Rosinha and Other Wild Animals (2023): Menggugat Dosa Nenek Moyang

— Ulasan Film
FFD 2024

Bagaimana kita bisa menebus dosa sejarah yang diwariskan oleh leluhur kita selama masa kolonial? Melalui Rosinha and Other Wild Animals (Marta Pessoa, 2023), Sutradara Pessoa berupaya mengeksplorasi ulang isu rasisme kolonial yang dilakukan oleh bangsa Portugis, tetapi kali ini dari perspektif yang berbeda—perspektif seorang kulit putih, yang dalam narasi film ini menjadi oposisi utama dalam kisah yang ia paparkan.

Meskipun menyematkan frasa binatang liar pada judulnya, film ini justru seolah menanyakan ulang alasan kemunculan–atau keputusan pemilihan–frasa tersebut. Rosinha dan kaumnya, masyarakat Guinea Portugis berkulit hitam yang diperlakukan secara tidak manusiawi, layaknya binatang, oleh kekuasaan kolonial. Pada Portuguese Colonial Exhibition 1934, mereka dipajang sebagai simbol eksotisme dan subordinasi. Sutradara Pessoa mengajak penonton untuk merenungkan bagaimana nenek moyangnya dan bangsa Portugis menggambarkan orang-orang berkulit hitam, khususnya perempuan, yang dalam sejarah direduksi menjadi objek eksotisme.

Penggunaan arsip visual dan dokumentasi dari periode kolonial menjadi alat yang ampuh untuk menghadirkan kembali bayangan masa lalu. Seperti dalam banyak dokumenter kontemporer–yang sering kali tidak hanya mengandalkan fakta dan informasi–film ini mengedepankan ingatan sebagai instrumen penting dalam memahami sejarah yang direproduksi. Melalui arsip yang tersusun rapi, film ini membuat penonton tidak hanya merenung, tetapi juga bertanya: seberapa banyak narasi sejarah yang telah disaring oleh lensa kolonialisme?

Melalui dokumentasi sejarah yang ditampilkan, penonton diajak untuk merasakan kemirisan. Dokumentasi lama tersebut memperlihatkan bagaimana orang kulit hitam mengalami penindasan dan diperlakukan secara diskriminatif oleh orang kulit putih–membuat kita tersadar bahwa masa lalu yang suram ini tidak bisa dilupakan begitu saja. Sutradara Pessoa secara implisit mengajak kaumnya, para kulit putih, untuk merenungkan dan mempertanyakan tindakan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Ia mengkritik bagaimana pandangan kolonial masa lalu telah mereduksi manusia menjadi sesuatu yang bisa dipamerkan dan dieksploitasi. Film ini tidak hanya menawarkan kritik terhadap rasisme struktural, tetapi juga menjadi ajakan introspektif bagi penonton, terutama dari kalangan kulit putih, untuk mengakui dan menghadapi sejarah tersebut dengan lebih sadar.

Sebagai bentuk simbolis dari ajakan refleksi ini, di akhir film, Sutradara Pessoa menghadirkan adegan yang penuh makna: orang kulit putih memakaikan pakaian tradisional Minhotas kepada orang kulit hitam. Adegan ini dapat dilihat sebagai simbol penerimaan, tetapi juga sebagai sindiran tajam bahwa inilah yang seharusnya dilakukan oleh orang kulit putih sejak dulu—mengakui dan menerima kehadiran serta kemanusiaan orang kulit hitam, alih-alih menjadikan mereka objek subordinasi. Adegan ini mengajak penonton untuk merenungkan tanggung jawab moral dalam merekonstruksi narasi sejarah.

Rosinha and Other Wild Animal (2023) memberi kita kesempatan untuk tidak hanya merenung, tetapi juga mempertanyakan sejauh mana kita, sebagai bagian dari masyarakat global, telah belajar dari sejarah kelam yang diwariskan kepada kita. (FadliAwan) (Ed. Vanis)

 

Detail Film
Rosinha and Other Wild Animals (Rosinha e Outros Bichos do Mato)
Marta Pessoa | 101 Min | 2023 | Portugal
Berkompetisi dalam kategori Kompetisi Panjang Internasional
Festival Film Dokumenter 2024

Jadwal Tayang
Nov. 2 | 19:00 WIB | IFI-LIP