Review Film: Small Talk (2016)

— Ulasan Film
FFD 2018
Review Film: Small Talk (2016)

Sikap saling mencintai antara ibu dan anak kerap digambarkan film dalam hubungan yang sempurna. Ibu hadir sebagai sosok ideal, serupa Dewi Kwan Im yang berparas teduh, pengabul seluruh permintaan. Dan, anak yang menjadi figur penurut sekaligus pembalas kasih ibunya. Kesempurnaan relasi antara ibu dan anak inilah yang dipertanyakan ulang Huang Hui-Chen dalam Small Talk (2016).

Small Talk menghadirkan pertanyaan Huang mengenai definisi ibu sekaligus cara mencintainya. Namun, pertanyaan tersebut tidak pernah terjawab. Semakin jauh Huang bertanya, semakin tidak menemui yang dicari. Sampai Huang sadar bahwa pertanyaan itu sebenarnya tidak benar-benar ada.

Film ini dibuka dengan pernyataan Huang tentang ibunya, yang diwacanakan lewat teknik sinematik. Huang menilai bahwa ibunya adalah sosok yang aneh. Di adegan pembuka, ketika Huang bertanya rencana ibunya, jika sewaktu-waktu dirinya menikah dan meninggalkannya, ia mendapat jawaban yang membuatnya kecewa. Namun, kekesalan demi kekesalan, trauma demi trauma, menjadi cara untuk memberi makan keingintahuannya pada apa yang dia cari. Mulai babak pertama hingga terakhir, Huang terus mencari komposisi bercinta dengan trauma dan segala petaka dalam hidupnya itu. Sebab menurutnya, hal ini menjadi satu-satunya cara untuk menemukan sosok “ibu”.

Ketika saya mengikuti proses tersebut, saya menemukan bahwa sebenarnya Huang sedang berproses untuk memanusiakan ibunya, dengan cara menghapus figur ibu yang abstrak, yang digambarkan serupa Dewi Welas Asih, lalu menggantikannya dengan sosok yang dianggapnya sebagai “paket kesedihan”. Mencintai Ibu, bagi Huang, seperti memeluk sosoknya bersama-sama dengan sepaket ‘kebencian’ yang ia miliki.

Proses Huang menghapus figur ibu ideal dalam benaknya, dimulai sejak dia dan ibunya berada dalam satu dimensi, yakni ketika mereka duduk bersama di meja makan. Meja makan menjadi properti yang mengandung banyak makna di film ini. Secara posisi, meja makan berada di antara dua ruang; kamar Huang dan dapur, wilayah sirkulasi mereka berdua. Sayangnya tidak banyak peristiwa yang membuat mereka bisa bertemu di ruang ini. Meja makan, akhirnya, menyimbolkan jarak di antara Huang dan ibunya; sesuatu yang memisahkan keduanya agar tidak menjamah ruang pribadi masing-masing.

Di babak yang lain, meja makan berubah menjadi ruang pertemuan Huang dan Ibunya, yang hadir dalam wujud “sebenar-benarnya”. Meja makan menjadi simbol dari sebuah dimensi; ruang-tidak-nyata yang mempertemukan mereka. Di posisi ini, gambaran ideal anak dan ibu pada benak mereka berdua menjadi hancur. Namun kehancuran itu pula yang membangun harapan dalam hubungan ini. Mereka tidak lagi menyukai sosok abstrak yang bertabrakan dengan realitas, melainkan mulai membuka diri dan menerima sosok yang sebenarnya dibenci lahir batin.

Obrolan demi obrolan, peristiwa demi peristiwa, simbol demi simbol, yang dirangkai Huang pada film Small Talk, mendekonstruksi wacana kesempurnaan pada relasi ibu dan anak. Kesempurnaan yang diidamkan adalah jebakan yang mencabut sikap manusiawi. Sikap yang memaksa mewujudkan sosok ideal agar hadir secara nyata pada tubuh yang dikehendaki.

 

Small Talk merupakan film dalam program “Taiwan Documentary” yang akan diputar pada 7 Desember 2018 pukul 15.00 WIB di Societet Militair TBY. Agenda lengkap FFD 2018 bisa disimak di jadwal.

 

Penulis: Annisa Rachmatika