Komposisi nada dan birama dalam musik dapat dengan mudah kita temukan dalam keseharian kita. Tak hanya sebagai pengiring, ia sekaligus hadir sebagai produk budaya yang mengambil peran dalam membentuk identitas lingkungan tempatnya dibuat. Bahkan, dalam level tertentu, ia dapat menjelma menjadi senjata untuk melawan. Melalui pertemuan teknologi elektronik dan ritual orang-orang di wilayah pegunungan tengah Papua, wisisi hadir bak angin segar. Our Wisisi Music (Arief Budiman, Harun Rumbarar, Bonny Lanny; 2023) memperlihatkan geliat yang terjadi di balik perkembangan musik wisisi melalui kacamata Nikolas, Asep, dan beberapa pemuda lain pegiatnya.
Tinggal bersama di asrama, Nikolas dan Asep membuat musik dengan cara swadaya. Memanfaatkan apa yang ada, mereka bersikeras untuk dapat terus mempertahankan wisisi yang seluk beluknya berasal berasal dari Pegunungan Tengah, Papua. Istilah wisisi sendiri merupakan onomatope yang berasal dari alat musik tradisional Papua bernama pesek/wikalu yang biasanya diperdengarkan untuk mengiringi ritual tradisi Papua. Keberadaan musik wisisi mengisi seluk beluk kehidupan warga Papua dalam berbagai aktivitas, mulai dari ritual tradisi, perayaan keagamaan, latar musik video Tiktok, hingga sebagai senjata pengiring aksi protes.
Kemungkinan transmisi musik–lokal, tradisional, modern, dan lainnya–karena perkembangan teknologi informasi menjadi peluang penciptaan dan distribusi yang efektif. Asep, Nikolas, dan pembuat musik wisisi lain mengembangkan dan mengemas sajian musik elektronik populer dengan inovatif. Musik wisisi berhasil memenetrasi hampir seluruh kegiatan masyarakat Papua pada tahun 2019. Dengan goyang Aster yang asyik, generasi muda Papua memperlakukan musik wisisi sebagai hal wajib ada ketika berkumpul. Hal ini sejalan dengan bagaimana masyarakat Papua meletakkan musik sebagai pengiring aktivitas tradisi dan budaya. Asep sebagai generasi baru berhasil melakukan adaptasi dan inovasi terhadap musik tanpa melupakan asal wisisi sebagai musik yang terwarisi dan mewarisi. Satu dekade sebelum musik wisisi menggema di Papua, mendiang Arnold AP dan Edy Mofu telah memperkenalkan Membesak sebagai musik yang juga turut membentuk identitas budaya Papua. Markus Rumbino, seorang komposer musik Papua, juga menyatakan bahwa sudah sejak lama musik menjadi pengiring kehidupan orang Papua dan wisisi hadir sebagai musik elektronik populer yang berevolusi dengan prosesnya sendiri.
Seperti halnya rantai makanan, rantai transisi musik pun hanya dapat berjalan jika seluruh variabel dalam ekosistem musik berfungsi sebagaimana mestinya. Dahulu, musik wisisi yang merupakan perkawinan musik elektronik (populer) dan musik tradisional (instrumen pesek), hanya dapat diterima masyarakat Papua. Kini, kehadiran wisisi menunjukan perkembangan yang masih mengakar pada tradisi yang juga membawa inovasi. Petikan pesek yang dipadupadankan dengan dentuman musik elektronik populer adalah salah satu cara yang dilakukan Asep dan kawan-kawannya dalam gerilyanya menyebarkan musik wisisi. Our Wisisi Music (2023) menampakkan bagaimana kegigihan dan menjadi adaptif terhadap perubahan adalah alat bantu untuk melampaui keadaan yang mendesak.
Film dokumenter pendek persembahan Project Multatuli dan Sharjah Art Foundation, berkolaborasi dengan Yes No Wave Music dan Papuan Voices ini akan mengajakmu menjelajahi kelindan musik wisisi yang tak mungkin tak membuatmu bergoyang. Sajian visual editing yang eklektik dalam transisi antarbingkai gambar selaras dengan musik yang dihidangkan oleh Asep, membuat Our Wisisi Music (2023) menawarkan pengalaman menonton yang berkesan. Our Wisisi Music (2023) berkompetisi di kategori Kompetisi Pendek Festival Film Dokumenter 2023. Catat jadwal tayangnya dan mari bergoyang Aster bersama! (bonivasios dwi) (Vanis/Catharina Maida)
Detail Film
Our Wisisi Music (Wisisi Nit Meke)
Arief Budiman, Harun Rumbarar, Bonny Lanny | 40 Menit | 2023 | Papua, Papua Barat | Warna | 13+
Jadwal Tayang
12.04 | Auditorium IFI-LIP | 19.00 WIB
12.08 | Gedung ex Bioskop Permata | 20.00 WIB