacua, seorang bekas tentara pemberontakan yang saat ini menghabiskan masa tuanya bersama istrinya, Zalina, beserta anak cucunya. Kekerasan yang dahulu memisahakan Macuacua dan Zalina juga pada akhirnya mengembalikan mereka bersama di masa tuanya. Namun, kekerasan tersebut senantiasa tertinggal sebagai pelengkap dari obat rasa rindu yang sempat menyiksa Zalina ketika ditinggal Macuacua pergi untuk bertempur tanpa kepastian kepulangannya. Di sisi lain, ada juga Elisa yang mengalami kejadian tidak mengenakkan dengan para pemberontak RENAMO yang menyandera dirinya dan keponakannya. Sebuah paradoks di dalam kehidupannya terjadi di masa damai ketika kini Elisa sehari-harinya hidup dalam satu pemukiman dengan Macuacua, eks tentara pemberontakan. Wangi darah itu rasanya tidak bisa dibersihkan begitu saja apabila yang meregang nyawa masih bersemayam dalam duka tanpa penghiburan.
The Nights Still Smell of Gunpowder (2024) menjadi testamen atas resiliensi dari memori kolektif manusia terhadap kejadian di masa lalu dan dampaknya terhadap hidup keseharian. Sebuah imaji serta perasaan tentang segala macam pengalamannya yang bisa diresapi melalui kata-kata, suara, dan medium indrawi yang hadir dalam pola hidup manusia. Atas segala yang berdansa di atas sisa peperangan, semoga semua kehilangan dapat menemukan penebusan. (Gantar Sinaga) (Ed. Vanis)
Detail Film
The Nights Still Smell of Gunpowder (As Noites Ainda Cheiram a Pólvora)
Inadelso Cossa | 92 Min | 2024 | France, Germany, Mozambique, Netherlands, Norway, Portugal
Official Selection for Perspektif
Festival Film Dokumenter 2024
Jadwal Tayang
Nov. 5 | 15:40 WIB | Militaire Societeit, TBY