Wa’anak Witu Watu (Natasha Tontey, 2021) merupakan karya yang membicarakan budaya Minahasa untuk melihat relasi manusia dengan batu. Batu menjadi objek tak hidup yang penting dalam kehidupan. Berbagai jenis dan bentuk memiliki fungsi dan relasi–yang seringkali krusial. Bahkan hubugan batu dan manusia di Minahasa lebih dari sekadar fungsi pakai, melainkan terdapat hubungan spiritual. Film ini ditayangkan bersama dengan I WAS THERE (Chi-Jang Yin, 2023), Terra Incognita (Timoteus Anggawan Kusno, 2022), dan An Asian Ghost Story (Bo Wang, 2023). Keempat film tersebut masuk dalam program Spektrum ditayangkan pada slot kedua penayangan di IFI-LIP Yogyakarta, Rabu (6/12/2023).
Epos geologis yang spekulatif tentang hubungan manusia dengan batu menjadi narasi utama dalam Wa’anak Witu Watu (2021). Batu yang dimaksud dalam film ini merupakan Watu Pinawetengan yang terletak di Desa Pinabetengan Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Batu dijelaskan bukan hanya sebagai pondasi fungsional, melainkan menjadi sumber pengetahuan bagi orang Minahasa. Di batu pula terjadi produksi dan penyaluran pengetahuan.
Selepas penayangan film, penonton berkesempatan untuk mengikuti sesi tanya jawab yang dipandu Wimo Ambala Bayang, pengelola program Spektrum. Dalam sesi ini, hadir Natasha Tontey selaku sutradara Wa’anak Witu Watu (2021) untuk menjawab pertanyaan-pertanyan dari penonton yang hadir. Beberapa penonton secara bergantian memberikan impresi dan pertayaan kepada Natasha, baik dari segi narasi yang diangkat, bentuk, dan proses kreatif pembuatan film ini.
Natasha menjelaskan keputusannya menggabungkan bentuk-bentuk visual dalam film ini sebagai hasil dari riset yang terkumpul di Minahasa. Riset ini dilakukan dengan mengumpulkan cerita orang tua dan warga setempat. Meskipun dalam riset tersebut tidak ditemukan arsip dan data visual yang menunjang hasil riset tersebut. Dari riset tersebut, Natasha menemukan narasi yang menjelaskan bahwa orang pertama di Minahasa lahir dari batu. Terdapat kepercayaan bahwa bentuk leluhur-leluhur orang Minahasa bukanlah manusia seperti pengetahuan umum (sekarang). “Orang Minahasa itu non-heteronormatif, jadi bentuknya tengkorak saja, tengkorak terbang,” jelas Natasha. Untuk menjembatani data visual yang tidak didapat, Natasha memilih untuk menggunakan animasi sebagai medium untuk merepresentasikan hasil riset yang dilakukan.
Sebenarnya banyak sekali rekaman video dengan antropolog dan peneliti, tapi Natasha memilih untuk memasukkan rekaman wawancaranya dengan sepupunya yang “orang mabuk”. Alasannya, karena penjelasan yang disampaikannya mudah dipahami Natasha yang baru belajar budaya Minahasa ketika pembuatan film Wa’anak Witu Watu (2021). Terlebih akses ke Watu Pinawetengan dibatasi jika bukan untuk penelitian akademis. Oleh karena itu, Natasha memilih membawakan wacana dalam film ini melalui narasi orang biasa.
Pembuatan film Wa’anak Witu Watu (2021) merupakan upaya Natasha untuk mengenal kembali leluhurnya. Upaya ini dilakukannya untuk menghadapi trauma generasi, sebab ketika ia kecil bermain di sekitar Watu Pinawetengan dianggap sesuatu yang sesat. Karena mendekati batu tersebut dianggap sebagai praktik opok-opok atau sihir (black magic). Terlebih, praktik semacam itu banyak dilakukan orang dengan segala bentuk ritualnya di batu tersebut. Prasangka tentang selalu adanya praktik opok-opok ketika mendatangi Watu Pinawetengan merupakan hasil dari hilangnya kisah-kisah yang tersingkap dalam lipatan sejarah.
Dalam produksi filmnya, Natasha bertindak sebagai seniman yang melakukan semuanya sendiri, baik menjadi sutradara, penulis, sinematografer, bahkan produser. Tak hanya dalam Wa’anak Witu Watu (2021), ia juga melakukannya dalam produksi film Garden Amidst the Flame (Natasha Tontey, 2022) yang tayang pula di FFD 2023 dalam program Lanskap: Grotesque Cinema. Oleh karena itu terdapat bias artistik film yang ia pakai dalam proses kreatifnya. Terlebih kebanyakan karya Natasha sebelumnya ditayangkan dalam bentuk maupun format instalasi seni dalam pameran seni rupa. Format ini sebenarnya menarik untuk membawakan isu dan wacana yang ingin disampaikan Natasha, tapi seringkali format yang dipilihnya membuat penonton ngos-ngosan untuk melihat karya ini. Salah seorang penonton memberikan tanggapan bahwa karya Natasha lebih menarik untuk ditampilkan dalam format instalasi seni ketimbang dibawa ke ranah sinema di studio bioskop. Oleh karena itu, karya Natasha dapat memberikan jeda kepada penonton untuk memahami dan sejenak mengistirahkatkan mentalnya ketika menonton seri ini.
Menjawab pertanyaan mengenai penayangan Wa’anak Witu Watu (2021) di tanah asalnya, Minahasa, Natasha menjelaskan bahwa film ini sempat ditayangkan di sana. Bahkan, dalam penayangannya, laptop yang menayangkan film ini ditaruh di atas batu. Natasha juga turut menjelaskan mengenai figur manusia yang lahir dan melahirkan batu merupakan representasi tentang kisah Lumimuut dan Toar, leluhur orang Minahasa. Terdapat banyak versi penceritaan Lumimuut dan Toar. Natasha memilih untuk menambah versi penceritaanya ketimbang mengikuti kisah yang sudah ada.
Upaya-upaya yang dilakukan Natasha dalam pembuatan Wa’anak Witu Watu (2021) merupakan usaha untuk menggali relasi manusia dan batu dalam bentuk lain. Tak hanya berhenti pada bentuk fisik dan narasi spiritualistik. Natasha berusaha mengambil jalan alternatif untuk mencari kisah leluhurnya dan direpresentasikan lewat film ini. Mari menemukan narasi-narasi menarik dalam 84 film lain yang tayang dalam Festival Film Dokumenter 2023 hingga 9 Desember 2023.
Diliput oleh Ahmad Radhitya Alam pada 6 Desember 2023.