Wawancara bersama Hore Besok Libur, Tim di balik Film ‘Ojek Lusi’

— Interview
FFD 2017
FFD 2017

Ojek Lusi (Tour on Mud) mengajak penonton kembali mengingat tragedi Lumpur Sidoarjo (Lusi) melalui kehidupan masyarakat setempat. Setelah 11 tahun tidak kunjung teratasi, bencana yang menenggelamkan 16 Desa di 3 Kecamatan ini akhirnya tumbuh menjadi daerah “wisata” sehingga mendorong munculnya profesi baru yang dimanfaatkan masyarakat, salah satunya tukang ojek sekaligus tour guide.

Tim publisis Festival Film Dokumenter (FFD) 16 berkesempatan untuk mewawancarai anggota tim Hore Besok Libur selaku pihak pembuat film yang menjadi salah satu finalis di ajang Kompetisi kategori Dokumenter Pendek ini. Mereka adalah Winner Wijaya (Sutradara), Antonius Wilson (Produser), Cornelius Kurnia (Pengarah Cerita/Sound).

Apa yang membuat kalian mengangkat Lumpur Sidoarjo sebagai latar utama dari film ini? Adakah cerita personal?

AW: Awalnya, aku yang melemparkan ide ini. Aku sempat datang ke sana, dan yang aku temukan malah tempat wisata. Korban-korban kejadian ini malah jadi pemandu turis dan banyak cerita soal bagaimana mereka kehilangan rumah. Bahkan, ada yang jualan DVD tentang tragedi ini sendiri. Ini unik sekaligus aneh.

WW: Pengalaman mereka ironis sekali menurut kami. Mereka itu korban yang rumahnya udah tenggelam sekian lama, tapi mereka menjadikan kejadian ini sebagai tempat wisata; dan mereka sendiri yang jadi pemandu wisata.

Film Ojek Lusi telah mendapatkan banyak apresiasi dari berbagai festival maupun pemutaran umum. Menurut Anda, hal apa saja yang membuat ini bisa terjadi? Adakah kedekatan personal antar mayoritas penonton dengan film yang Anda buat?

WW: Untuk itu kami sendiri kurang paham sebenarnya. Tetapi, mungkin karena film ini tidak mengeksploitasi kesedihan korban. Ojek Lusi malah menampilkan sisi kehidupan korban yang tidak jauh berbeda dari yang kita semua alami setiap harinya. Ini yang membangun empati penonton karena korban diperlakukan sebagai manusia, bukan sebagai objek yang nangis-nangis aja.

AW: Film ini memandu mood penonton seperti naik roller-coaster. Di banyak waktu, kita ajak mereka ketawa dan senang. Tapi, ada juga waktu-waktu dimana penonton kami sadarkan juga kalau orang-orang di film ini adalah korban-korban bencana yang sudah beradaptasi. Dan, cara adaptasi mereka ini sebenarnya nggak enak. Mereka terpaksa terbiasa dengan kondisi ini karena setiap hari harus cerita dampak bencana yang dirasakan ke orang-orang yang berbeda.

Tahun ini, FFD mengangkat tema “Post-Truth”. Gagasan ini hadir untuk mengenalkan bagaimana dokumenter juga turut serta dalam menyebarkan kebenaran versinya terkait sebuah fenomena. Menurut Anda, bagaimana posisi kebenaran “Ojek Lusi” di tengah informasi-informasi tentang Lumpur Sidoarjo?

CK: Sebenarnya, bisa dibilang film ini punya pembanding. Di tahap riset, kami menemukan film “Mud Max” yang mengambil latar yang sama. Tapi, kami nggak mau karya kami seperti itu. Film mereka terlalu fokus ke kondisi alam dan menampilkan sisi yang sedih-sedih. Pada kondisi sekarang, itu udah nggak ada gunanya lagi. Makanya, kami buat versi yang beda. Toh, mereka sudah beradaptasi, memanfaatkan apa yang ada, dan, ya, menikmati aja. Mereka menjalaninya dengan apa adanya.

AW: Ojek Lusi hadir sebagai info tambahan dari tragedi yang sudah mulai dilupakan. Film ini mengajak penonton untuk mengingat ulang kejadian yang sudah belasan tahun tidak terselesaikan ini.  Caranya, lewat cerita dari korban-korban yang saat ini hidup dengan jalan yang unik.

WW: Kebanyakan film dan informasi tentang Lumpur Sidoarjo adalah pesanan media. Mereka punya kepentingannya sendiri. Ada banyak filternya. Untungnya, kami tidak masuk jalur seperti itu. Kami tinggal dengan korban, tidur di sana, dan bercerita dari apa yang benar-benar kami alami selama proses pembuatan.

Apakah film ini pernah diputarkan di depan warga yang dijadikan subjek dalam film ini, atau masyarakat Sidoarjo secara umum?

WW: Sayangnya, belum. Itu jadi utang kami ke mereka.

AW: Niatan ini banyak kendalanya, khususnya karena kami masih mahasiswa dan punya banyak beban tugas. Rencananya, pasca selesai Tugas Akhir di semester depan, kami bakal balik lagi ke sana dan muter film ini ke mereka.

CK: Kami bahkan berencana ngasih copy film ini ke mereka sebagai kenang-kenangan. Setelah itu, terserah mereka filmnya akan diperlakukan seperti apa.

Apa yang Anda alami selama beberapa hari ini menjadi tamu Festival Film Dokumenter 2017, boleh diceritakan?

WW: Ini kesempatan pertama datang ke sini. Sejauh ini, kami sangat senang dengan semua yang dihadirkan di sini. Sebagai festival yang memang sudah mapan, FFD bisa menghadirkan iklim pemutaran yang sangat terencana jika dibandingkan dengan pegalaman di festival-festival yang pernah kami ikuti

CK: Harapannya lanjut terus, sih. Jangan sampai ada yang terputus. Dan, semoga bisa jadi semakin besar.