Ketika diberi pertanyaan, “Siapa yang tugasnya menangkap ikan?”, respon instan kita tentu akan menjawab, “Mas-mas nelayan!”, bukan?
Dalam bahasa Inggris, nelayan merupakan salah satu contoh istilah berbasis gender yang masih sering digunakan. Sayangnya, di industri perikanan, masih banyak ketidaksetaraan gender yang kerap dialami oleh nelayan perempuan. Hal ini berangkat dari penolakan perubahan norma gender karena konsep nelayan perempuan masih dianggap tidak lumrah.
Dokumenter Mother of the Sea (Clarissa Ruth Natan, 2023) membuka (dan mempertanyakan ulang) apa yang normal dan tidak bagi perempuan pekerja di bidang yang didominasi gender tertentu. Permasalahan ini merupakan bukti nyata bagi para nelayan perempuan di manapun di Indonesia, termasuk di Demak. Film ini mengajak kita mengenali kehidupan Siti, seorang nelayan perempuan yang menangkap ikan bersama suaminya sebagai mata pencarian mereka dalam keadaan rumah tangga gawat ekonomi. Dari mata Clarrisa Ruth Natan, tantangan sehari-hari yang harus Siti hadapi dijahit olehnya secara teliti sehingga kisah Siti meninggalkan kesan yang berbekas di para penontonnya.
Dalam Mother of the Sea (2023), Siti terlihat mengimbangi kehidupannya sebagai fondasi rumah tangga dan mengasuh anaknya selagi ia mengarungi ombak lautan terbuka. Selain lautan yang tak kenal ampun, ia juga kerap berhadapan dengan ketidaksetujuan dari keluarga, tetangga, bahkan pemerintah desanya atas profesi yang ia jalani.
Masa ini merupakan masa yang sulit untuk para nelayan akibat perubahan iklim yang mempengaruhi fluktuasi stok ikan. Nelayan perempuan seperti Siti kesulitan mengakses subsidi pemerintah karena bantuan tersebut dimonopoli oleh para nelayan laki-laki rekannya. Namun, Siti tidak sendiri dalam penderitaannya. Ia dan perempuan lain di desanya kesulitan bahkan hanya untuk diakui sebagai nelayan perempuan. Meski banyak naik-turun dan kelok kiri-kanan yang harus Siti lewati, hal tersebut tak mematahkan semangat dan kepercayaan diri mereka.
Mother of the Sea (2023) menampilkan pasang surut yang terus berubah dan angin yang acap bertiup menuju kesetaraan. Clarissa Ruth Natan menyajikan isu vital masa kini, kesetaraan hak perempuan dan perubahan iklim, dengan penuh rasa; seperti Siti yang setiap hari harus berjuang melawan asamnya ketidakadilan isu tersebut.
Larungi dan resapi perjuangan Siti melawan seksisme di industri perikanan dalam Mother of the Sea (2023). Film ini berkompetisi di kategori Kompetisi Pendek Festival Film Dokumenter 2023. (Aradi Ghalizha) (Vanis/Adinta)
Detail Film
Mother of the Sea
Clarissa Ruth Natan | 15 Menit | 2023 | Jawa Tengah | Warna | 13+
Jadwal Tayang
12.05 | Bioskop Sonobudoyo | 19.00 WIB
12.09 | Auditorium IFI-LIP | 15.00 WIB