Langkah yang diambil dalam media adalah tindakan yang intensional. Pun dalam pemilihan isu dalam film yang dekat dengan masyarakat––dengan resah yang terasa akrab dan purba seperti lagu lama: sejarah. Penayangan film Tour on Mud (Winner Wijaya, 2017), 1880 MASL (Riyan Sigit Wiranto dan Miko Soleh Budiman, 2016), Mentawai Tattoo Revival (Rahung Nasution, 2010), Salmiyah (Harryaldi Kurniawan, 2015) dalam program Lanskap: Terraform telah dilaksanakan di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta pada 4 November 2024 pukul 15.00 WIB. Kendati memiliki tema yang berbeda, keempat film tersebut beririsan dalam upaya para sutradara dan produser untuk menampilkan relasi manusia, alam, dan keterulangan sejarah. Setelah pemutaran selesai, para penonton berkesempatan untuk mengikuti sesi tanya jawab bersama para pembuat film. Telah hadir Harryaldi Kurniawan selaku sutradara dan Wulan Putri selaku produser film Salmiyah (2019).
Bagaimana awal mula film Salmiyah (2019) dibentuk?
(Wulan) Ketika saya sedang mempelajari ilmu sejarah, saya membaca buku yang cukup berkesan, judulnya “Menjinakkan Sang Kuli” oleh Jan Breman. Bukunya bercerita tentang kuli perempuan di Deli. Ada praktik-praktik kolonialisme yang masih langgeng, bahkan ketika sudah ratusan tahun berlalu.
(Harryaldi) Saya berdiskusi dengan Putri, dan saya merasa ada interpretasi sejarah yang rumpang. Muncullah keresahan saya itu dalam bentuk film Salmiyah (2019).
Mengapa Salmiyah (2019) tidak menggunakan arsip sejarah dalam bentuk foto atau dokumen lain dalam produksinya?
(Harryaldi) Ketika kami sedang menjalani proses riset, kami cukup kesulitan dalam mengakses arsip yang berkaitan dengan jalannya cerita. Dari sini kami menangkap adanya sejarah yang “putus-putus,” dan akhirnya disampaikan secara lisan.
Mengapa Salmiyah (2019) diproduksi dalam format warna hitam putih–alih-alih berwarna?
(Harryaldi) Karena kami ingin menetralisasi film ini. Jika tampak berwarna, akan ada warna-warna yang lebih dominan dari warna lainnya. Kalau hitam putih, ‘kan, tidak kelihatan aslinya warna apa.
Apakah pabrik dan gudang rokok lokasi syuting Salmiyah (2019) masih beroperasi dan masih ada pekerja di dalamnya?
(Wulan) Ketika proses produksi tahun 2018, masih ada sejumlah pabrik dan gudang tembakau di Bulu Cina yang beroperasi. Ketika Harry masih kuliah, kami mendapatkan izin untuk riset dan syuting di sana (Gudang Pemeraman Tembakau PTPN2, Desa Bulu Cina). Tembakau punya proses pengolahan yang cukup panjang. Ia harus disortir dan dipilah, sebelum nantinya dikemas. Selain itu, ada anggapan bahwa pekerja perempuan lebih mampu untuk melakukan kerja-kerja tersebut karena dianggap lebih jeli dalam menilai kualitas tembakau.
(Harryaldi) Dalam film, kami menggunakan skenario dan potongan video yang repetitif. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa sejarah terulang dari zaman dulu sampai sekarang.
Apakah Salmiyah merupakan tokoh fiktif?
(Wulan) Salmiyah adalah nama beliau (tokoh yang ditampilkan pada beberapa skenario film). Mak Nyah, panggilannya. Dari sekian banyak pekerja, beliau yang paling punya cerita beragam dan ingatan masa lalu paling jelas––bahkan nama-nama tokoh yang terlibat dalam kisah sejarah. Beliau keturunan kelima dari kuli Deli yang dilayarkan dari Johor ke Sumatera.
(Harryaldi) Kami sempat mengadakan diskusi dengan ibu-ibu pekerja gudang tembakau di sana terkait dengan narasumber paling cocok, jawabannya adalah Mak Nyak. Kami juga mewawancarai beberapa pekerja, ngobrol, dan Mak Nyak memiliki ingatan yang kuat.
Apakah Putri dan Harry sempat kembali ke Deli untuk bertemu narasumber?
(Harryaldi) Ketika kami kembali untuk menyambangi, alih-alih ngomongin hasil produksi, Mak Nyak malah kangen sama kami. Beliau kasih cerita-cerita baru. Terutama (kangen) kepada Putri.
(Wulan) Iya. Saya mau nunjukin filmnya bagaimana, tapi kata Mak Nyak yang paling penting adalah dia sudah ketemu “anak”-nya (Wulan dan Harry).
Dalam film, sempat disinggung mengenai film Bumi Manusia (Hanung Bramantyo, 2019). Siapa sebenarnya target audiens dari film Salmiyah (2019)?
(Wulan) Kami ingin bicara tentang hari ini melalui peristiwa masa lalu–praktik eksploitasi yang terjadi di pabrik pada zaman dulu masih terjadi di masa kini. Dalam film ini, kami mengupayakan untuk bisa “berinteraksi” dengan berbagai audiens melalui pertanyaan yang dilempar di dalam film. Ketika 2019 akhir kami menyiapkan distribusi film, ternyata Bumi Manusia juga sedang dalam proses distribusi.
(Harryaldi) Apa yang ada di dalam film kami tidak dilepaskan konteksnya dari Deli. Lebih baik bagi kita untuk membaca ulang peristiwa (pendudukan kolonial) yang ada di Deli ketimbang untuk mendramatisasi peristiwa tersebut.
Mengapa film ini dinarasikan oleh Wulan Putri–alih-alih oleh pelaku sejarah itu sendiri?
(Harryaldi) Film ini dibangun atas rasa keragu-raguan kami atas narasi sejarah yang beredar dan kami konsumsi. Kami memetakan isu-isu yang ada dan memutuskan untuk menggunakan gaya narasi.
(Wulan) Waktu itu, kami tertarik dengan salah satu tulisan Gayatri Spivak–dan kami mengambil kesimpulan bahwa pada akhirnya, kita mewakili orang-orang yang bisa kita wakili. Harapannya, eksperimen kami ini dapat menjadi sebuah autokritik terhadap kami.
Sentilan narator dalam film Salmiyah (2019) masih dapat dirasakan pengunjung Festival Film Dokumenter 2024 di Militaire Societeit Taman Budaya Yogyakarta pada 9 November 2024 pukul 15.00 dalam Program Lanskap: Terraform.
Diliput oleh Tuffahati Athallah pada 4 November 2024. (Ed. Vanis)