Wawancara bersama Ronny Agustinus, Juri Kompetisi Kategori Panjang

— Interview
FFD 2017
FFD 2017

Di tahun 2017, Ronny Agustinus terlibat kembali sebagai Juri Kompetisi Film Dokumenter panjang, setelah sebelumnya pernah menjuri di FFD 2015. Kejeliannya dalam melihat fenomena sosial didukung dengan keterlibatannya sebagai juri pada berbagai festival dan kecintannya pada film membuat Ronny peka pada ragam dokumenter di  10 tahun terakhir.

Berikut wawancara kami, Tim Newsletter FFD-2017, dengan pemimpin redaksi Marjin Kiri.

Bagaimana awal mula ketertarikan anda pada film, dan keterlibatan anda sebagai juri maupun pengamat film?

R: Ketertarikan saya pada film, awalnya dari pertemanan, dalam arti saya kuliah di IKJ seni Rupa dan kawan-kawan saya dan banyak senior saya yang menyukai film. Kami nonton bareng dan sebagainya. Sebagaian kawan saya tersebut mendirikan forum lenteng yang menjadi penyelenggara Arkipel festival film eksperimental di Jakarta dan website jurnal footage, jurnal yang khusus tentang film. Saya ikut serta di situ meskipun saya bukan praktisi, dalam arti saya tidak pernah memproduksi atau membikin film sendiri.

Bagaimana perkembangan film dokumenter dalam 10 tahun terakhir?

R: Oke, saya tidak bisa bilang punya pengetahuan yang sangat komprehensif tentang itu (dokumenter), tapi dari apa yang saya tonton di festival-festival, ketika diminta menjadi juri atau hanya menonton saja, dan di beberapa TV, ya saya pikir, ada perkembangan baru yang dihadirkan teknologi pada ragam dokumenter. Dan teknologi tersebut belum semuanya dipake secara baik saya kira. Namun, ada upaya kesana [menjadi lebih baik] saya pikir

Beberapa film dokumenter sangat bagus saya kira,  seperti Nokas, Negeri Di bawah Kabut, atau Tanah Mama. Ya itu bisa dibilang dalam sisi storytelling yang cukup konvensional. Sementara ada beberapa lain yang mencoba keluar dari situ [story telling konvensional] dengan cara bercerita yang tidak biasa, serta pendalaman medium yang tidak konvensional.

Saya pikir saat ini memang saat yang krusial untuk memilkirkan lagi apa art film dokumenter bagi para pelakunya, ataupun bagi audience. Karena kemudahan tekhnologi membuat semua orang bisa membuat dokumenter sehari-hari di jalan dengan merekam pakai HP dan lain sebagainya. Dan beberapa rekaman yang diviralkan kemudian di sosial media, saya pikir mendapat pemirsa yang jauh-jauh lebih banyak dari pada apa yang umumnya kita sebut sebagai film dokumenter yang hanya diputar di festival, bioskop dan lain sebagainya.

Menurut Anda, bagaimana keragaman topik dalam dokumenter saat ini? apakah terdapat topik-topik yang menarik, namun belum banyak disorot oleh banyak pembuat film?

R: Kalau kita bicara Indonesia, kita bisa golongkan topik-topik itu umumnya berkisah tema sosial, atau berkisah tentang tokoh atau suatu fenomena. Itu secara umum. Tapi, tema sosial bisa kita bagi-bagi lagi, misalnya tentang perempuan atau tentang kemiskinan yang paling umum atau bencana.

Secara khusus, akibat sejarah Indonesia para pembuat film memiliki ketertarikan khusus pada permasalaan seputar 65, banyak sekali dokumenter tentang ini. Baik sisi korban maupun sebagainya. Namun, umumnya korban si ya, yang pelaku saya pikir cuman Oppenhaimer (Sutradara Senyap dan Jagal).

Saya pikir banyak hal yang belum pernah diangkat. Dalam arti “masa si persoalan sosial kita itu itu aja”.

Tapi memang untuk keluar dari pakem-pakem kadang memang sulit. Karena membutuhkan keterlibatan si sutradaranya dalam satu isu, atau berpikir keluar dari lazimya untuk mengamati keadaan. Saya pikir film soal desabilitas masih sedikit, dan Karya Wahyu Utami yang tentang itu menarik. Dan dalam rapat juri panjang, yang film Rumania itu juga sangat menarik. Temanya bagaimana lelaki memandang body image-nya sendiri itu sesutu yang cukup jarang dieksplore dimanapun. Meski ada dokumenter Indonesia, tentang tempat fitnes yang dibikin seadanya di kampung. Tapi secara khusus tidak bicara soal pria memandang body image-nya.

Bagaimana, pendapat anda mengenai keterkaitan post-truth dengan dokumenter sebagai sebuah medium yang mengetengahkan fenomena dari persepsi pembuat?

