Bagi Vivian Idris, durasi menjadi hal penting yang perlu diperhatikan ketika membuat film dokumenter pendek. Pembuat film harus cermat untuk mengembangkan cerita pada durasi yang terbatas tersebut. Festival Film Dokumenter tahun 2017 mengundang Vivian Idris sebagai juri Kompetisi Film Dokumenter Pendek.
Tim Newsletter FFD 2017, berkesempatan untuk mewawancarai salah satu pembuat film perempuan di Indonesia.
Bisa diceritakan mbak, bagaimana awal mula Anda tertarik dengan film hingga terlibat sebagai juri di beberapa festival?
V: Sekitar tahun 2006 atau 2007 ketika saya bersama Nia dinata dan teman-teman yang lain membuat Kalyana Shira foundation, Kalyana Shira foundation adalah rumah produksi yang fokus pada film-film dokumenter khususnya bertemakan perempuan. Nah dari situ, kemudian setelah memproduksi beberapa film, saya mulai diundang menjadi juri untuk beberapa festival film. akhirnya dari situ bergulir, lumayan banyaklah, festival film di indonesia ini yang dimana saya berkesempatan menjadi juri. Di FFI pernah,FFD beberapa kali, Eagle, Festival Film Surabaya, Festival Film Edukasi yang dibikin pemerintah, Festival Film anti-korupsi, dan 21-short film festival.
Bagaimana perkembangan ragam film dokumenter dalam 10 tahun terakhir? Apa yang mempengaruhi perkembangan tersebut?
V: Menurut saya film dokumenter di Indonesia berkembang dengan cukup pesat dan kaya. Karena saya pembuat film dokumenter juga, jadi saya melihat Indonesia punya sumber yang kaya sekali. Punya materi yang kaya sekali untuk dokumenter, dari berbagai macam hal atau topik, mulai budaya, kemudian sosial, ekonomi, dan politik.
Kita juga melihat dengan makin demokratisnya teknologi, dan informasi tentang filmmaking yang bisa didapatkan dimana-mana, cukup banyak dan tanpa halangan, punya pengaruh pada semakin banyaknya pembuat film dokumenter yang lahir dan juga mendorong pembuat film yang sudah-sudah jadi makin produktif.
Saya pikir barriernya semakin kecil untuk membuat film saat ini. Tapi juga ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat film dokumenter. Terutama, saya ngeliat biasanya permasalahannya itu ada pada riset. itu kelihatan sekali kalau risetnya kurang apa enggak.
Kemudian bagaimana mengemas cerita. Banyak cerita-cerita yang tidak selesai atau mungkin pembuat film tidak sabar menunggu sampai unfold dan sampai titik akhir atau titik penyelesaian.
Untuk contohnya atau reference sudah banyak banget, dari mulai yang cukup senior, filmmaker luar ataupun dalam negeri, dan formatnya atau storytellingnya sudah sangat beragam. Sudah ngga kalahlah sama dokumenteri di luar negeri. Cuman juga, menurut saya cukup banyak lah tema atau topik yang bisa dan belum digarap.
Menurut Anda, topik apa yang sebenarnya menarik diangkat di jaman ini, namun belum banyak mendapat sorotan dari para pembuat film?
V: Tema yang menarik banyak ya, kalo preverensi saya pribadi saya melihat tema-tema budaya dan kearifan lokal sebenernya jarang sekali ya digarap. Mungkin dua tau tiga tahun belakangan ini orang mulai melirik tema budaya atau kearifan lokal.
Saya enggak ngerti kenapa orang tidak terlalu tertarik menangkap ini. Mungkin, karena tema-tema ini tidak menampakkan konflik yang cukup nyata, tapi sebenernya konflik itu ngga harus selalu nonjok-kan.
Salah satu kekayaan indonesia menurut saya itu [budaya dan kearifan lokal tiap daerah]. Menurut saya budaya dan kearifan lokal yang di tiap-tiap wilayah dari sabang sampai merauke kita kaya banget. Mungkin kalau kita mau teliti atau perhatikan one live time aja enggak cukup. Bagaimana kekhasan di tiap daerah, atau kehidupan sosial politik ekonomi di tiap daerah menarik sekali untuk diamati. Malah, saya ngeliatnya itu justru keluar di film-film fiksi seperti filmnya BW Purbanegara dengan Ziarah itu kan stylenya documentary sekali ya, lalu ada Turah dan Siti. Pendekatan penceritaan yang sangat realistis, tapi itu kisah-kisah yang kita lihat atau kita alami di keseharian kemudian dikemas dengan sangat menarik. Saya pikir pembuat film dokumenter juga penting melirik hal-hal yang berawal dari isu-isu lokal. Harus bisa melihat kearah situ juga. Karena banyak sekali yang bisa di eksplore dari isu-isu lokal. Yang menurut saya dari sekian banyak pembuat film di Indonesia hal tersebut belum banyak di eksplore.
