Film dokumenter telah mengalami berbagai macam bentuk modifikasi dan dipengaruhi oleh ragam aliran, salah satunya gerakan Sinema Ketiga yang menjadi salah satu aliran penggayaan film yang mengedepankan produksi film-film dari negara-negara global selatan. Sinema Ketiga yang sudah berkembang dan memiliki cabang-cabangnya sejak tahun 60-an sudah memberikan gerak kontinu dalam ruang komunitas sinema yang mengedepankan keterlindanannya terhadap perjuangan masyarakat global selatan dan hadir sebagai pernyataan solidaritas dan berlanjut hingga saat ini. Lantas bagaimana gerakan Sinema Ketiga memengaruhi pemaknaan film dokumenter dewasa ini? Sejauh mana narasi yang dibahasakan melalui sinema dokumenter mampu diamini khalayak banyak?
Menjawab pertanyaan tersebut, Festival Film Dokumenter 2024 mengadakan diskusi umum dalam kerangka DOC Talk berjudul Rhythm Chronicles. Diskusi ini dilaksanakan pada tanggal 4 November 2024 pukul 15.00 di Ruang Rapat Taman Budaya Yogyakarta dan dihadiri oleh peserta yang berasal dari berbagai kalangan dan demografi. Memimpin diskusi, telah hadir Veronika Kusumaryati, selaku pengelola program Perspektif dan Rosalia Namsai Engchuan, selaku pengelola program Docs Docs: Short! Spatial Space. Rangkaian diskusi ini dimoderatori oleh Sandeep Ray, seorang sineas, sejarawan, dan akademisi dari University of Nottingham Malaysia.
Dalam sesi kali ini, para pengunjung festival diajak belajar memahami bagaimana memahami dinamika para sineas yang mendalami film dokumenter sebagai medium seni yang lingkungannya mendukung para pembuat film untuk menciptakan ruang inovasi dalam mempertunjukkan narasi dan isu ke dalam bentuk susunan audiovisual dengan ragam pendekatannya. Sesi pertama diawali oleh Veronika Kusumaryati, yang membahas tentang eksistensi Sinema Ketiga yang berangkat dari usaha emansipatorial untuk melawan hegemoni kolonialisme. Veronika menekankan bahwa Sinema ketiga menjadi krusial untuk dipahami sebagai sebuah pergerakan politik, alih-alih diartikan sebagai aliran artistik alternatif belaka. Sinema Ketiga juga penting dipahami sebagai bahasa untuk menganalisis fenomena politik.
Melalui program perspektif, Veronika mengkurasi film-film yang membahas perpanjangan tangan dari gerakan Sinema Ketiga dalam payung film dokumenter dari negara-negara yang juga dikenal sebagai pelopor gerakan Sinema Ketiga. Berturut-turut film yang ditayangkan dalam program tersebut dengan asal negara Argentina, Mozambik, dan Vietnam adalah The Trial (El Juicio) (Ulises de la Orden, 2023), The Nights Still Smell of Gunpowder (As Noites Ainda Cheiram a Pólvora) (Inadelso Cossa, 2024), dan Fifth Cinema (Nguyễn Trinh Thi, 2018).
Dalam sesi selanjutnya, Rosalia Namsai Engchuan menambahkan pendalaman ide mengenai sinema dan proses penayangan film sebagai penyedia ruang liminal yang memiliki peran besar untuk membangun koridor produktif untuk saling berbagi narasi baik dari sineas, subjek film, dan penonton. Rosalia menekankan sebuah penggambaran mengenai bagaimana sinema berperan sebagai portal yang tidak hanya menjadikan penonton sebagai saksi, tetapi juga membuka jalur antara penonton dengan subjek di dalam film dengan pemosisian yang sedikit berbeda dari Veronika mengenai signifikansi sinema dalam menyusun konstruksi sosial. Ia menekankan bahwa film dalam posisinya sebagai instrumen tidak serta merta langsung memperbaiki kehidupan manusia yang sudah terdampak kolonialisasi, tetapi dapat menguak lapisan yang memicu interaksi di antara khalayak untuk memproduksi ide perlawanan. Namun, hal tersebut bergantung kepada kekuasaan yang mengontrol gerak laku sinema di suatu ekosistem masyarakat.
Dengan pembangunan narasi yang diartikulasikan melalui program Docs Docs: Short! Spatial Space, Rosalia mengkurasi empat film yang ditayangkan, di antaranya City of Poets (Sara Rajaei, 2024), Object 817 (Olga Lucovnicova, 2024), No Exorcism Film (Komtouch Napattaloong, 2024), dan Liberating Shipwreck (Simon Speiser, 2024).
Dalam sesi diskusi, Sandeep mengulik silang sengkarut dari dua pembicara yang punya dua pendekatan berbeda dalam memaknai perkembangan film dokumenter yang kian hari kian menantang batasan definisi dari dokumenter, baik dari segi teknis artistiknya sampai pada penyampaian narasi yang didominasi dengan anggapan tentang keharusan untuk mempertontonkan film dengan transparansi dan beban konteks yang harus diartikulasikan secara jelas. Rosalia berpendapat bahwa film tidak harus terikat dengan teks yang harus padat dengan konteks yang harus dijelaskan secara harfiah dan dalam dinamika film dokumenter. Beberapa peserta juga memantik diskusi yang menjelajahi ruang tema diskusi dengan mendiskusikan tentang komparasi ekosistem film dokumenter untuk menarik perbandingan antara payung sinema ketiga dengan turunan-turunannya dan film-film Asia Tenggara sebelum hadirnya gelombang sinema ketiga itu sendiri, kemudian juga menyinggung tentang praktik kurasi dan pemograman film itu sendiri untuk mampu menyentuh ritme narasi yang ingin ditayangkan.
Dari serangkaian diskusi ini, kita diajak untuk menelusuri jawaban-jawaban atas pertanyaan mengenai eksplorasi dalam meredefinisi tentang signifikansi dan pemaknaan film dokumenter dan perawatan narasi di dalam ruang-ruang hidup kita sehari-hari. Diskusi-diskusi lain dalam DOC Talk masih tersedia dan dilaksanakan secara luring dan gratis. Temui informasi terkait melalui laman web dan seluruh media sosial Festival Film Dokumenter 2024.
Diliput oleh Gantar Sinaga pada 4 November 2024. (Ed. Vanis)