Senin siang, tepat pukul 13.00 WIB kursi-kursi Militaire Societeit, Taman Budaya Yogyakarta telah diisi para penonton yang bersiap menyaksikan pemutaran film sesi pertama (4/11/2024). Pada sesi ini, Ibnu Nurwanto – The Wood (Eriliando Erick, 2024) menjadi film yang ditayangkan dalam program Kompetisi Panjang Indonesia. Selaras dengan penayangannya pada sesi pertama, film dokumenter yang menarasikan kisah personal dan liminal Ibnu Nurwanto ini juga tayang perdana di layar publik secara resmi.
Layar dibuka dengan Ibnu Nurwanto yang berkisah mengenai jati diri dan hiruk pikuk kehidupannya di balik kecintaannya yang kompleks terhadap patung dan seni pembuatannya. Lantas diakhiri dengan liminalitasnya terhadap liyan dalam ruang lingkup sosial yang membuatnya menciptakan hubungan transendental dengan Tuhan. Selepas pemutaran film usai, para penonton berkesempatan untuk mengikuti sesi tanya jawab dan turut memberi tanggapan bersama kreator dokumenter ini. Dalam sesi ini, hadir sutradara sekaligus produser Ibnu Nurwanto – The Wood (2024), Eriliando Erick, yang didampingi oleh Dag Yngvesson sebagai bagian dari Komite Seleksi Kompetisi Panjang Indonesia.
Tanggapan pertama datang dari Shelo, seorang penonton, yang mengungkapan rasa terpukaunya mengenai kedekatan Erick terhadap narasumber-narasumber dalam dokumenter tersebut. Erick lantas menjelaskan proses kreatifnya dalam produksi film dokumenter yang dikerjakannya selama kurang lebih 10 bulan. Dalam proses panjang tersebut, ia menceritakan proses riset yang ia lakukan dan pertemuannya dengan para narasumber yang cair. Selayaknya proses riset dokumenter pada umumnya, ia memilih untuk banyak mengobrol narasumber.
Pada bagian teknis produksi, Erick banyak melakukan perekaman sendiri. Ia bertindak sebagai sutradara sekaligus kameramen menggunakan kamera yang dipasangkan pada tripod dan mikrofon nirkabel. Metode teknis tersebut dipilihnya untuk memotong jarak teknis yang seringkali membuat narasumber kurang nyaman dalam proses perekaman. Perjumpaan Erick dengan Ibnu bermula pada rencana pembuatan video singkat untuk pembukaan pameran karya Ibnu Nurwanto. Namun, dalam perjalanan produksi karya tersebut, terbersit keinginan di benaknya untuk membuat dokumenter panjang. Ia lantas mengembangkan risetnya yang bersumber dari wawancara dan arsip media.
Kedalaman kisah dan emosi Ibnu Nurwanto yang terpancar melalui mimik muka dan tuturannya sebenarnya merupakan hasil sintesis rekaman panjang yang dirangkai dan dijahit ulang oleh Erick. Ia menambahkan bahwa Ibnu merupakan seorang pencerita, sehingga rekaman utuh obrolan dan ceritanya kepada Erick hingga menyentuh 3 jam. Namun, setelah diolah bersama kawan editor-nya, rekaman tersebut terjahit dan tersaji sebagai Ibnu Nurwanto – The Wood (2023).
Proses di balik layar film dokumenter ini nyatanya bukanlah pekerjaan yang mudah, melainkan kerja kreatif diskursif dan dialektik. Erick menjadikan Ibnu sebagai subyek narasumber sekaligus kurator atas jalinan kisah dan wacana dalam dokumenter yang dikerjakannya. Terdapat beberapa rekaman yang tak jadi ditayangkan tetapi ia cantumkan dalam kredit. Namun, di sisi lain, ia secara humanis memilah dan memilih kisah mana yang layak maupun yang kurang pantas untuk ditayangkan kepada khalayak. “Mungkin narasumber itu tidak saya masukkan di film tapi saya masukkan narasumber itu di thanks to, lalu cari alternatif lain,” tukasnya.
Barangkali hingar bingar pesta perayaan dan pameran menjadi fatamorgana selalu nampak di mata penikmat karya seni. Namun, Erick berhasil merekam dan mengisahkan jalan sunyi seniman–dalam hal ini Ibnu Nurwanto–melalui film dokumenter garapannya. Itu pulalah yang diapresiasikan Prima terhadap film karya Erick ini. Dalam sesi tanya jawab, Erick juga menjelaskan mengenai hal-hal personal yang tidak “terlayarkan” dalam dokumenternya. Perihal pemilihan kayu nangka, jati, dan mahoni sebagai medium mematung Ibnu hingga pemilihan nama anaknya, Gori. Ia juga mengisahkan proses Ibnu memilih kayu, menanam pohon sebagai calon media, maupun proses menunggu kayu-kayunya kering yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Menanggapi pertanyaan Dede mengenai kurasi rekaman dan ketidakgamblangannya dalam mengisahkan sosok Little Girl, padahal ia merupakan sosok yang sentral dalam kisah ini. Erick menjelaskan bahwa secara humanis ia memilih untuk tidak menceritakan “lebih,” meskipun ia kenal dengan sosok tersebut. Ia kemudian menjelaskan bahwa sosok Little Girl atau gadis kecil itu merupakan sosok yang mendorong Ibnu terus berkarya dan akhirnya mewujudkan pameran patung yang melatar belakangi pembuatan dokumenter ini.
Proses kreatif produksi film dokumenter selalu menyimpan kisah-kisah lain di baliknya. Meskipun film dokumenter merupakan media untuk menyuarakan suara yang tak terdengar dan memotong jarak pengetahuan. Namun, sisi humanis untuk tidak mengumbar kisah personal narasumber lebih dalam merupakan sebuah pilihan. Alhasil, menjadi liminal di dalam kisah personal orang lain merupakan pilihan yang semestinya bijak menjadi pertimbangan.
Diliput oleh Ahmad Radhitya Alam pada 4 November 2024 (Ed. Vanis)