Biasanya, kendala apa yang sering ditemui dalam pembuat film dokumenter pendek?
V: Saya melihat kesulian untuk film pendek dokumenter, kebanyakan mengemas satu cerita yang utuh dengan durasi yang pendek ya. Itu problem saya pikir tidak cuman di dokumenter tapi juga di fiksi ya. Artinya, mendapatkan cerita yang lengkap dari awal, tengah sampai akhir mungkin dalam waktu yang terbatas atau cukup singkat itu cukup sulit. Sehingga kebanyakan film khususnya dokumenter, footagenya masih terlihat seperti footage riset, belum selesai, jadi ceritanya belum ketemu atau maalah bingung bagaimana menajamkan cerita.
Mungkin, saya enggak tahu juga ya, tapi salah satu kendalanya ketika kita memilih fokus itu harus tajam bener. Karena durasi yang pendek berarti cerita juga harus bisa unfold, berkembang dengan durasi yang cukup, durasi yang tidak terlalu panjang.
Sedangkan kalau di dokumenter panjang, kesuliatan biasanya, termasuk yang saya alami sendiri, kita malah terlalu banyak punya stok footage. Karena sekarang pake digital ya sehingga film itu ngga masalah lagi. Kita bisa ngambil footage sebanyak banyaknya. Nah footage yang terlalu banyak itu ya kadang-kadang menjadi godaan. Film kita jadi engga tight jadinya sayang untuk nge-cut. Karena kita mikir, udah ngambil susah-susah dan segala macam, jadi susah untuk menentukan fokuskan.
Saya rasa itu bisa di atasi dengan planing, storyline yang lebih mateng. Tentunya karena dokumenter harus punya ruang-ruang untuk mengakomodir perubahan yang terjadi di lapangan. Saya pikir itu ya yang signifikan pada dokumenter pendek dan panjang.
Menurut Anda, hal-hal apa saja yang mempengaruhi ketertarikan penonton pada film dokumenter?
Pertama ceritanya tetap harus menarik. Karena film itu bagaimanapun juga adalah cerita yang disampaikan melalui audio visual. Cara penyampaiannya harus menarik, storytellingnya harus menarik dan harus bisa ditangkap oleh si penonton. Isu juga menjadi faktor yang cukup menentukanlah. Apa si topiknya apa si temanya. Kemudian segi teknis tentu saja. Meskipun banyak orang yang bilang kalo dokumenter, biasanya orang lebih memaafkan segi teknis.
Tapi sekarang saya pikir, kita tidak bisa bilang gitu lagi ya. Karena dulu mungkin, ragam, style, eksprosure, atau informasi yang didapatkan orang tidak terlalu banyak, tapi sekarang udah abad internet dan informasi sudah begitu banyak ya. Documentary filmmaker sudah bisa mengejar hal-hal teknis seperti visual dan audio, ngga boleh kurang juga si.
Adakah testimoni untuk FFD?
Untuk FFD tahun ini, saya menjuri di short documentary FFD 2017 sebenarnya saya berharap lebih banyak film atau style yang berbeda di dalam film yang masuk dikompetisi ini. ada enam film yang dikompetisikan untuk kategori ini. tidak terlalu banyak film yang bertema berbeda. tapi ada satu dua yang menonjol. Harapan saya tahun-tahun kedepan mungkin lebih banyak filmmaker documentary Indonesia yang memasukkan filmnya. Atau mungkin informasinya disebarluaskan lebih jauh ke pelosok daerah. Karena saya pikir banyak sekali di daerah documentary filmmaker yang potensial dan juga derah itu punya konten yang sangat menarik yang kita belum tahu disini. Kita belum banyak tahu dan menjadi sesuatu yang segar, sesuatu yang baru dalam hal cerita ataupun bertutur, karena bertutur dipengaruhi oleh kultur setempat.