Diskusi mengenai topik “Post-Truth” yang diangkat Festival Film Dokumenter sebagai tema besar program Perspektif tahun ini telah digelar (12/12) lalu. Diskusi dibuka oleh Sazkia Noor Anggraini selaku Manajer Festival FFD 2017. Diskusi kemudian melibatkan tiga narasumber; Roy Thaniago (Peneliti Remotivi), Gilang B. Santoso (Sutradara AWAL: Nasib Manusia), dan Agus Darmawan (Sutradara The Red Barred) dengan dimoderatori oleh Irfan R. Darajat (Peneliti LARAS).
Berangkat dari tema Post-Truth, Festival Film Dokumenter kemudian memilih tiga film yang dijadikan dasar materi diskusi perspektif ini; AWAL: Nasib Manusia (Gilang B. Santoso, 2017), Pantja Sila: Cita-Cita dan Realita (Tino Saroengallo & Tyo Pakusadewo, 2016), dan The Red Barred (Agus Darmawan & Sakti Parantean, 2017). Tiap film dinilai memiliki latar belakang cerita yang dapat menggambarkan keadaan sosial-politik indonesia dalam konteks post-truth.
Diskusi diawali dengan pemutaran film AWAL: Nasib Manusia yang berkisah mengenai potret seorang siswa yang dikirim ke Rusia pada masa pemerintahan Soekarno untuk menempuh studi pendidikan film. Namun, ia tidak bisa kembali lagi ke Indonesia pasca 65’ karena stigma dan label komunis yang ditempelkan padanya. Film ini menggambarkan bagaimana sebuah stigma kemudian mengubah kehidupan seseorang dan membuat dirinya merasa dibuang oleh bangsa sendiri. Sebuah penilaian tanpa dasar fakta yang jelas yang kemudian dihubungkan pada bagaimana sebuah film dianggap sebagai penggambaran terhadap fenomena “Post-Truth” dalam diskusi yang dilakukan setelah pemutaran.

Dibuka dengan penjelasan oleh Roy Thaniago mengenai konteks Post-Truth sebagai sebuah fenomena kebenaran, Diskusi yang mengangkat topik Dokumenter di Era Post-Truth ini berputar pada pembahasan bagaimana Post-Truth dan kebenaran dinilai melalui film dokumenter. Post-Truth sebagai sebuah term baru dalam melihat kebenaran menjadi sebuah kajian menarik karena latar belakangnya, di mana kebenaran dalam Post-Truth terkait dengan kekuasaan dominan.
Sepanjang Diskusi digelar, Roy Thaniago secara rinci menjelaskan bagaimana istilah Post-Truth tiba-tiba terkenal hingga dijadikan sebagai 2016 Word of The Year oleh Oxford Dictionary. Dari kejadian pemilu Amerika serikat yang melibatkan pemberitaan tentang Trump hingga peristiwa yang lebih lokal seperti gerakan 212 dan Pemilu DKI Jakarta. Dia juga menjelaskan Post-Truth melalui perspektif komunikasi mengenai bagaimana Post-Truth terbentuk sebagai fenomena media yang diawali dengan perkembangan Internet dan media sosial.
“Kehadiran Internet kemudian membuka peluang baru di mana orang bisa memproduksi informasi yang dulu hanya dipegang oleh sekelompok otoritas. Internet membuka kemungkinan bahwa siapapun bisa mensirkulasikan gagasannya dalam percakapan publik. Hal ini berhubungan dengan gejala echo chamber effect, ruang gema dimana informasi hanya berputar di satu tempat saling menguatkan dan saling menebalkan,” jelas Roy.

Dalam konteks dokumenter, Post-Truth yang berbicara mengenai kebenaran dianggap sebagai bagaimana dokumenter bekerja dan apa yang sebenarnya dikerjakan di dokumenter. Apakah sedang menampilkan kebenaran? Sedangkan dokumenter menghadirkan realita, bukan kebenaran karena kebenaran masih dianggap sebagai hal utopis yang bergantung pada kebenaran versi apa yang sedang dibicarakan.
Kebenaran dalam dokumenter ini kemudian dipaparkan oleh Gilang B. Santoso selaku sutradara dari film AWAL: Nasib Manusia. Dirinya mengakui bahwa film ini merupakan prosen pencarian kebenaran itu sendiri. Film AWAL: Nasib Manusia menjadi sebuah pertanyaan dari perasaan tidak terpuaskan dari dirinya atas opini yang terbentuk dalam publik. Melalui penggambaran stigma komunis yang disematkan kepada tokoh utama.
Diskusi berjalan aktif dengan banyak pertanyaan mengenai kebenaran itu sendiri dan bagaimana posisi dokumenter dalam menyikapi Post-Truth ini. Kesimpulan yang didapatkan dari diskusi adalah bagaimana Dokumenter adalah sebuah klaim realitas, bukan kebenaran. Dokumenter juga tidak menampilkan realitas yang sebenaranya, namun representasi dari realitas itu sendiri, apa yang dipilih, apa yang dipotret, dan apa yang ingin dikuatkan.