Review Film: The Vanity Tables of Douglas Sirk

— Ulasan Film
FFD 2017
FFD 2017

Cermin, menjadi ruang yang menunjukkan persona perempuan dalam berbagai situasi. Gelaran tersebut dihadirkan Mark Rappaport pada The Vanity Table of Douglas Sirk (Mark Rappaport, 2014). Potongan adegan dari film-film Douglas Sirk,  dijahit dengan tuturan dari Rappaport sendiri. Lewat narasi ini, Rappaport menjelaskan hubungan antara meja rias dengan beragam properti yang mengelilingi.

Bagi Rappaport, cermin menjadi ruang paradoks yang mempertemukan perempuan dengan situasi diluar realitasnya. Situasi yang sebenarnya tidak nyata dan tidak dapat dipahami oleh perempuan sendiri. Hal ini yang menurut Rappaport, menjadi dasar dari penyebutan meja rias sebagai meja yang penuh dengan kesombongan. Dan perempuan yang berada di depan meja tersebut akan mendapatkan hukuman atas kesombongannya itu.

Analisis Rappaport secara terminologis ini, seolah mengantarkan penonton untuk melihat beragam hukuman perempuan yang menghadap vanity table. Seperti ketika, Cary Scoot (Jane Wyman) sedang berlama-lama memandang wajahnya di depan meja rias pada film All That Heaven Allows ( Douglas Sirk: 1955).

Cary, janda dua anak yang bimbang tentang kondisi dirinya yang jatuh cinta dengan Ron Kirby (Rock Hudson). Sosok Cary dibaca Rappaport sebagai tokoh yang terperangkap pada persona dirinya sendiri di dalam cermin. Cary mengetahui kondisinya yang sedang jatuh cinta kepada Ron Kirby, seorang tukang kebun muda yang memberinya daun emas, melalui bayangan dalam cermin. Namun, ketika anak Cary mengetuk pintu, dirinya tersadar bahwa yang dilihatnya adalah bayangan. Bukan kenyataan yang diinginkannya. Hal tersebut terus berulang, baik ketika Cary memainkan piano dan mendapat hadiah televisi sebagai hadiah natal.

The Vanity Tables of Douglas Sirk, menunjukkan bagaimana Cary dan beberapa perempuan lain dipenjarakan oleh Cermin. Rappaport menjelaskan bagaimana seluruh hal yang dilihat dalam cermin menjadi bayang-bayang mereka soal situasi yang dihadapi. Baik keinginan mereka, kondisi diri yang tertolak, dan hubungan mereka dengan kehidupan sosial yang melingkupinya.

Pada Imitation of life (Douglas Sirk, 1959), cermin menjadi daerah pelarian realitas. Cermin disini menjadi aktif, ketika seorang anak dari keturunan kulit hitam menolak kehadiran ibunya, dan keadaan dirinya, sebagai seorang keturunan orang kulit hitam. Rappaport menegaskan tafsirannya ini, lewat pembekuan frame pada gambar yang cermin yang memantulkan bayangan ibu dan anak kulit hitam sekaligus.

Lewat film Kirk lainnya, Rappaport menemukan bagaimana cermin pada vanity table memiliki fungsi yang berbeda dengan cermin yang kerap di gunakan oleh laki-laki. Cermin bagi seorang laki-laki disebut mirror, tidak memiliki hubungan dengan vanity table. Laki-laki menggunakan cermin sebagai wilayah untuk mempersiapkan diri. Sedangkan perempuan tidak.

Cermin dalam meja rias menunjukkan kompleksitas pada  perempuan. Di bagian akhir, Rappaport menghadirkan kesimpulannya. Cermin bagi perempuan menjadi ruang untuk melihat dirinya sendiri. Tampil sebagai pribadi yang kuat dalam dunia yang lain.

Kamis, 14 Desember 2017 | Auditorium IFI-LIP | 13:00