OSMOSIA (2023): Suara Keadilan Ekologi Sang Maestro

— Ulasan Film
FFD 2024

Kesaksian dan obituari silih berganti ditayangkan dalam sebuah layar kecil berwarna biru di depan tebing bekas galian. Satu per satu arsip wawancara ditampilkan dalam format seperti hologram yang berkedip terus (flicker). Mereka menceritakan mengenai mendiang maestro seniman asal Buleleng, Bali, I Gde Dharna, serta karya-karya monumentalnya yang berserak tanpa pengarsipan yang layak. Arsip-arsip ini lantas coba dikumpulkan Fioretti Vera untuk diinvestigasi dan dinarasikan ulang melalui film dokumenter eksperimentalnya, OSMOSIA (2023).

Bagi masyarakat Bali, khususnya para fans Bali United, lagu “Merah Putih” bukanlah sesuatu yang asing. Mereka akrab dengan setiap larik lirik yang mereka nyanyikan baik di dalam maupun luar stadion. Lagu berbahasa Bali karya I Gde Dharna tersebut sangat terkenal di antara mereka. Berbanding terbalik dengan nama penciptanya yang jarang diperbincangkan. Alih-alih didedah ragam suara karyanya yang merentang dari pembahasan mengenai romantisme, eksotisme, perlawanan budaya, hingga keadilan ekologis. Sayangnya, hingga pascameninggalnya pada 2015, karya-karya beliau belum sempat terarsipkan dengan baik. Banyak arsip karya beliau yang kurang terapresiasi dengan layak, lantas berserak dan hilang tanpa jejak.

Rangkaian arsip wawancara mengenai I Gde Dharna dan arsip karyanya yang berserak ditutup dengan rekaman prosesi pengabenan beliau yang diiringi upacara militer. Eksperimentasi Sutradara Vera berlanjut dengan menempelkan rekaman suara pembukaan acara malam penghargaan untuk I Gde Dharna dengan rekaman arsip rekaman upacara militer. Suara pembawa acara tersebut beriringan dengan soundscape yang menjalar hingga judul film keluar. Suara-suara inilah yang mengantarkan kita pada adegan-adegan opera dalam film sepanjang 24 menit ini.

Bersama dramaturg B.M. Anggana, Sutradara Vera mendekati arsip-arsip I Gde Dharna menggunakan metodologi opera dan teknik vokal tradisional Bali. Kita bisa menyaksikanya ketika seorang perempuan berpakain merah membacakan libretto ketika sorot kamera mendekatinya dengan dolly zoom. Ia merupakan makhluk fiksi “Tumbuhan Merah” sebagai simbolisasi vegetasi yang tumbuh di tanah Bali. Lantas berlanjut dengan montase rangkain rekaman koreografi dan 3 buah lukisan yang bergambar padi yang lekas menunduk (matang), buah buni, dan subak (sistem irigasi pertanian Bali).

Desak Suarti Laksmi yang memerankan makhluk fiksi “Bumi Putih” menyanyikan libretto yang bersumber dari arsip karya I Gde Dharna menggunakan teknik vokal dan cengkok Bali yang khas. Ia menjadi subyek pembeda di antara simbol setan bertopeng yang terus bergerak. Pemotongan gambar yang kasar dijahit dengan komposisi musik dan suara yang saling mengisi untuk menciptakan adegan opera yang utuh. Pada beberapa adegan, vokal opera juga mengisi sekaligus mengejutkan. Film dokumenter eksperimental ini bisa dikatakan pula sebagai film opera berdasarkan pendekatan metodologi dalam penciptaannya.

Adegan berlanjut dengan beberapa makhluk di dalam goa yang mengkremasi tiga lukisan yang sebelumnya berada di atas tanah tandus bekas galian. Ini merupakan simbolisasi ritus ritual kesedihan untuk alam dan manusia yang mereka anggap telah punah. Potongan lagu-lagu I Gde Dharna bergantian dinyanyikan dengan pembacaan puisi beliau oleh para makhluk fiksi dan seorang penyair di dalam layar hologram. Rekaman dalam layar hologram tersebut terus berlanjut di depan api yang terus membakar ketiga lukisan.

Anak-anak I Gde Dharna turut memberikan testimoni mengenai ayah mereka dalam layar tersebut. Riwayat hidup dan ajaran beliau dikisahkan dengan jujur dan penuh rasa kagum. Mereka turut menyambungkan suara I Gde Dharna mengenai kepedulian terhadap lingkungan dan kecintaannya kepada alam.

Keadilan ekologis menjadi suara yang kental dalam jejak kekaryaan I Gde Dharna. Kritik dan kepeduliannya terhadap ekologi yang dicerminkan lewat karya-karyanya yang berserak lintas matra. Kita dapat turut menelisik ide dan karya beliau yang diinvestigasi dan dinarasikan ulang oleh Sutradara Vera dalam OSMOSIA (2023) yang tayang dalam program Lanskap: Bentang Sinema FFD 2024. (Ahmad Radhitya Alam) (Ed. Vanis)

 

Detail Film
OSMOSIA
Fioretti Vera | 24 Min | 2023 | DI Yogyakarta, Bali
Official Selection for Lanskap
Festival Film Dokumenter 2024

Jadwal Tayang
Nov. 6 | 19:00 WIB | Ruang Seminar, TBY
Nov. 8 | 15:30 WIB | Militaire Societeit, TBY