R: Tema Post-truth menurut saya sangat menarik dan sebenarnya saya berharap lebih banyak film yang bersangkutan dengan tema ini diputar selama ini. Karena tema ini benar-benar urgen untuk kita dalami sekarang, karena kemajuan teknologi memungkinkan manipulasi film yang belum ada presedennya dan itu bisa sangat mengelabui mata tentang mana yang benar atau tidak, dan dokumenter punya peran yang besar disitu.

Dalam arti begini, saya sehari-harinya seorang penerbit. Saya selalu menyamakan dokumenter dengan karya nun-fiksi. Di jaman sekarang ada beberapa karya non fiksi yang sangat perlu dipertanyakan “apakah itu benar karya non fiksi?” meskipun dia mengutip katanya data riset dan sebagainya. Tapi bisa dibilang itu pseudosience. Seperti bumi datar dan lain sebagainya. Itu dipasarkan dengan non-fiksi. Dan di era post-truth itu menjadi rujukan dan akhirnya kebenaran baru.

Nah, saya pikir dokumenter sedang dalam pertarungan seperti itu. Ya seperti dalam kasus-kasus yang dipertikaikan. Misalnya mereka yang pro dengan industri tembakau dan mereka yang kontra. Saya tahu Djarum pernah membikin dokumenter yang diputar di Metro TV, tentang dampak pengekangan terhadap rokok dan buruh-buruhnya. Sementara Human Right Watch, belum lama membuat dokumenter tentang bagaimana industri tembakau Indonesia mengeksploitasi buruh anak dan lain sebagainya.

Dari kedua pihak saya pikir ada ketidakjujurannya, atau ada pengelabuannya dalam menangkap suatu isu. Misalnya soal buruh anak. Pandangan sangat baratlah yang memandang anak harus sekolah dari pukul 8 sampai sore. Sementara di kehidupan pedasaan kita, anak ikut bekerja di ladang itu bukan buruh, tapi bagian dari proses bermain dan belajar mereka.

Dalam situasi ketika orang meraba raba mana informasi yang benar dan tidak. Dokumenter berperan dalam membentuk pandangan seseorang tentang suatu isu.

Bagaimana dampak festival seperti FFD pada iklim dokumenter, menurut Anda?    

R: Saya mengamati FFD sendiri dari setidaknya tahun-tahun yang saya pernah ikuti, Itupun terjadi pergerseran ya sekarang. Tahun ini jauh dari tahun ketika saya jadi juri (di tahun 2015). Pilihan-pilihan film oleh kuratornya sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Saya pikir itupun akan mempengaruhi generasi seseudahnya.

Saya pikir, apa yang ikut sekarang sedikit banyak dipengaruhi oleh apa yang dipandang baik sebelumnya, dan apa yang diyakini baik sekarang akan mempengahi secara estetik generasi penonton yang ingin jadi filmmaker berikutnya. Kalau tahun ini, perubahan itu tampak pada pengolahan mediumnya sendiri, beberapa tahun lalu saya pikir film-film yang masuk masi isu waves atau isu center, dimana isunya yang lebih menonjol. Sementara,  tahun ini sekarang lebih komprehensif melihatnya bagaimana isu itu disuarakan. Sebagaimana medium dimainkan untuk menyampaikan isu itu. Jadi lebih kompleks sekarang.

Bagaimana anda menentukan kriteria nilai dari dokumenter ?

R: Yang pertama, seperti semua karya seni atau film lain. Satu harus ada dampaknya ke penonton. Dampak itu bisa macem-macem. Tapi yang pasti itu berdampak dan menimbulkan pemikiran baru tentang apa yang dilihat. Kedua tentu saja sebagai dokumenter ada info-info baru terutama info yang belum pernah diketahui. Info ini bisa berupa fakta bersifat faktual atau bagaimana respon subjek-subjek atau manusia-manusia yang tergambar di situ terhadap fakta atau kejadian itu.

Saya pikir itu merupakan syarat dokumenter yang baik. Namun, bagaimana itu dikemas melalui teknik dan gaya tersendiri tentunya ada penilaian sendiri.

Kalau soal penonton, aku pikir di mana pun bukan hanya di Indonesia, sesuatu yang serius sesuatu yang baik memang kurang diminati dari pada yang menghibur. Kalau mengejar  penonton mungkin bisa dipakai formula untuk membuat karya yang menghibur. Tapi kalau mau mengejar kualitas ya nilai-nilai itu yang akan dikejar.

Ya kita butuh penonton jelas, tapi di manapun dokumenter akan tetap susah mendapat penonton daripada karya-karya komersil.

Adakah testimoni untuk FFD?

R: Ya seperti yang saya bilang tadi, tahun ini banyak kejutan untuk saya yang sempat ikut serta dalam beberapa FFD. Begitu banyak perubahan yang saya pikir baik untuk memperluas cakrawala tentang dokumenter itu sendiri. Saya kira bisa dipertahankan untuk tahun-tahun mendatang.